Seratus tahun yang lalu pada 21 Januari 1924, Lenin meninggal dunia. Dia hanya berumur 53 tahun saat itu, tetapi dalam waktunya yang terlalu singkat di muka bumi ini dia telah meninggalkan warisan pemikiran yang teramat kaya bagi perjuangan proletariat. Tidak ada pemimpin yang pemikirannya begitu dibenci oleh musuh-musuhnya di satu sisi dan begitu dicinta oleh kaum miskin tertindas di sisi lain. Dari semua karyanya, Negara dan Revolusi mungkin adalah yang paling ditakuti oleh kelas penguasa.
Untuk memperingati haul ke-100 Lenin, kami dengan bangga mempersembahkan edisi baru Negara dan Revolusi kepada rakyat pekerja Indonesia.
Karya ini lahir pada momen yang paling bergejolak, yakni di tengah Revolusi Rusia 1917 yang kemenangannya mengubah haluan sejarah umat manusia. Lenin menulisnya pada September-Agustus 1917 saat bersembunyi dari kejaran Pemerintahan Provisional yang menuduhnya sebagai agen Jerman. Di sini, Lenin mengklarifikasi kembali teori Marxis mengenai negara dan demokrasi, guna mempersenjatai Partai Bolshevik dan proletariat Rusia dalam menghadapi tugas revolusi yang ada di depan mata mereka.
Apa yang dilakukan Lenin bukanlah menemukan teori yang baru, tetapi membersihkan apa yang telah ditulis oleh Marx dan Engels dari pelintiran-pelintiran reformis yang telah membuat ajaran mereka jinak, tidak lagi revolusioner, dan dapat diterima oleh kelas penguasa. Pengkhianatan Internasional Kedua (Sosial Demokrasi) pada 1914 mengungkapkan bagaimana paham reformisme telah menggerogoti sepenuhnya ajaran Marx dan Engels. Lenin menjelaskan bagaimana di tangan para politisi dan teoretikus Sosial-Demokrasi resmi Marx dan Engels telah diubah menjadi “ikon yang tidak berbahaya”.
“Borjuasi dan kaum oportunis dalam gerakan buruh bekerja sama memelintir Marxisme. Mereka menghapus, mengaburkan, atau mendistorsi sisi revolusioner dari teori Marxisme, yaitu jiwa revolusionernya,” jelas Lenin. Pengaburan dan pendistorsian ini terus berlanjut sampai hari ini, dan bahkan dengan keganasan yang berlipat. Ada industri akademia yang besar, dengan sokongan dana yang tak ada habis-habisnya, yang tugasnya adalah “mengaburkan … sisi revolusioner dari teori Marxisme.” Untuk alasan itu, menjadi semakin perlu bagi kaum buruh dan muda sadar-kelas hari ini untuk menekuni kembali karya Lenin ini sehubungan dengan teori Marxis mengenai negara.
Tidak hanya itu, kita mesti mendalami metode studi Lenin yang terkandung dalam Negara dan Revolusi. Kita dapati bagaimana Lenin dengan teliti, konsekuen, dan komprehensif memeriksa kembali apa yang ditulis Marx dan Engels, mengkajinya secara historis, secara dialektis, dan memaparkan proses berpikir Marx dan Engels. Lenin meletakkan tulisan Marx dan Engels dalam konteks peristiwa-peristiwa sejarah yang dilalui oleh mereka — revolusi-revolusi Eropa 1848-51 dan Komune Paris 1871 — dan bagaimana mereka lalu mengembangkan teori mereka sesuai dengan pengalaman proletariat yang konkret. Seperti yang dikatakan Lenin, “Marx tidak menciptakan sistem utopia. Ia mengharapkan pengalaman gerakan massa dapat menyediakan jawaban … ” bagi problem-problem teoritis mengenai negara. Demikianlah metode Lenin, yang pada dasarnya adalah metode studi Marxis. Sementara kaum Sosial Demokrat yang dikritik Lenin mencomot secara serampangan dan tidak bertanggung jawab kutipan Marx dan Engels untuk dicocokkan dengan prasangka mereka.
Untuk meluruskan kembali ajaran Marx dan Engels, Lenin memulai terlebih dahulu dengan memeriksa apa itu negara seperti yang telah dikaji oleh Engels dalam karyanya yang termasyhur itu, Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara.
Sebagai catatan sampingan, Asal Usul Keluarga adalah pendekatan historis dan ilmiah terhadap negara dengan menggunakan sebagai basisnya penelitian antropologi Henry Lewis Morgan. 140 tahun setelah Asal Usul Keluarga terbit, kesimpulan-kesimpulan utama karya ini telah memperoleh pembuktian lebih lanjut dari penelitian antropologi modern.
“Negara adalah produk masyarakat pada tahapan perkembangan tertentu,” tulis Engels. Pernyataan ini dengan tegas menghancurkan kepercayaan takhayul pada negara yang bersemayam begitu dalam dalam benak setiap manusia. Dalam kehidupan kita sehari-hari, negara tampaknya senantiasa hadir di mana-mana. Oleh sebab itu, negara sepertinya telah ada untuk selama-lamanya, dan akan ada untuk selama-lamanya. Manusia tidak bisa hidup tanpa negara. Namun, Engels membantah keabadian absolut negara ini, dan menekankan bahwa negara itu sesungguhnya muncul pada tahapan perkembangan masyarakat tertentu. Bukti-bukti antropologis telah menunjukkan dengan sepasti-pastinya bahwa selama ratusan ribu tahun manusia zaman berburu-meramu hidup tanpa negara, tanpa polisi, tanpa adanya kelas-kelas, dan juga tanpa penindasan terhadap perempuan. Negara hanya muncul pada tahapan tertentu, yakni seiring dengan berkembangnya pertanian sebagai moda produksi sekitar 12.000 tahun yang lalu.
Dengan pertanian, terciptalah untuk pertama kalinya surplus yang signifikan. Bersamaan dengan itu, lahirlah kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang bertentangan dan tak terdamaikan. Bentuk masyarakat yang lama — masyarakat berburu-meramu yang tidak mengenal kelas dan negara — tumbang. Masyarakat terbagi menjadi kelas yang menghisap dan kelas yang terhisap, dan untuk melanggengkan kekuasaan kelas penghisap dibutuhkan negara. Engels melanjutkan:
“Masyarakat ini telah terpecah belah ke dalam antagonisme-antagonisme tak-terdamaikan yang tak mampu ia singkirkan. Tetapi agar antagonisme-antagonisme ini, yaitu kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang bertentangan, tidak lantas menghancurkan diri mereka sendiri dan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka diperlukan sebuah kekuasaan, yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, untuk melunakkan konflik tersebut dan menjaganya dalam batas-batas ‘ketertiban’, … inilah negara.”
Jadi, negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindas satu kelas terhadap kelas yang lain. Negara bukanlah penengah yang netral yang tugasnya mendamaikan berbagai kelompok dengan kepentingan berbeda. Kepercayaan takhayul bahwa negara hadir sebagai semacam “kontrak sosial” antar warga untuk mengelola perbedaan di antara mereka dan menjadi medium bagi semua warga untuk bekerja bersama demi kepentingan bersama (kepentingan bangsa dan tanah-air), inilah ilusi yang berusaha dienyahkan oleh Lenin.
Kaum cerdik cendekiawan kelas penguasa sejak dulu kala telah mencoba memberikan pembenaran pada kehadiran negara. Di jaman kerajaan, para pendeta membenarkan kekuasaan raja-raja mereka sebagai manifestasi dari langit. Hari ini kita disajikan dengan argumen mengenai “semakin kompleksnya kehidupan sosial, diferensiasi fungsi, dan sebagainya” sebagai alasan diperlukannya negara. Pendekatan-pendekatan yang sepertinya ilmiah ini mengaburkan fakta yang paling mendasar, bahwa masyarakat telah terpecah menjadi kelas-kelas yang antagonistis dan tak terdamaikan. Kelas yang berkuasa membutuhkan organ pemaksa khusus untuk melanggengkan posisi dan penghisapan mereka.
Marx mengatakan dalam Manifesto Komunis bahwa negara “tidak lain adalah komite untuk mengelola masalah bersama seluruh borjuasi”. Omnibus Law yang belum lama ini disahkan oleh pemerintahan Jokowi adalah salah satu contoh bagaimana negara yang ada melayani kepentingan borjuasi, dalam hal ini untuk memperlancar investasi yang dapat memastikan profit besar bagi pemilik modal. Seluruh institusi negara telah disempurnakan untuk satu tujuan: melanggengkan penghisapan.
Pada analisa terakhir, bila kita lucuti negara dari semua embel-embelnya, dari semua undang-undang, ritual, ideologi, dan berbagai lembaganya, maka negara tidak lain adalah “badan khusus orang-orang bersenjata”. Negara adalah monopoli instrumen dan metode kekerasan oleh satu kelas untuk menindas kelas lain. Bila ada rakyat yang membangkang dan tidak menaati Omnibus Law, maka polisi dan tentara akan dikerahkan. Badan khusus orang-orang bersenjata ini adalah landasan kekuatan fisik yang menyokong semua kekeramatan negara dan hukumnya.
Kebiasaan dan tradisi taat pada negara sudah tertanam dalam-dalam di benak rakyat jelata. Namun, kebiasaan dan tradisi ini bukanlah sesuatu yang datang dari dalam diri manusia, seakan-akan sikap ketertundukan adalah inheren dan alami, melainkan dipaksakan dari luar dengan kekerasan selama puluhan ribu tahun sejak terbentuknya masyarakat kelas dan negara pertama dalam sejarah manusia.
Karena negara adalah organ penindas khusus, maka perjuangan proletariat untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi terikat erat dengan masalah negara. Apa yang harus dilakukan oleh proletariat yang menang terhadap negara? Mengambil alihnya atau menghancurkannya? Mereformanya atau membongkarnya sepenuhnya? Di sini Lenin mengingatkan kembali kepada para pembaca kesimpulan penting yang ditarik oleh Marx dari pengalaman Komune Paris 1871: “Kelas buruh tidak bisa begitu saja mengambil alih mesin negara yang sudah jadi dan menggunakannya untuk tujuannya sendiri.” Ini adalah kesimpulan utama yang diabaikan oleh kaum oportunis. Mesin negara borjuis yang sudah jadi ini tidak bisa direforma oleh kelas buruh demi kepentingan kelas mereka, karena dari atas hingga bawah mesin birokrasi-militer ini telah didesain khusus untuk melayani kepentingan kelas borjuis, dari lembaga-lembaganya, aturan dan tradisinya, hingga orang-orangnya. Kelas buruh harus menghancurkan mesin birokrasi-militer borjuis ini.
Di Indonesia, dengan begitu dalamnya kultur KKN yang menjangkiti pemerintah, dengan birokrasi kotor dan klik militer reaksioner yang merambat seperti kanker ganas dan menyumbat pori-pori masyarakat hari ini, jelas bahwa masyarakat baru yang bebas dari penindasan dan eksploitasi tidak akan bisa dibangun melalui negara seperti itu. Seluruh mesin birokrasi-militer ini harus dihancurkan sampai menjadi debu dan tak tersisa. Sosialisme tidak akan bisa dibangun dengan menggunakan mesin negara kapitalis.
Pertanyaan selanjutnya yang Lenin coba jawab adalah: “Apa yang akan menggantikan mesin negara yang telah dihancurkan itu?” Jawaban untuk pertanyaan ini diperoleh Marx dari pengalaman Komune Paris 1871, yang dirangkumnya dalam Perang Sipil di Prancis. Negara borjuis yang telah dihancurkan itu akan digantikan dengan negara buruh, yang bukanlah negara dalam pengertian yang lama. “Demokrasi … diubah dari demokrasi borjuis menjadi demokrasi proletar; dari negara (= kekuatan khusus untuk menindas kelas tertentu) menjadi sesuatu yang bukan lagi merupakan negara sebagaimana yang kita ketahui,” begitu jelas Lenin.
Bila negara borjuis adalah negaranya kelas borjuis untuk menindas dan menghisap buruh, maka negara buruh adalah negaranya kelas buruh untuk menindas borjuasi. Di sini tidak ada penghisapan, karena kelas borjuis bukanlah kelas produsen. Tidak ada nilai lebih yang bisa dihisap dari borjuasi yang tidak pernah bekerja seumur hidup mereka. Fungsi negara buruh adalah “menindas borjuasi dan mematahkan perlawanan mereka”, karena tidak ada satupun kelas penguasa yang akan menerima kehilangan kekuasaan mereka. Bahkan setelah kemenangan revolusi proletariat, sisa-sisa borjuasi dengan kacung-kacung mereka, yang telah terbiasa hidup bergelimang kekayaan dan privilese, akan terus meluncurkan perlawanan untuk bisa memulihkan takhtanya. Upaya inilah yang harus ditindas oleh negara buruh.
Lenin juga tidak bertele-tele dan mengatakan bahwa lewat negara buruh ini proletariat menegakkan kediktatorannya. Banyak orang merasa ngeri mendengar kata kediktatoran, tetapi Lenin berani mengatakan yang sebenarnya. Kediktatoran proletariat berarti proletariat menegakkan kekuasaannya di atas borjuasi, dengan mengekspropriasi kekayaan borjuasi, menghapus kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi — sebuah hak yang dianggap sakral oleh borjuasi — dan merenggut hak politik mereka yang sebelumnya mereka gunakan untuk memanipulasi publik. Inilah kediktatoran proletariat.
Kita selalu diberitahu bahwa dalam masyarakat hari ini ada kebebasan dan demokrasi bagi seluruh warga, tetapi sesungguhnya seluruh kehidupan rakyat pekerja didikte dan diarahkan oleh modal dan ekonomi pasar kapitalis. Kita hidup di bawah kediktatoran kapital, kediktatoran pasar, yang menyelubungi dirinya dengan dekorasi demokratik yang muluk-muluk. Anti-tesis dari kediktatoran kapital adalah kediktatoran proletariat, yaitu “proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa,” seperti yang dikatakan Marx dalam Manifesto Komunis.
Namun akan menjadi kesalahan bila kita menganggap negara buruh sama seperti negara-negara terdahulu. Ada perbedaan kualitatif. Lenin menekankan berulang kali bahwa negara buruh adalah negara yang akan melenyap. Setiap kebijakan yang diambilnya akan mengarah ke melenyapnya negara buruh, dan melenyapnya negara dalam makna yang sepenuh-penuhnya.
Selain mematahkan perlawanan borjuasi yang telah kalah, negara buruh juga memiliki tugas untuk mereorganisasi ekonomi. Mengekspropriasi kekayaan borjuis, dengan “mengubah alat-alat produksi menjadi milik umum”, hanyalah langkah pertama. Langkah selanjutnya adalah mengelolanya sehingga “ekspropriasi ini akan memungkinkan kekuatan produktif berkembang hingga ke tingkat yang luar biasa”, yaitu hingga ke tingkat ekonomi keberlimpahan di mana setiap orang dapat hidup di bawah kaidah “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya.” Untuk bisa mencapai tingkatan ini, kita memerlukan “kontrol yang paling ketat oleh masyarakat dan oleh negara atas kebijakan tenaga kerja dan kebijakan konsumsi.” Namun kontrol ini merupakan kontrol buruh secara demokratik, dan bukanlah kontrol oleh birokrasi berprivilese.
Semua ketimpangan, kemiskinan, prasangka lama yang terbelakang, dan kebodohan yang merupakan warisan dari kapitalisme — dan bahkan warisan dari masyarakat kelas selama ribuan tahun — akan dihancurkan satu demi satu oleh negara buruh, untuk menciptakan prasyarat material yang dibutuhkan untuk melenyapnya sepenuhnya kelas-kelas dan negara. Fase akhir ini akan dicapai oleh generasi baru yang lahir dan dibesarkan dalam masyarakat yang sudah tidak lagi mengenal eksploitasi dan penghisapan, generasi baru yang akan mampu mengelola hidup tanpa negara, tanpa komando, dan terbiasa menaati norma-norma dasar hubungan sosial tanpa kekuatan pemaksa. Seperti yang Lenin jelaskan dengan sangat baik:
“Negara akan dapat melenyap sepenuhnya ketika masyarakat mengadopsi kaidah: ‘Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya’, dalam kata lain, ketika rakyat telah menjadi begitu terbiasa menaati norma-norma dasar hubungan sosial dan ketika kerja mereka telah menjadi begitu produktif sehingga mereka akan dengan sukarela bekerja sesuai dengan kemampuannya. ‘Cakrawala sempit hukum borjuis’, yang memaksa seseorang untuk menghitung, layaknya rentenir yang tamak, apakah dia tidak bekerja setengah jam lebih banyak daripada orang lain, apakah dia tidak menerima upah yang lebih sedikit daripada orang lain – cakrawala sempit ini akan ditinggalkan. Dengan demikian, masyarakat, dalam mendistribusikan barang, tidak perlu lagi mengatur jumlah yang akan diterima oleh masing-masing orang; masing-masing akan mengambil secara bebas ‘sesuai dengan kebutuhannya’.”
Ini bukanlah utopia. Utopia terbesar adalah terus menerima kapitalisme yang tengah menyeret umat manusia ke barbarisme dan bahkan ke kehancuran seluruh spesies dengan krisis iklim yang diciptakannya.
Lenin memaparkan empat kondisi yang membuat negara buruh secara kualitatif berbeda dari negara kelas sebelumnya. Empat kondisi ini ditarik dari pengalaman Komune Paris yang dikaji oleh Marx dalam Perang Sipil di Prancis, di mana Komune Paris adalah pengalaman pertama proletariat dalam membangun negara buruh. Terlepas dari keterbatasannya, serta masa hidupnya yang pendek, Komune Paris penuh dengan banyak pelajaran tak ternilai.
Pertama, dalam negara buruh, semua pejabat dipilih oleh rakyat dan sewaktu-waktu dapat direcall. Kedua, semua pelayan publik menerima upah buruh. Semua privilese dan tunjangan khusus pejabat dihapus. Ketiga, penghapusan tentara tetap, yang digantikan dengan rakyat bersenjata. Keempat, semua fungsi pemerintahan harus digilir oleh seluruh rakyat, sehingga ketika semua menjadi birokrat maka tidak ada lagi birokrat. Fungsi pemerintah tidak lagi dimonopoli oleh segelintir pejabat profesional, tetapi langsung dijalankan oleh rakyat.
Bagi para pembela status quo, bagi orang-orang yang memiliki kepercayaan takhayul pada negara dan birokrasi, empat syarat ini tampak irasional, mustahil, naif dan primitif. Namun sesungguhnya hanya dengan penerapan kondisi-kondisi “demokrasi primitif” di atas maka negara buruh bisa pecah dari birokratisme-militerisme dan pada akhirnya bisa melenyap. “Transisi dari kapitalisme ke sosialisme mustahil tanpa kembali ke demokrasi ‘primitif’,” tegas Lenin lebih lanjut.
Terlebih lagi, kapitalisme telah menciptakan basis material yang memungkinkan setiap orang terlibat langsung dalam menjalankan semua fungsi pemerintah. Lenin menjelaskan:
“Peradaban kapitalis telah menciptakan produksi skala-besar, pabrik-pabrik, perkeretaapian, layanan pos, telepon, dll., dan di atas basis ini sebagian besar fungsi ‘kekuasaan negara’ yang lama telah disederhanakan sedemikian rupa dan dapat direduksi menjadi operasi registrasi, pengarsipan, dan pemeriksaan yang sangatlah sederhana, sehingga dapat dengan mudah dikerjakan oleh setiap orang yang melek huruf, dapat dengan mudah dikerjakan dengan ‘upah buruh’ biasa, dan sehingga fungsi-fungsi ini dapat (dan mesti) dibersihkan dari semua privilese dan semua kesan ‘kehormatan resmi’.”
Tetapi bagaimana dengan Uni Soviet? Bukankah monster Stalinisme yang lahir dari negara buruh Soviet membuktikan kekeliruan teori Marxis mengenai negara? Justru sebaliknya. Degenerasi birokratik negara Soviet merupakan bukti kesahihan teori Marxis. Marxisme menjelaskan bahwa mustahil membangun sosialisme di satu negeri, apalagi negeri yang terbelakang seperti Rusia. Sosialisme hanya bisa dibangun di atas pencapaian tertinggi kapitalisme, yang dipadukan dengan sistem ekonomi yang terencana secara demokratik di bawah kontrol buruh. Ini dipahami dengan baik oleh Lenin ketika dia memimpin Revolusi Oktober. “Dilihat dari sudah pandang historis-dunia, jelas tidak ada harapan bagi kemenangan akhir revolusi kita bila revolusi ini tetap terkucil … Saya ulangi, keselamatan kita dari semua kesulitan ini adalah revolusi di seluruh Eropa,” ucap Lenin pada 1918. Nasib Revolusi Oktober bersandar pada kemenangan revolusi di negeri-negeri kapitalis maju di Eropa Barat.
Rusia tidak memiliki landasan ekonomi dan budaya yang memadai untuk memenuhi empat syarat negara buruh. Seperti yang dijelaskan Lenin di kutipan atas, bahwa “peradaban kapitalis telah menciptakan produksi skala-besar … [sehingga] sebagian besar fungsi [negara] telah disederhanakan … [dan] dapat dengan mudah dikerjakan oleh setiap orang yang melek huruf … dengan ‘upah buruh’ biasa.” Memang benar bahwa peradaban kapitalis secara keseluruhan telah menciptakan basis material bagi implementasi keempat syarat negara buruh, tetapi tidak demikian di Rusia. Di Rusia, bentuk perekonomian yang mendominasi adalah produksi skala-kecil, bukan produksi skala-besar. Di Rusia, mayoritas besar rakyat tidak bisa membaca menulis, apalagi mengenyam pendidikan dasar atau perguruan tinggi. Oleh karenanya, negara Soviet muda terpaksa mengandalkan para birokrat, administrator, tenaga ahli, insinyur dan manajer dari rejim Tsar sebelumnya untuk menjalankan fungsi-fungsi negara serta ekonomi. Lapisan “terdidik” ini tidak bersimpati sama sekali dengan Revolusi Oktober dan Soviet. Mereka adalah lapisan borjuis-kecil berprivilese yang lebih berdiri di sisi kelas penguasa sebelumnya. Pemerintahan Soviet terpaksa mengupah mereka lebih tinggi dari upah buruh biasa agar mereka mau bekerja. Dengan demikian, tidak ada basis material di Rusia untuk memenuhi syarat-syarat negara buruh seperti pemilihan semua pejabat, upah buruh untuk semua pejabat, dan merotasi semua fungsi negara. Hukum tidak bisa lebih tinggi daripada kondisi ekonomi yang ada. Negara buruh Soviet yang terbentuk sedari awal sudah mengandung cacat yang dikondisikan oleh level ekonomi yang rendah di Rusia.
Lenin dan Trotsky menambatkan harapan mereka pada kemenangan revolusi proletariat di Eropa Barat. Proletariat Barat yang menang dapat segera menyediakan bantuan teknis dan modal untuk mengembangkan Rusia yang terbelakang. Dengan bantuan ini, Soviet dengan cepat bisa mencetak lapisan besar proletariat yang terampil dan terdidik yang bisa menjalankan fungsi-fungsi negara dan perekonomian, dan tidak perlu lagi mengandalkan elemen-elemen eks-Tsaris. Namun revolusi-revolusi Eropa mengalami kegagalan satu demi satu karena pengkhianatan kaum Sosial Demokrat — yang oportunismenya dikritik keras oleh Lenin dalam Negara dan Revolusi. Walhasil, Uni Soviet “terkucil”, diembargo dan digempur dari semua sisi oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhinya. Di bawah kondisi keterisolasian dan keterbelakangan inilah lapisan birokrasi tumbuh menguat dalam negara buruh, dan menjadi fenomena yang kita kenal dengan nama Stalinisme. Negara buruh alih-alih melenyap justru menjelma menjadi monster birokrasi yang mengerikan, yang menghancurkan dari dalam nilai-nilai Revolusi Oktober yang sejati. Untuk bisa melanggengkan kekuasaannya, kasta birokrasi ini, yang dipersonifikasikan oleh Stalin, melikuidasi secara fisik semua kaum Bolshevik Tua, yaitu kolega-kolega lama Lenin. Ada sungai darah yang pekat dan dalam yang memisahkan Lenin dan Stalin.
Kaum anarkis dan liberal melihat keruntuhan Uni Soviet sebagai bukti kekeliruan Marxisme. Pada kenyataannya, keruntuhan Uni Soviet semakin menegaskan apa yang telah diajarkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Hanya kemenangan revolusi proletariat di seluruh dunia yang pada akhirnya dapat menciptakan kondisi-kondisi untuk membangun sosialisme dan melangkah ke masyarakat tanpa-kelas dan tanpa-negara. Keruntuhan Uni Soviet dan restorasi kapitalisme di China dan Vietnam adalah bukti kekeliruan teori sosialisme di satu negeri yang diusung oleh kaum Stalinis, bukan bukti kekeliruan Marxisme.
Sampai hari ini Negara dan Revolusi masih merupakan karya terbaik dalam menjelaskan teori Marxis mengenai negara. Bila ada yang perlu ditambahkan di karya ini, ini adalah pelajaran dari Uni Soviet dan degenerasi birokratik yang menyusulnya. Kita bisa menyarikan pelajaran ini seperti berikut. Negara hanya dapat mulai melenyap ketika proletariat telah menggenggam di tangannya tuas-tuas utama ekonomi kapitalis dalam skala dunia, yang kemudian dapat mereka organisir dalam kerangka moda produksi sosialis untuk mengembangkan kekuatan produktif dunia sampai tingkat yang luar biasa, yakni hingga ke tingkat masyarakat berkelimpahan. Masyarakat berkelimpahan ini mustahil dicapai dalam batasan satu negeri, karena kapitalisme telah menciptakan sistem ekonomi yang mendunia. Dengan tercapainya masyarakat berkelimpahan, di mana untuk pertama kalinya manusia dapat hidup sesuai dengan kaidah “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”, maka tidak lagi dibutuhkan “kekuatan penindas khusus”, dan negara pun akan melenyap. Masyarakat baru akan tercipta, yang bebas dari penindasan manusia atas manusia.
Edisi baru Negara dan Revolusi ini diterjemahkan dari State and Revolution yang dimuat di Lenin Collected Works terbitan Progress Publishers. Edisi bahasa Prancis juga digunakan untuk membantu penerjemahan ini.
Ted Sprague
12 Februari, 2024