Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.
Kawan-kawan Presidium yang tercinta!
Sidang Kongres yang mulia!
Pertama-tama izinkanlah saya untuk menyatakan persetujuan saya terhadap Laporan Umum yang disampaikan kepada Kongres kita ini oleh Ketua CC Partai, Kawan D.N. Aidit, dan terhadap uraian-uraian mengenai Perubahan Konstitusi dan mengenai Perubahan Program Partai yang disampaikan masing-masing oleh Kawan M.H. Lukman dan Kawan Njoto.
Kesempatan ini akan saya pergunakan untuk menyampaikan uraian dalam memperkuat persetujuan saya kepada Laporan Umum Kawan D.N. Aidit, khususnya mengenai masalah pelaksanaan Ketetapan MPRS tentang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama.
Rakyat Indonesia telah memiliki program bersama yang maju
Kawan-kawan yang tercinta!
Telah berlangsung setahun lebih sejak MPRS pada sidang plenonya yang pertama pada akhir tahun 1960 yang lalu memutuskan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama.
Ketetapan yang bersejarah ini diambil oleh MPRS dengan suara bulat didukung oleh semua golongan politik (Nasionalis, Agama, dan Komunis) semua golongan karya (sipil maupun militer) dan utusan seluruh daerah. Ia merupakan prestasi dan sukses besar yang dicapai MPRS yang dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional Nasakom dan karya, dan sekaligus merupakan salah satu kemenangan gemilang dari rakyat Indonesia.
Dengan ketetapan ini untuk pertama kalinya rakyat Indonesia melalui majelis tertingginya meresmikan program bersama mengenai kehidupan materiil dan kultural. Program bersama ini sesuai dengan Amanat Pembangunan Presiden Sukarno, yaitu yang mencerminkan semangat anti-imperialisme dan anti-feodalisme yang kuat dari rakyat Indonesia, semangat ingin membina kehidupan baru yang modern dan progresif. Dalam hubungan ini adalah tepat apa yang dinyatakan Kawan D.N. Aidit, bahwa Plan 8 Tahun dan daya kreasi rakyat adalah sumber kemajuan.
Kawan-kawan yang tercinta!
Dalam pidato persetujuan golongan Komunis terhadap rencana Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Kawan Ir. Sakirman mengemukakan, bahwa “Pertama-tama harus jelas bagi kita bahwa sasaran pokok dari pembangunan tahap I ini ialah mempersiapkan dasar-dasar untuk membangun ekonomi nasional yang berdiri sendiri dan tidak tergantung, dengan mengikis dan membinasakan sisa-sisa ekonomi kolonial dan ekonomi feodal”. Kawan Ir. Sakirman juga mengemukakan keharusan dalam 3-4 tahun melakukan landreform secara konsekuen, yaitu melaksanakan semboyan “tanah untuk kaum tani yang menggarap tanah”, melakukan persiapan industrialisasi dengan industri berat dan industri-industri vital lainnya sebagai ekonomi sektor negara yang menduduki posisi komando dalam kehidupan ekonomi seluruh negeri, tentang keharusan mengambil tindakan menggerowoti modal monopoli asing seperti Stanvac, Shell, Caltex, dan lain-lain, dan soal mengikutsertakan rakyat dalam pembangunan. Juga dikemukakan bahwa dalam hal mengikutsertakan rakyat dalam pelaksanaan pembangunan memang sudah dilakukan di dalam badan-badan legislatif seperti Depernas, DPRGR, MPRS, dan sukses-sukses yang dicapai lembaga-lembaga tersebut adalah berkat dilaksanakannya kegotongroyongan yang berporoskan Nasakom dalam pimpinan lembaga-lembaga tersebut. Selanjutnya Kawan Ir. Sakirman menekankan bahwa yang terpenting bagi rakyat sekarang adalah masalah kekuasaan politik yang konsekuen anti-imperialisme dan anti-feodalisme, yang bijaksana, fleksibel dan tangkas. Tanpa adanya kekuasaan politik yang demikian, maka tidak akan mungkin melaksanakan pembangunan nasional semesta dan berencana yang dapat memenuhi syarat-syarat Manipol dan Amanat Pembangunan Presiden.
Partai mendukung pelaksanaan Plan 8 Tahun adalah karena ia merupakan program bersama seluruh bangsa untuk pembangunan ekonomi nasional dan untuk perbaikan syarat-syarat materiil rakyat pekerja. Dukungan Partai ini sepenuhnya bersumber kepada kepentingan politik dan kepentingan ekonomi rakyat. Dalam pada itu Partai memahami sepenuhnya, bahwa jika Plan 8 Tahun berhasil pelaksanaannya, yang akan tercapai adalah bersifat perbaikan keadaan ekonomi dan mengurangi ketergantungannya kepada ekonomi imperialis di dalam dan di luar negeri, sebagai syarat untuk dapat mengadakan perubahan-perubahan fundamental selanjutnya. Tujuan Plan 8 Tahun untuk mencapai self-supporting sandang pangan dan pembangunan industri-industri berat dan ringan, berarti langkah-langkah konkret untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional seperti yang digariskan oleh Manipol dan Amanat Pembangunan Presiden.
Karena itu adalah sesuatu yang wajar, jika rakyat pekerja menyambut dengan antusias Plan 8 Tahun, dengan harapan-harapan yang besar untuk suksesnya realisasi Plan tersebut, karena Plan Pembangunan itu dalam banyak hal berhubungan langsung dengan kepentingan seluruh rakyat.
Sebagai hasil dari penerangan-penerangan yang tidak henti-hentinya dilakukan oleh Partai dan organisasi-organisasi massa revolusioner di kalangan rakyat pekerja terdapat kesediaan yang sungguh-sungguh untuk menyukseskan Plan 8 Tahun. tetapi di dalam kenyataannya pelaksanaan Plan 8 Tahun para pelaksana belum memperhitungkan secara konkret faktor ikut-sertanya rakyat. Di kalangan sementara pejabat yang seharusnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan Plan 8 Tahun masih terdapat kekurangan pengertian tentang pembangunan berencana ini, sehingga akibatnya mencampuradukkan pelaksanaan pembangunan rutin dengan pelaksanaan Plan 8 Tahun atau juga terdapat banyak pejabat yang bekerja seperti waktu tidak ada Plan, malahan banyak yang tidak mengetahui apa dan berapa jatah yang harus dipenuhinya menurut Plan.
Tetapi di samping terdapat pejabat-pejabat yang tidak atau belum sempurna mengetahui Plan Pembangunan 8 Tahun, terdapat juga pejabat-pejabat yang telah mulai melaksanakan pembangunan tersebut, akan tetapi mengalami kemacetan-kemacetan, karena mereka tidak dapat mempergunakan sepenuhnya anggaran yang telah direncanakan, disebabkan keterlambatan otorisasi dan masa anggarannya sudah habis dan atau terbentur kepada kemerosotan nilai rupiah sehingga anggaran yang telah diberikan tidak dapat mencukupi pembiayaan pembangunan. Kekurangan-kekurangan koordinasi dalam pimpinan dan dalam pelaksanaan, kelemahan-kelemahan dalam administrasi mengakibatkan kesimpangsiuran pelaksanaan proyek-proyek tertentu dari Plan 8 Tahun dan keterlambatan-keterlambatan dalam otorisasi dan alokasi pembiayaan proyek-proyek pembangunan sehingga mengakibatkan kemacetan-kemacetan pelaksanaan. Di samping rakyat menuntut realisasi Plan 8 Tahun, terdapat orang-orang yang mulai “pura-pura lupa” dan “menyisihkan” sama sekali Plan 8 Tahun dengan tujuan-tujuan yang reaksioner. Kaum reaksioner memang berkepentingan untuk menggagalkan realisasi Plan 8 Tahun, karena seperti dinyatakan laporan Kawan Aidit bahwa suksesnya Plan 8 Tahun akan berarti semakin kokohnya persatuan nasional yang berporoskan Nasakom dan mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia dari negeri-negeri imperialis yang menjadi sandaran mereka. Dalam pada itu terdapat sementara pejabat yang ketakutan terhadap dilaksanakannya prinsip mengikutsertakan rakyat dalam pelaksanaan Plan 8 Tahun karena dengan demikian akan berjalanlah pengawasan terhadap pelaksanaan rencana pembangunan, yang memungkinkan pencegahan penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan-penyelewengan.
Dengan memuncaknya perjuangan pembebasan Irian Barat dengan Trikomando Rakyat yang dikeluarkan Presiden/Panglima Tertinggi Sukarno, ada pendapat-pendapat untuk menangguhkan pelaksanaan Plan 8 Tahun. Padahal Presiden Sukarno sendirilah yang selalu menyatakan tentang pentingnya konfrontasi di semua bidang, politik, ekonomi, dan militer dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat. Pelaksanaan Plan 8 Tahun adalah merupakan bagian terpenting dalam konfrontasi di bidang ekonomi untuk perjuangan pembebasan Irian Barat. Soalnya adalah terletak pada pentingnya memberikan prioritas yang tepat dalam hubungan dengan situasi perjuangan pembebasan Irian Barat sekarang ini. Adalah pada tempatnya untuk memberika prioritas-prioritas kepada proyek-proyek pangan dan transpor di samping proyek sandang yang bisa dihubungkan langsung dengan konsolidasi “home front” dan persiapan-persiapan lain dalam hubungan dengan perjuangan pembebasan Irian Barat. Dalam pada itu proyek-proyek listrik dan besi baja tidak pada tempatnya untuk disisihkan begitu saja dalam tahun-tahun pertama pelaksanaan Plan 8 Tahun karena proyek-proyek tersebut adalah merupakan dasar bagi pembangunan industri di negeri kita. Pemberian prioritas kepada proyek-proyek tertentu di daerah-daerah yang berbatasan dengan Irian Barat adalah merupakan usaha memperkuat perjuangan pembebasan Irian Barat.
Dengan demikian jelaslah bahwa menangguhkan pelaksanaan Plan 8 Tahun dengan alasan untuk melaksanakan Trikomando Rakyat adalah sesuatu yang keliru. Kawan Aidit dalam Sidang Pleno ke-3 CC PKI dan ditekankan kembali dalam judul Laporan Umum Kongres Nasional ke-7 PKI sekarang ini dengan tepat merumuskan bahwa dalam situasi sekarang ini perlu kita menjunjung tinggi Tripanji Bangsa, yaitu panji Demokrasi, panji Persatuan, dan panji Mobilisasi. Dengan adanya demokrasi akan dimungkinkan penggalangan persatuan nasional yang kuat. Persatuan nasional yang kuat itu merupakan syarat mutlak dan sekaligus jaminan berhasilnya mobilisasi seluruh kekuatan rakyat dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, maupun dalam mengatasi kesulitan sandang pangan dan dengan sendirinya juga mobilisasi untuk pelaksanaan Plan 8 Tahun.
Kawan-kawan yang tercinta!
Kegiatan orang-orang Komunis dan orang-orang revolusioner lainnya di dalam lembaga-lembaga demokrasi seperti MPRS, DPRGR, Depernas, dan DPRDGR-DPRDGR harus dikombinasi dengan tuntutan-tuntutan massa, untuk memberi dorongan bagi kelancaran realisasi Plan 8 Tahun untuk Pembangunan.
Secara khusus kegiatan Depernas dan MPRS dalam hubungan dengan Plan 8 Tahun ternyata semakin intensif, di samping kegiatan pelaksanaan yang langsung menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah.
Tugas Depernas pada waktu sekarang adalah mengikuti pelaksanaan Plan 8 Tahun pembangunan dengan memberikan bantuannya kepada Pemerintah dalam bentuk menyusun pedoman-pedoman pokok mengenai rencana pelaksanaan Plan 8 Tahun. Karya Depernas dengan Komisi-Komisi dari Badan Kerjanya telah tampak dalam menunaikan tugas ini, hasil karya yang seharusnya bukan hanya patut dihargai tetapi juga yang terpenting adalah diperhatikan dan dipergunakan oleh Pemerintah dalam kegiatannya melaksanakan Plan 8 Tahun.
MPRS sebagai lembaga tertinggi negara setelah menghasilkan Ketetapan-Ketetapan MPRS No. I dan No. II yang bersejarah itu tidak bersikap berpangku tangan dalam hubungan dengan pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan itu. Kebijaksanaan pimpinan MPRS bersama Mandataris telah menggiatkan anggota-anggota MPRS untuk membantu Presiden/Mandataris dalam pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dengan pembentukan Badan Pembantu Pimpinan MPRS dengan Komisi-Komisinya dan Panitia-Panitia Daswati I MPRS di seluruh Indonesia dapatlah disalurkan kegiatan para anggota MPRS dalam mengikuti pelaksanaan Plan 8 Tahun pembangunan dengan saksama, dengan jalan mengadakan konsultasi dan penerangan kepada pejabat-pejabat pelaksana dan memberi bantuan serta dorongan-dorongan dengan usul-usul dan saran-saran untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperlancar pelaksanaan Plan 8 Tahun.
Syarat-syarat ekonomi dan teknis dalam pelaksanaan Plan 8 Tahun
Kawan-kawan yang tercinta!
Untuk suksesnya Plan 8 Tahun dibutuhkan syarat-syarat ekonomi-keuangan, misalnya, pengerahan “funds and forces” yang sebesar-besarnya. Amanat Pembangunan Presiden dan Ketetapan-Ketetapan MPRS dengan jelas menggariskan, bahwa pemecahan masalah “funds and forces” harus sesuai dengan garis revolusi nasional-demokratis, yaitu dengan jalan menggerowoti ekonomi kaum imperialis dan tuan tanah, memperkuat ekonomi sektor negara dan melindungi ekonomi sektor swasta nasional, termasuk koperasi untuk dapat digunakan sebaik-baiknya.
Apakah garis kebijaksanaan ini berlaku dalam pelaksanaan Plan 8 Tahun yang sudah berjalan lebih dari setahun dapat dijawab oleh kenyataan-kenyataan sendiri, yaitu bahwa kedudukan monopoli dari modal asing di lapangan perminyakan belum diganggu-gugat, pelaksanaan landreform belum berjalan lancar sebagaimana mestinya, ekonomi sektor negara yang sudah semakin luas belum memerankan kedudukan memimpin ekonomi negeri, sedang perkembangan yang wajar dari ekonomi sektor swasta nasional mengalami kesulitan-kesulitan, demikian pula perkembangan koperasi dan fungsinya dalam kehidupan ekonomi belum mencapai taraf yang dikehendaki.
Mengenai jalannya perusahaan-perusahaan negara, termasuk PDN-PDN, dari laporan Pemerintah dapat dikonstatasi bahwa investasi modal ke dalamnya adalah sangat besar dan pendapatan daripadanya untuk kas negara tidak seimbang dengan modal kerja yang diperolehnya dan peranan yang dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara tersebut. Dengan demikian perusahaan-perusahaan negara bukan menjadi sandaran keuangan tetapi sebaliknya, menjadi beban yang memberatkan dan boros dalam penggunaan uang negara.
Kawan Aidit di dalam laporannya kepada Kongres kita ini dengan jelas mengungkapkan apa yang menjadi sebab dari kemacetan dalam mengendalikan seluruh kehidupan ekonomi negeri, termasuk PDN-PDN, sekalipun terdapat dasar-dasar baik untuk itu. Laporan Kawan Ketua menandaskan: “Sebabnya ialah karena kekurangan-kekurangan dalam pengurusan, karena kaum buruh dan rakyat pekerja tidak diikutsertakan dalam kontrol, dan perbuatan-perbuatan kaum kapitalis birokrat yang mencoleng dan menyebarkan serikat buruh-phobi, Komunisto-phobi, Nasakom-phobi, dan sebagainya. Ternyata selama ini bahwa birokrasi memang menjadi satu dan tak terpisahkan dengan kaum kapitalis birokrat yang lebih banyak menggerowoti daripada mengurus kekayaan negara, yang lebih mementingkan perusahaan-perusahaan bayangan miliknya sendiri, keluarganya, atau komplotannya. Bukan hanya perusahaan-perusahaan negara yang dirugikan oleh kaum kapitalis birokrat tetapi juga pihak pengusaha-pengusaha nasional dirintangi perkembangannya”.
Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 menyatakan bahwa Landreform sebagai bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat pengisap. Pelaksanaan garis ini ujudnya pada taraf sekarang adalah pelaksanaan UUPA dan UUPBH. Ketidaklancaran dari pelaksanaan kedua Undang-Undang ini adalah karena sabotase dan pelaksanaan-pelaksanaan yang diselewengkan oleh pejabat-pejabat yang reaksioner di daerah-daerah, yang secara langsung atau tidak langsung melindungi kepentingan-kepentingan tuan tanah. Sudah waktunya sekarang ini untuk meritul pejabat-pejabat semacam itu. (Tepuk tangan).
Realisasi UUPA dan UUPBH ini sebagian besar tergantung pada aksi-aksi massa kaum tani yang perlu dibangkitkan dan diberi pimpinan yang baik oleh organisasi tani revolusioner. Walaupun UU ini baru bersifat membatasi pemilikan tanah oleh tuan tanah dan mengurangi pengisapan tuan tanah atas kaum tani penggarap, jika ia dapat direalisasi akan membangkitkan antusiasme yang luas di kalangan kaum tani, yang memungkinkan naiknya produksi beras. Program ini dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan, bahkan senyawa dengan program untuk mencapai self-supporting beras atau mempertinggi produksi bahan makanan.
Kawan-kawan yang tercinta!
Ditinjau dari segi pembiayaan pembangunan, ternyata pelaksanaan Plan 8 Tahun dalam tahun 1961 adalah sebagai berikut: Anggaran Belanja pembangunan 1961 direncanakan sebesar Rp. 30 miliar. Sampai akhir 1961 baru dikeluarkan biaya sejumlah Rp. 25,8 miliar, yaitu sebagai pinjaman melalui Bank Pembangunan Indonesia sebesar Rp. 4,3 miliar, dan otorisasi Thesauri Negara sebesar Rp. 21,5 miliar. Perincian pengeluaran itu adalah: Rp. 18,98 miliar untuk pembangunan bidang sipil dan Rp. 6,83 miliar untuk pembangunan bidang militer. Menurut kebiasaan, jumlah uang yang diotorisasi belum tentu dengan sendirinya berarti bahwa jumlah itu dipergunakan keseluruhannya sampai habis pada akhir tahun, bahkan ada kalanya Departemen-Departemen harus menyerahkan kembali uang anggaran pembiayaan yang diterimanya karena sudah lewat tahun anggaran. Jika kita pelajari Nota Keuangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Belanja Negara tahun 1962, juga tidak dapat dilaporkan realisasi obyektif dari uang pembangunan yang telah diotorisasi itu, sehingga amatlah sukar untuk dapat mengambil perbandingan guna memberikan penilaian sampai di mana benarnya dan riilnya angka-angka yang dimajukan Pemerintah untuk anggaran belanja pembangunan tahun 1962. Walaupun demikian dari angka-angka tersebut dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa kalau biaya yang dikeluarkan lebih kurang 86% dari anggaran yang direncanakan, maka verwerkingskapasiteit tentulah tidak sebesar itu. Jika dihitung pula kemerosotan nilai rupiah selama tahun 1961, dengan memperhatikan naiknya harga sandang pangan sekitar 2 kali pada bukan Desember 1961 dibanding Desember 1960 sebagai dilaporkan oleh Kawan Ketua, maka secara riil verwerkingskapasiteit dari aparat pelaksanaan pembangunan berencana tahun 1961 adalah jauh di bawah 86% itu, paling tinggi berkisar sekitar 50%. Jika verwerkingskapasiteit alat-alat pelaksanan pembangunan hanya sedemikian itu yang notabene pada umumnya berupa lanjutan dari proyek-proyek yang telah berjalan sebelumnya seperti proyek-proyek Jatiluhur, Asian Games, Hotel Indonesia, Jalan Raya Kalimantan dan lain-lain sebagainya, sedang proyek-proyek baru pada umumnya belum dimulai pelaksanaannya, maka dapatlah kita gambarkan betapa besarnya sebenarnya pelaksanaan pembangunan Plan 8 Tahun itu pada tahun 1961 yang lalu.
Mengenai anggaran pendapatan negara 1961, direncanakan penerimaan sebagai laba dari perusahaan-perusahaan negara sebesar Rp. 4 miliar. Ternyata sampai bulan Oktober 1961 (selama 10 bulan) yang dapat dimasukkan hanya sebesar Rp. 532 juta, atau hanya sebanyak 13% saja! Padahal kredit yang dikeluarkan Pemerintah pada tahun 1961, yang sebagian besar diberikan kepada Perusahaan-Perusahaan Negara, berjumlah Rp. 14,7 miliar, termasuk tidak kurang dari Rp. 11 miliar untuk perusahaan-perusahaan dagang negara. Padahal, kalau diperhitungkan kebiasaan yang sudah umum di perusahaan-perusahaan dagang, bedrijfscrediet sebesar Rp. 11 miliar ini dengan turnover 3 X omzetnya sudah akan berarti Rp. 33 miliar. Jika diperkirakan untung 10% saja dari omzet, maka ini berarti untung sedikitnya Rp. 3,3 miliar. Tapi yang masuk kas negara hanyalah Rp. 532 juta. Dari seluruh rencana pendapatan luar biasa 1961 yang berjumlah Rp. 19 miliar sampai Oktober 1961 ternyata dapat direalisasi baru hanya sebesar Rp. 2,9 miliar atau 15% saja.
Angka-angka ini membayangkan ketidaksungguhan dalam pelaksanaan mencapai rencana jatah, disebabkan berlangsungnya mismanagement (pengurusan yang buruk), pemborosan-pemborosan serta pencolengan-pencolengan di lingkungan PDN-PDN seperti disinyalir oleh Presiden Sukarno dalam Resopim.
Mengenai rencana anggaran belanja pembangunan semesta buat tahun 1962, yang dimajukan oleh Pemerintah kepada DPRGR adalah sebesar Rp. 22,195 miliar untuk bidang sipil, sedang untuk pembangunan bidang militer dikemukakan secara pro memorie. Dalam anggaran belanja pembangunan 1962 ini dimasukkan juga pos anggaran belanja “perjuangan Irian Barat” dengan jumlah pro memorie pula. Melihat rencana anggaran belanja pembangunan 1962 ini tidak tampak perspektif yang terang tentang pelaksanaan Plan 8 Tahun dalam tahun 1962. Jumlah biaya yang disediakan sebesar Rp. 22,195 miliar untuk pembangunan bidang sipil, jika kita perhitungkan dengan semakin merosotnya nilai rupiah, dapatlah sudah kita bayangkan betapa kecilnya pelaksanaan pembangunan Plan 8 Tahun yang akan dapat direalisasi. Dimasukkannya rencana anggaran pembiayaan pembangunan khusus militer secara pro memorie akan memungkinkan pengeluaran-pengeluaran yang tidak akan seimbang lagi dengan ketentuan-ketentuan yang telah direncanakan oleh MPRS, sebagaimana dapat dilihat dari otorisasi pembiayaan pembangunan tahun 1961 yang lalu. Mengenai dimasukkannya pos anggaran pembiayaan bagi perjuangan pembebasan Irian Barat di dalam Anggaran Belanja Pembangunan, yang tadinya hanya memuat biaya plan pembangunan 8 tahun, adalah sesuatu yang mengandung berbagai kemungkinan. Perjuangan pembebasan atau merebut Irian Barat adalah sesuatu yang sekalipun urgen tapi bersifat insidental dan temporer, tidak akan berlaku sepanjang masa Plan 8 Tahun, bahkan akan terlaksana tahun ini juga. Sebaliknya pembangunan semesta tahapan pertama direncanakan buat 8 tahun, dengan proyek-proyek yang sudah tertentu dan jumlah biaya yang sudah ditetapkan. Dengan dimasukkannya pos perjuangan Irian Barat dalam anggaran belanja pembangunan 8 tahun akan mudah terjadilah kekaburan baik tentang kedudukan maupun tentang proyek dan pembiayaan Plan 8 Tahun pembangunan nasional semesta berencana, yang pada akhirnya mungkin menghilangkan arti penting dari adanya Plan 8 Tahun itu sendiri. Sudah tentu harus dicegah hal ini, karena perjuangan Irian Barat tidak dimaksud dan tidak boleh berakibat demikian.
Untuk mencapai stabilitas dalam perencanaan dan realisasi pembiayaan Plan 8 Tahun Pembangunan, keadaan ekonomi dan keuangan adalah menentukan. Karena itu berbicara mengenai masalah pembiayaan pembangunan tidak dapat dipisahkan dari masalah politik ekonomi dan politik keuangan negara. Selama Pemerintah belum mengubah dan memperbarui orientasi politik ekonomi dan politik keuangannya, selama itu tidak akan mungkin tercapai perencanaan dan realisasi pembiayaan pembangunan yang akan mencapai sasarannya, yaitu suksesnya pelaksanaan Plan 8 Tahun Pembangunan seperti yang ditetapkan oleh MPRS.
Berbicara seterusnya mengenai soal pembiayaan Plan 8 Tahun pembangunan, Pola DEPERNAS yang telah direvisi oleh MPRS terutama tentang peranan modal asing dalam pembiayaan pembanguna, merencanakan sumber-sumber pembiayaan dari yang dinamakan proyek B yang berjumlah 8 buah di antaranya merupakan proyek-proyek untuk mendapatkan biaya devisa dengan eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang akan diekspor. Ternyata bahwa proyek B yang pengertiannya seharusnya adalah proyek-proyek yang segera menghasilkan itu sampai sekarang belum lagi dilaksanakan.
Ada pendapat yang tidak sesuai dengan Ketetapan-Ketetapan MPRS, yaitu sikap yang mau dengan “gampang” saja mendapatkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan dengan tidak memikirkan akibatnya bagi kemerdekaan nasional dan bagi perspektif ekonomi negeri kita, sekarang masih ada di kalangan sementara pejabat-pejabat pelaksana Plan 8 Tahun. Misalnya, terdapat pikiran yang mau main gadai dan ijonkan kekayaan alam kita dalam bentuk “production-share” dan “contractor” dengan modal asing di bidang minyak bumi, perikanan dan kehutanan yang akibatnya akan memperkuat kedudukan kapitalis monopoli asing di Indonesia yang semestinya harus digerowoti.
Politik “production-sharing” dan sebagainya menunjukkan kurang kepercayaan kepada kemampuan rakyat, padahal kemampuan rakyat dan bangsa adalah tak terbatas.
Urgensi pelaksanaan proyek B semakin terasa mengingat situasi keuangan negara yang suram, yang tergambar juga di dalam rencana anggaran belanja negara untuk tahun 1962.
Akan tetapi pelaksanaan proyek B ini harus dengan mencegah penanaman modal asing dalam bentuk apapun dan harus mendasarkannya pada pengerahan modal dan tenaga dalam negeri yang tersedia dan kalau terpaksa melalui pinjaman luar negeri yang tidak memberatkan Indonesia. Kredit luar negeri dari negeri-negeri sosialis tanpa syarat-syarat politik dan militer belum digunakan secara maksimal. Sedangkan simpati dan kesediaan membantu dari negeri-negeri sosialis adalah cukup besar dan memungkinkan pembangunan yang sesuai dengan Amanat Pembangunan Presiden dan Ketetapan MPRS.
Proyek B yang merupakan proyek yang harus segera menghasilkan itu seharusnya dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan negara yang ada sekarang dan ditambah dengan proyek-proyek baru yang diperlukan. Penanaman modal jangka 1 tahun dan jangka 3 tahun dapat dilakukan dalam hal ini, terutama di bidang agraria dan perikanan, serta sektor pertambangan dan industri yang ada, misalnya, dengan penanaman jagung dan tembakau, penangkapan ikan, penebangan kayu hutan dan sebagainya, juga dalam bentuk peningkatan volume produksi dari perusahaan-perusahaan negara yang ada seperti bauksit, timah, mangan, minyak bumi, perusahaan transportasi laut dan darat, dan lain-lain. Dengan pengertian proyek B secara demikian, terdapatlah kemungkinan-kemungkinan bukan hanya menggali sumber-sumber untuk pembiayaan pembangunan tetapi ia juga akan mengembangkan ekonomi sektor negara dan akan berpengaruh baik pada situasi moneter negara yang dari tahun ke tahun terus merosot.
Pelaksanaan proyek B secara demikian juga sejalan dengan politik keuangan yang bersandar pada produksi dan bukan pada pajak langsung dan tidak langsung yang sangat memberatkan rakyat, untuk menstabilisasi nilai rupiah dan menstabilisasi harga, sebagai syarat penting dalam pelaksanaan pembangunan berencana.
Untuk menyelamatkan pelaksanaan Plan 8 Tahun pembangunan diperlukan beberapa tindakan dalam bidang pembiayaan dan bidang-bidang lain sebagai berikut:
Demikianlah beberapa syarat dalam bidang pembiayaan dan teknis-ekonomis dalam pelaksanaan Plan 8 Tahun Pembangunan yang harus mendapat perhatian jika kita ingin mencapai sukses.
Syarat-syarat politik adalah yang paling menentukan sukses tidaknya pelaksanaan Plan 8 Tahun Pembangunan
Kawan-kawan yang tercinta!
Di samping syarat-syarat ekonomi dan teknis seperti saya uraikan di atas, mutlak perlu adanya syarat-syarat politik untuk menyukseskan pelaksanaan Plan 8 Tahun itu, syarat-syarat politik yang bersumber kepada Manipol.
Sudah berkali-kali PKI mengemukakan hal ini. Kawan D.N. Aidit dalam bukunya yang berjudul “Sosialisme Indonesia dan Syarat-Syarat Pelaksanaannya” mengemukakan secara luas dan mendalam (hal. 100 s.d. 110) dan menyimpulkan bahwa untuk melaksanakan dengan sukses Plan 8 Tahun Pembangunan diperlukan syarat-syarat politik sebagai berikut:
Tegasnya dapat dikemukakan, bahwa PKI yakin seyakin-yakinnya bahwa Plan 8 Tahun itu pasti akan tercapai apabila tuntutan Kongres Nasional ke-6 PKI yaitu “Demokrasi dan Kabinet Gotong-Royong” dapat diwujudkan. (Tepuk tangan).
Adalah menjadi tugas dari Partai dan semua kaum revolusioner, semua Manipolis, untuk memperjuangkan terciptanya syarat-syarat politik yang diperlukan, syarat yang paling menentukan dari sukses tidaknya pelaksanaan Plan 8 Tahun Pembangunan. Tercipta-tidaknya syarat-syarat politik ini yang akan menentukan pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan MPRS, dengan mengutip sambutan Kawan Njoto pada Sidang Pleno MPRS yang lalu ketika berbicara mewakili golongan Komunis dalam menerima Manipol dan Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah merupakan ukuran sampai di mana “kedewasaan Republik kita”.
Marilah kita maju terus untuk memperjuangkan realisasi pembangunan nasional semesta berencana!
Majulah untuk Demokrasi, Persatuan dan Mobilisasi, untuk pembebasan Irian Barat, sandang pangan dan pelaksanaan Ketetapan-Ketetapan MPRS! (Tepuk tangan).
Majulah untuk mencapai Demokrasi dan Kabinet Gotong-Royong! (Tepuk tangan lama).