Sumber: Tegakkan PKI yang Marxis Leninis Untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat, Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI. Delegasi CC PKI, September 1971. Scan Booklet.
Rakyat Indonesia memperingati ulang tahun ke-21 Revolusi Agustus 1945 kali ini dalam keadaan berkuasanya kontra-revolusi yang dibenggoli oleh jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution. Tenaga-tenaga penggerak revolusi sedang mengalami kemunduran besar, sebagai akibat dari teror putih yang luar biasa kejam dan ganasnya terhadap organisasi-organisasi dan orang-orang revolusioner dan demokrat, terutama PKI dan orang-orang Komunis. Sejarah Indonesia dalam jaman modern belum pernah menyaksikan merajalelanya teror kontra-revolusioner yang kebiadabannya hanya dapat disetarakan dengan Nazi-isme Hitler, seperti yang selama hampir satu tahun ini dipraktekkan oleh kekuatan-kekuatan yang dibenggoli oleh jenderal-jenderal reaksioner AD. Akan tetapi betapapun ganas dan biadabnya kontra-revolusioner mengamuk, mereka tidak akan dapat mematikan elan revolusi kelas buruh, kaum tani, dan tenaga-tenaga penggerak revolusi lainnya.
Perkembangan dalam beberapa bulan terakhir ini menunjukkan, bahwa krisis, yaitu keadaan yang paling sulit yang dialami oleh gerakan revolusioner dalam menghadapi pukulan kontra-revolusioner seperti ketiadaan ketegasan pimpinan, berantakannya organisasi, kepasifan dalam menghadapi mengamuknya teror, dsb, pada pokoknya telah dilalui. Setapak demi setapak kaum revolusioner dan demokrat mengorganisasi diri kembali dan melakukan perlawanan terhadap diktator militer jenderal-jenderal reaksioner AD Suharto-Nasution. Semuanya ini dilakukan di dalam keadaan yang sulit dan berat, di bawah ancaman teror tak henti-hentinya. Betapa tak terpatahkan semangat revolusioner Rakyat Indonesia !
PKI, yang menurut keharusan sejarah menempati kedudukan sebagai pelopor kelas buruh dan semua kekuatan revolusioner di Indonesia, bukan saja mulai membangun kembali organisasinya dari kerusakan-kerusakan yang amat berat, tetapi juga, berkat dilakukannya kritik dan otokritik di kalangan pimpinan dan seluruh Partai, telah mulai menempuh kembali jalan yang benar, jalan revolusi yang diterangi Marxisme-Leninisme.
Kaum revolusioner memperingati Hari 17 Agustus kali ini dalam keadaan yang amat sulit, tetapi dengan pikiran yang terang mengenai jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh Revolusi Agustus 194. Revolusi Agustus 1945 ini sendiri, walaupun gagal mencapai tujuan obyektifnya, merupakan suatu peristiwa dan pengalaman sejarah yang sangat penting. Revolusi Agustus 1945 telah membangkitkan kesadaran politik Rakyat Indonesia dalam taraf yang tidak mungkin dicapai dalam keadaan tidak ada revolusi. Ia telah membangkitkan keberanian berjuang Rakyat. Ia telah memberikan pelajaran proletariat Indonesia dan PKI, tentang kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk memikul tugas sejarah sebagai pemimpin perjuangan pembebasan Rakyat Indonesia. Tidak ada cara yang lebih tepat untuk memperingati Hari 17 Agustus 1945 kecuali dengan menarik pelajaran-pelajaran dari padanya, terutama dari sebab-sebab kegagalannya.
MENGAPA REVOLUSI AGUSTUS 1945 GAGAL MENCAPAI TUJUAN OBYEKTIFNYA?
Berdasar syarat-syarat obyektif, karena Indonesia pada waktu itu negeri jajahan dan setengah-feodal, maka revolusi Agustus 1945 berwatak borjuis demokratis dengan dua tugas, yaitu mengusir imperialisme dari Indonesia, membebaskan seluruh nasion, dan melaksanakan perubahan-perubahan demokratis, menghancurkan sampai ke akar-akarnya sisa-sisa feodalisme, membebaskan kaum tani dari penindasan feodal tuan tanah asing dan pribadi.
Revolusi Agustus 1945 menurut keharusan sejarah bukan revolusi borjuis demokratis tipe lama, yang tugasnya melikuidasi sisa-sisa feodalisme untuk membuka jalan bagi perkembangan kapitalisme. Revolusi Agustus 1945 terjadi dalam jaman keruntuhan kapitalisme, jaman revolusi proletar sosialis dunia, jaman peralihan dari kapitalisme ke sosialisme dan komunisme yang dimulai sejak Revolusi Sosialis Oktober Besar 1917. Oleh karena itu Revolusi Agustus 1945 menjadi bagian dari revolusi proletar sosialis dunia. Ia adalah revolusi borjuis demokratis tipe baru. Kemenangan revolusi borjuis demokratis tipe baru secara sempurna berarti memberikan syarat bagi pelaksanaan revolusi sosialis. Oleh karena itu hari depan Revolusi Agustus 1945 adalah sosialisme dan Komunisme.
Tenaga penggerak Revolusi Agustus 1945 adalah kelas buruh/proletariat, kaum tani, dan borjuis kecil di luar kaum tani. Segi anti-imperialisme Revolusi Agustus 1945, yang menonjol pada permulaannya memungkinkan dimobilisasinya golongan-golongan penduduk Indonesia yang amat luas. Bukan saja borjuasi nasional yang dalam batas-batas tertentu anti-imperialisme dan anti-feodalisme, tetapi juga elemen-elemen patriotik lainnya termasuk tuan tanah patriotik, telah ikut atau membantu dalam perang kemerdekaan melawan imperialis Belanda.
Akan tetapi tidak semua kelas dan golongan yang telah ikut dalam melawan agresi imperialis Belanda pada awal revolusi mempunyai tujuan yang sama dalam mengisi kemerdekaan Indonesia yang akan diperoleh sebagai hasil revolusi melawan imperialisme itu. Kelas-kelas penghisap, termasuk juga borjuasi nasional tidak mempunyai tujuan lebih jauh daripada mempertahankan dan mengembangkan kepentingan-kepentingan kelasnya. Oleh karena itu kelas-kelas ini tidak mempunyai tujuan untuk membebaskan Rakyat Indonesia dari segala bentuk penghisapan.
Kaum komprador seperti Hatta, Sjahrir, dan pemimpin-pemimpin Soska lainnya serta pemimpin-pemimpin Masjumi dan sebangsanya sama sekali tidak mempunyai cita-cita untuk Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis. Sudah sejak permulaan Revolusi Agustus mereka senantiasa berusaha untuk menggagalkan revolusi dengan mengadakan kompromi-kompromi yang reaksioner dengan imperialis Belanda. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat revolusi.
Borjuasi nasional, karena wataknya yang bimbang dalam melawan imperialis, ketika revolusi mengalami kekalahan demi kekalahan, dan kekuatan-kekuatan revolusi menjadi semakin lemah, telah ikut borjuasi komprador mengkhianati revolusi.
Kaum tani, yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia dan paling ditindas oleh sisa-sisa feodalisme, adalah tenaga pokok revolusi. Menurut wataknya, Revolusi Agustus 1945 seharusnya adalah revolusinya kaum tani, revolusi yang membebaskan mereka dari penindasan sisa-sisa feodalisme. Tetapi kaum tani hanya akan mencapai kebebasannya dengan pimpinan proletariat. Dan hanya apabila proletariat telah dapat berpadu dalam persekutuan yang teguh dengan kaum tani, maka ia dapat memimpin revolusi mencapai kemenangan.
Kelas buruh atau proletariat Indonesia, walaupun jumlahnya kecil tetapi mewakili kekuatan produksi baru di Indonesia. Ia adalah kelas yang paling maju, paling revolusioner, memiliki kesadaran organisasi dan disiplin yang kuat. Sebagai kelas yang tidak mempunyai milik yang harus dipertahankan dalam jaman kapitalisme, maka kelas buruh adalah kelas yang paling konsekuen di negeri kita dalam melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Kelas buruh adalah kelas yang paling “sepi ing pamrih”, dan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk penghisapan dan penindasan. Oleh karena itulah kelas buruh menduduki tempat sebagai pemimpin perjuangan pembebasan Rakyat Indonesia. Revolusi Agustus 1945 seharusnya dipimpin oleh kelas buruh Indonesia.
Mengkarakterisasi watak kelas dari borjuasi dan proletariat dalam revolusi borjuis demokratis, Lenin mengatakan bahwa “Kedudukan yang ditempati oleh borjuasi sebagai kelas di dalam masyarakat kapitalis tidak boleh tidak menyebabkan tidak konsekuen di dalam revolusi demokratis. Kedudukan yang ditempati proletariat sebagai kelas memaksanya menjadi konsekuen demokratis. Borjuasi menoleh ke belakang, takut pada kemajuan demokratis, yang mengancam akan memperkuat proletariat. Proletariat tidak kehilangan suatupun kecuali belenggunya tetapi dengan bantuan demokrasi mereka akan memperoleh dunia” (Lenin, Dua Taktik Sosial Demokrasi Dalam Revolusi Demokratis).
Pimpinan kelas buruh atas revolusi borjuis demokratis diwujudkan dengan jalan kelas buruh atas revolusi borjuis demokratis diwujudkan dengan jalan kelas buruh harus menggalang front persatuan revolusioner dengan semua kelas dan golongan anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Di antara kelas-kelas dan golongan anti-imperialisme anti-feodalisme di Indonesia, kaum tani adalah sekutu yang paling terpercaya dari kelas buruh. Oleh karena itu persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh merupakan dasar dari pada front persatuan revolusioner itu. Borjuasi kecil di luar kaum tani adalah sekutu kelas buruh yang dapat dipercayai. Dan borjuasi nasional adalah sekutu dalam periode tertentu dan dalam batas-batas tertentu.
Untuk bisa mempersatukan dan memimpin kelas-kelas anti-imperialisme dan anti-feodalisme, kelas buruh harus mempunyai program dan taktik yang tepat yang menjadi pedoman jalannya revolusi dan yang disetujui oleh sekutu-sekutunya, harus mempunyai organisasi yang kuat dan harus menjadi teladan dalam melaksanakan tugas-tugas nasional. Dalam hal program yang tepat sangat penting artinya program agraria revolusioner untuk menggalang persekutuan buruh dan tani. Dalam taktik yang tepat sangat penting artinya menguasai berbagai bentuk perjuangan, dan dalam revolusi, khususnya revolusi Indonesia menguasai bentuk perjuangan bersenjata yang bersatu dengan dan mendapat dukungan kaum tani. Semuanya ini hanya dapat dipenuhi apabila proletariat mempunyai partai politiknya sendiri, yaitu Partai Komunis Indonesia, yang sepenuhnya dipimpin oleh teori revolusioner Marxisme-Leninisme, yang bebas dari segala macam oportunisme.
Pengalaman Revolusi Agustus 1945 menunjukkan bahwa PKI sebagai pelopor kelas buruh Indonesia belum dapat menduduki tempat sebagai pemimpin perjuangan pembebasan Rakyat Indonesia. PKI memasuki Revolusi Agustus 1945 tanpa persiapan-persiapan yang baik. Sangat lemahnya di bidang teori dan kurangnya mengenal keadaan konkret masyarakat Indonesia menyebabkan PKI belum dapat merumuskan sifat-sifat revolusi dan tugas-tugasnya, program, taktik-taktik, dan semboyan-semboyan revolusi serta prinsip-prinsip dan bentuk-bentuk organisasi yang tepat. Martabat PKI yang tinggi di kalangan Rakyat Indonesia yang diperoleh berkat keperwiraan dalam melawan imperialisme pada masa penjajahan Belanda dan jepang, tidak dapat menjelmakan kepemimpinan PKI atas Revolusi Agustus 1945.
Kelemahan teori dan ketidakmampuan melakukan analisa konkret atas situasi konkret dunia dan Indonesia, telah menyebabkan PKI tidak mampu menggunakan kesempatan yang sangat baik, yang diberikan oleh Revolusi Agustus 1945 untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. PKI tidak memimpin secara konsekuen perjuangan bersenjata melawan imperialis Belanda, tidak mengembangkan peperangan gerilya yang bersatu dengan gerakan demokratis kaum tani sehingga mendapat sokongan penuh dari kaum tani, sebagai satu-satunya jalan untuk mengalahkan perang agresi imperialis Belanda. Sebaliknya PKI malahan menyetujui dan menjalankan politik kompromi reaksioner dari kaum Soska Sjahrir; PKI tidak menggalang persatuan buruh dan tani dengan memimpin perjuangan anti-feodalisme di desa-desa, dan atas dasar persekutuan buruh dan tani menggalang front persatuan dengan semua kekuatan demokratis lainnya; PKI tidak memperkuat diri, tetapi malah menenggelamkan perannya sendiri. Inilah sebab yang telah membuat Revolusi Agustus 1945 tidak berjalan sebagai mestinya, tidak dapat mencapai kemenangan yang menentukan, dan akhirnya gagal dalam mencapai tujuan obyektif nya.
Kesadaran akan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, dan usaha-usaha untuk mengembalikan revolusi pada jalannya yang benar, yang dikemukakan di dalam Resolusi Politbiro CC PKI Jalan Baru Untuk Republik Indonesia pada bulan Agustus 1948 tidak dapat lagi mencegah kegagalan revolusi.
SOAL POKOK DARI SETIAP REVOLUSI ADALAH SOAL KEKUASAAN NEGARA
Bagi setiap orang revolusioner, apalagi Komunis adalah merupakan syarat mutlak untuk memahami kebenaran dalil bahwa “soal pokok dari setiap revolusi adalah soal kekuasaan negara”. Tidak memahami kebenaran dalil ini tidak mungkin menjadikan seseorang peserta yang sungguh-sungguh sadar. Karena revolusi dalam arti yang konkret adalah penggulingan kekuasaan kelas penindas, atau perebutan kekuasaan negara dari tangan kelas penindas oleh kelas-kelas tertindas dengan jalan kekerasan. Kelas-kelas tertindas, untuk membebaskan dirinya dari penindasan dan penghisapan tidak ada jalan lain kecuali melakukan revolusi, yaitu dengan kekerasan menggulingkan kelas penindas dari kekuasaan negara, atau dengan kekerasan merebut kekuasaan negara. Sebab negara adalah alat yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang dikuasai.
Tetapi bagi suatu revolusi Rakyat yang sungguh-sungguh dalam jaman modern sekarang ini tidaklah cukup hanya dengan merebut kekuasaan dari tangan kelas-kelas penindas, dan menggunakan kekuasaan yang direbutnya itu. Marx mengajarkan bahwa penghancuran mesin negara kemiliteran-birokrasi adalah “syarat pendahuluan daripada setiap revolusi Rakyat yang sungguh-sungguh” (Lenin, Negara Dan Revolusi). Suatu revolusi Rakyat yang sungguh-sungguh dapat dikatakan mencapai kemenangan yang menentukan apabila telah menyelesaikan syarat pendahuluan itu, dan bersamaan dengan itu membentuk alat kekuasaan yang sama sekali baru yang bertugas untuk menindas dengan kekerasan dan tak kenal ampun perlawanan kelas penindas yang telah digulingkan.
Apakah yang seharusnya dilakukan oleh Revolusi Agustus 1945 mengenai kekuasaan negara?
Sebagai syarat pendahuluan Revolusi Agustus 1945 seharusnya menghancurkan mesin negara kolonial beserta segala aparaturnya yang dibangun untuk mempertahankan kolonialisme atas Indonesia, dan bukannya sekedar pemindahan kekuasaan ke tangan RI. Revolusi Agustus 1945 seharusnya mendirikan negara yang sama sekali baru, negara yang dikuasai bersama oleh kelas-kelas anti-imperialisme dan anti-feodalisme di bawah pimpinan kelas buruh.
Inilah yang dinamakan negara Demokrasi Rakyat. Sebagai alat revolusi nasional dan demokratis, negara Demokrasi Rakyat harus menjalankan diktator, menindas dengan kekerasan senjata tak kenal ampun musuh-musuh revolusi (imperialis, beserta kompradornya dan tuan tanah feodal), yang sesudah digulingkan pasti mengadakan perlawanan berlipat ganda. Kepada Rakyat, yaitu kepada kekuatan-kekuatan pendukung revolusi negara itu harus memberikan kebebasan demokratis seluas-luasnya.Oleh karena itulah negara sedemikian itu disebut diktator Demokrasi Rakyat. Revolusi Agustus 1945 hanya dapat dikatakan mencapai kemenangan yang menentukan, apabila berhasil membentuk negara diktator Demokrasi Rakyat. Karena hanya negara yang demikian itulah yang dapat menjamin diusirnya sama sekali imperialisme dan dilikuidasinya sama sekali sisa-sisa feodalisme, dan dengan demikian mengantarkan Rakyat memasuki Indonesia Baru yang merdeka penuh dan demokratis, menuju ke sosialisme.
Tetapi dalam keadaan pimpinan revolusi tidak berada di tangan proletariat, maka “syarat pendahuluan” dari Revolusi Agustus 1945, yaitu penghancuran mesin negara kolonial, tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Kekuasaan negara yang dilahirkan bukanlah diktator Demokratis Rakyat. Ikutnya orang-orang Komunis dalam pemerintahan dan bahkan ketika kabinet dipimpin oleh orang Komunis, tidak memberikan watak kepada RI sebagai negara Rakyat, karena alat-alat birokrasi kolonial tidak dihancurkan secara total dan diganti dengan alat-alat yang sama sekali baru yang diciptakan oleh dan untuk mengabdi revolusi. Orang-orang yang jiwanya sudah berdaki, berkarat sebagai pengabdi-pengabdi kekuasaan kolonial tidak disingkirkan dari alat-alat kekuasaan negara. Di desa-desa kekuasaan politik masih berada di tangan penguasa-penguasa feodal. Usaha untuk menghapuskan pemerintahan perseorangan dengan membentuk Komite-komite Nasional Indonesia (KNI) Desa mengalami kegagalan. Tidak jarang aksi-aksi Rakyat untuk menghancurkan sama sekali mesin birokrasi kolonial, seperti “pendaulatan” terhadap penguasa-penguasa jahat, pendemokrasian pemerintah daerah termasuk penghapusan swapraja di daerah-daerah tertentu, ditindak dengan kekerasan oleh kekuasaan RI dengan dalih sebagai “anarki”, “hantam kromo”, mendirikan negara dalam negara dsb.
Dengan tidak adanya pimpinan kelas buruh, maka RI tidak bisa tidak adalah negara yang dikuasai oleh borjuasi, dimana proletariat ikut serta. Negara yang watak kelasnya demikian tidak dapat menjadi alat Revolusi Agustus 1945. Tanpa diktator Demokrasi Rakyat Revolusi Agustus 1945 tidak mempunyai alat untuk mengalahkan musuh-musuhnya dan karena itu tidak mungkin menyelesaikan tugas-tugasnya, yaitu membersihkan sampai ke akar-akarnya imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
Pengunduran diri secara sukarela kabinet yang dipimpin oleh Komunis pada tahun 1948 telah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi jatuhnya kekuasaan negara di tangan borjuasi reaksioner yang dipimpin oleh Moh. Hatta, yang mengkhianati Revolusi Agustus 1945 dengan melakukan teror putih dalam peristiwa Madiun, sebagai pendahuluan dari pemulihan kepentingan-kepentingan imperialis Belanda melalui persetujuan KMB yang hina, yang menjadikan Indonesia negeri setengah jajahan dan setengah feodal. Sejak itu RI sama sekali bukan alat untuk menyelesaikan Revolusi Agustus 194, tetapi merupakan alat di tangan borjuasi komprador dan tuan tanah Indonesia untuk melindungi kepentingan imperialisme dan mempertahankan sisa-sisa feodalisme, serta untuk menindas Rakyat terutama buruh dan tani yang berjuang melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Watak kekuasaan negara yang anti-Rakyat itu dibuktikan dengan terang oleh penindasan terhadap hak-hak demokrasi, antara lain larangan mogok bagi kaum buruh dan pengusiran dengan kekerasan senjata kaum tani yang menduduki tanah-tanah perkebunan imperialis. Alat kekuasaan negara yang terpenting, yaitu tentara yang dilahirkan oleh Revolusi Agustus 194, yang telah mengalami pembersihan elemen-elemen Komunis dan revolusioner lainnya melalui “rasionalisasi” dan terutama melalui teror putih Peristiwa Madiun, telah disesuaikan lebih lanjut dengan watak kelas negara yang sudah berubah menjadi penjamin kepentingan imperialisme dan kelas-kelas reaksioner dalam negeri, dengan memasukkan elemen-elemen tentara boneka yang dibentuk oleh Belanda dan pengaruh Misi Militer Belanda.
Kebangkitan kembali perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia dalam meneruskan perlawanan terhadap penindasan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme sesudah persetujuan KMB telah mendapatkan kemenangan-kemenangan politik tertentu, kemenangan-kemenangan bagian atau reform, dengan mengurangi sifat anti-demokratisnya kekuasaan borjuasi. Reform-reform politik tertinggi yang pernah dicapai oleh perjuangan Rakyat Indonesia adalah adanya pemerintah yang dalam batas-batas tertentu memberikan kebebasan demokratis kepada Rakyat, dalam batas-batas tertentu menindas pemberontakan dan aksi-aksi kontra-revolusioner lainnya dari kekuatan kanan di dalam negeri seperti RMS, DI/TII, PRRI/Permesta dll, atas desakan Rakyat mengambil tindakan terhadap kepentingan ekonomi imperialisme dan membatasi masuknya pengaruh kebudayaan imperialis, menjalankan politik luar negeri anti-imperialisme, dan memberi kesempatan pada wakil proletariat untuk ikut dalam pemerintahan tetapi tidak memegang kekuasaan riil.
Akan tetapi salahlah apabila mengira bahwa adanya pemerintah yang sedemikian itu berarti suatu perubahan fundamental watak kelas kekuasaan negara. Juga tidak tepat untuk menganggap bahwa fakta-fakta seperti tersebut di atas menandakan lahir dan berkembangnya suatu aspek pro-Rakyat dalam kekuasaan negara. Kesalahan sedemikian itu, seperti yang diformulasi dalam “teori dua aspek” dalam kekuasaan negara, menganggap bahwa dengan fakta-fakta seperti disebutkan di atas, maka dalam negara RI terdapat dua aspek, yaitu aspek anti-Rakyat yang terdiri dari kelas-kelas komprador, kapitalis-birokrat dan tuan tanah di satu pihak, dan “aspek pro-Rakyat” yang terdiri terutama dari borjuasi nasional dan proletariat di pihak yang lain. Menurut “teori dua aspek” ini di Indonesia bisa terjadi keajaiban, yaitu bahwa negara bukan lagi merupakan alat penindas kelas yang berkuasa terhadap kelas lainnya, tetapi bisa menjadi alat yang dikuasai bersama oleh kelas penindas dan kelas-kelas tertindas. Dan pengubahan secara fundamental kekuasaan negara, yaitu lahirnya kekuasaan Rakyat, dapat dicapai secara damai dengan mengembangkan “aspek pro-Rakyat” dan melikuidasi berangsur-angsur “aspek anti-Rakyat”.
“Teori dua aspek” dalam kekuasaan negara adalah suatu kesalahan berat sebelah atau subyektif dalam penerapan filsafat Marxis-Leninis khususnya ajaran tentang kontradiksi, dan merupakan pengingkaran terhadap ajaran Marxis-Leninis mengenai negara dan revolusi, yang antara lain mengatakan bahwa “negara adalah alat kekuasaan dari kelas tertentu yang tak dapat didamaikan dengan antipode-nya (kelas yang berlawanan dengannya)”; bahwa “Bentuk-bentuk negara borjuis adalah sangat beraneka ragam, tetapi isi pokoknya adalah sama; semua negara itu, apapun bentuknya, dalam analisa terakhir tidak dapat tidak kediktatoran borjuasi”, bahwa “penggantian negara borjuasi”....... ”tidak mungkin tanpa suatu revolusi kekerasan” (Lenin, Negara Dan Revolusi).
Dalam kekuasaan negara memang ada kontradiksi antara borjuis komprador dan tuan tanah yang pro-imperialis di satu pihak dengan borjuis nasional yang dalam batas-batas tertentu anti-imperialis dan demokratis di lain pihak. Tetapi adanya kontradiksi itu tidak mengubah kedudukan negara sebagai alat penindas daripada kelas-kelas yang berkuasa di lapangan ekonomi. Berhubung dengan pukulan-pukulan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan revolusioner dan demokratis terhadap kekuatan kanan, terutama dengan penghancuran kekuatan-kekuatan bersenjata kontra-revolusioner seperti DI/TII, PRRI/Permesta dll, borjuasi nasional yang dalam batas-batas tertentu anti-imperialis dan demokratis itu, dengan sokongan Rakyat sampai pada batas tertentu dapat mendesak borjuis komprador dan tuan tanah dalam kekuasaan negara. Keadaan demikian ditunjukkan oleh terbentuknya pemerintah yang dalam batas-batas tertentu anti-imperialis dan demokratis. Dengan maksud untuk mempertahankan kedudukan dalam menghadapi borjuis komprador dan tuan tanah, borjuis nasional berkepentingan menarik sokongan yang semakin besar dari Rakyat. Dan untuk ini, sampai pada batas yang tidak membahayakan kepentingan kelas mereka, mereka bersedia memberi konsesi politik kepada proletariat dengan memasukkan wakil-wakil proletariat, yaitu orang-orang Komunis, dalam kedudukan yang tidak langsung memegang kekuasaan negara yang menentukan.
Komunis bukannya tidak diperbolehkan secara prinsip ikut serta dalam pemerintah borjuis demokratis, tetapi tidak untuk memperkuat diktator borjuis, melainkan untuk membela kepentingan-kepentingan yang bebas dari kelas buruh dan Rakyat pekerja lainnya, untuk mempercepat kesadaran Rakyat bahwa kekuasaan borjuis tidak mungkin menjamin kepentingan pokok Rakyat.
Menurut teori tentang kontradiksi berhubung dengan masuknya wakil-wakil proletariat dalam pemerintah, adalah benar analisa bahwa di dalam kekuasaan negara terdapat kontradiksi antara borjuis komprador, kabir dan tuan tanah di satu pihak, merupakan kekuatan pro-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme (segi anti-Rakyat) , dengan borjuis nasional dan proletariat di pihak yang lain (segi Rakyat atau segi pro-Rakyat), akan tetapi tidak boleh dilupakan bahwa juga menurut teori tentang kontradiksi dalam kekuatan Rakyat terdapat pula kontradiksi. Borjuasi nasional adalah satu segi, dan proletariat adalah segi yang lain: satu sama lain merupakan dua segi yang berkontradiksi dalam apa yang disebut “segi Rakyat” atau “segi pro-Rakyat”.
Kualitas apa yang disebut “segi Rakyat” atau “segi pro-Rakyat” itu ditentukan oleh segi mana – proletariat atau borjuasi nasional – yang berkuasa di dalam kontradiksi. “Segi Rakyat” akan betul-betul secara representatif mewakili kepentingan Rakyat, apabila segi proletariat yang berdominasi, sesuatu hal yang tidak mungkin tercipta di dalam kerangka kekuasaan negara borjuis. Kenyataan yang berdominasi dalam “segi Rakyat” adalah borjuis nasional, maka “segi Rakyat” atau “segi pro-Rakyat” itu tidak lain adalah kekuatan borjuis nasional dan tidak dapat dikatakan mewakili kepentingan Rakyat, yang hakikatnya adalah buruh dan tani.
Jadi mengharap akan terjadinya suatu perubahan fundamental dalam kekuasaan negara, mengantar Rakyat pada singgasana kekuasaan, melalui kemenangan “aspek Rakyat” terhadap “aspek anti-Rakyat” menurut pola “teori dua aspek” dalam kekuasaan negara adalah suatu khayal belaka. Rakyat hanya akan mencapai singgasana kekuasaan melalui revolusi bersenjata di bawah pimpinan kelas buruh menggulingkan kekuasaan borjuis komprador, kabir, dan tuan tanah yang mewakili kepentingan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
“Teori dua aspek” dalam kekuasaan politik dalam praktek adalah melenyapkan kebebasan proletariat dalam melaksanakan front persatuan dengan borjuis nasional, meleburkan kepentingan proletariat ke dalam kepentingan borjuis nasional, menempatkan proletariat sebagai embel-embel borjuis nasional.
Untuk mengembalikan proletariat pada kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan pembebasan Rakyat Indonesia, adalah mutlak perlu mengoreksi kesalahan “teori dua aspek” dalam kekuasaan politik, dan melempangkan pikiran yang keliru mengenai filsafat Marxis-Leninis tentang negara dan revolusi.
JALAN UNTUK MENCAPAI INDONESIA BARU YANG MERDEKA PENUH DAN DEMOKRATIS
Revolusi Agustus 1945 dalam arti yang konkret seharusnya adalah perebutan kekuasaan dari tangan imperialis asing, penghancuran mesin negara kolonial secara total dan pembentukan kekuasaan negara yang sama sekali baru, yaitu diktator Demokrasi Rakyat di bawah pimpinan kelas buruh. Dalam arti yang konkret, Revolusi Agustus 1945 hanya berlangsung selama 3 tahun yaitu dari 1945 sampai 1948. Revolusi Agustus 1945 secara definitif mengalami kegagalan sama sekali ketika kekuasaan negara sepenuhnya jatuh di tangan borjuasi reaksioner, dan digunakan untuk menindas tenaga-tenaga penggerak revolusi.
Jadi tahun-tahun sesudah 1948, Indonesia tidak lagi berada dalam revolusi. Ini tidak berarti bahwa perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia menjadi berhenti. Tidak ! Perjuangan revolusioner itu terus berlangsung, tetapi ini bukan revolusi. Tujuan-tujuan langsung yang menjadi tuntutan perjuangan bukanlah perubahan-perubahan revolusioner, bukan penjebolan sampai ke akar-akarnya sistem masyarakat lama yaitu imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, tetapi reform-reform di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Adalah suatu kekeliruan yang semestinya tak usah terjadi bahwa tidak sedikit di kalangan kaum revolusioner Indonesia di masa yang lalu yang ikut tenggelam dalam permainan kata-kata “revolusi belum selesai”, dan merasa seolah-olah terus berada dalam suasana berlangsungnya revolusi.
Sesudah terjadinya Revolusi Agustus 1945 Indonesia bukan lagi negeri jajahan. Akan tetapi tidak berarti bahwa Indonesia sudah merupakan negeri yang merdeka penuh yang bebas sama sekali dari imperialisme,baik di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pengambilalihan perusahaan-perusahaan imperialis yang pernah dilakukan oleh Pemerintah RI atas desakan Rakyat sama sekali belum melikuidasi kekuasaan imperialisme di bidang ekonomi. Dengan melalui berbagai jalan dan dengan bantuan komprador-kompradornya, kaum imperialis terutama imperialis AS tetap dapat melakukan penghisapan terhadap Rakyat Indonesia. Lagi pula, karena yang berkuasa bukan Rakyat, maka pengambilalihan perusahaan-perusahaan imperialis tidak mengubah kedudukan perusahaan-perusahaan tersebut menjadi perusahaan milik Rakyat – melalui penguasaan oleh negara -- , dan karena itu tidak dapat memperbaiki penghidupan Rakyat, khususnya kaum buruh yang bekerja dalam perusahaan-perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya, pengambilalihan perusahaan-perusahaan imperialis itu telah melahirkan kapitalis-kapitalis birokrat, baik dari kalangan sipil maupun militer, yang akhirnya merupakan komprador-komprador imperialis.
Selain itu Indonesia juga belum merupakan negara yang benar-benar demokratis, bebas dari sisa-sisa feodalis, baik di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sistem tuan tanah yang menjadi dasar penghisapan feodal atas kaum tani belum dihapuskan; dan demikian juga sistem pemerintahan autokrasi yang merupakan kekuasaan politik feodal masih berjalan di desa-desa.
Singkatnya, sesudah terjadi Revolusi Agustus 1945 Indonesia merupakan negeri yang belum merdeka penuh atau masih setengah jajahan dan setengah feodal. Yang memerintah di Indonesia bukanlah Rakyat, tetapi lapisan atas kelas borjuis dan tuan tanah. Hanya sebagian kecil orang-orang Indonesia dari kalangan kelas yang memerintah sudah dapat menikmati kemerdekaan. Sedangkan Rakyat, terutama kaum nuruh dan kaum tani yang paling banyak memberikan pengorbanan selama Revolusi Agustus 1945masih hidup di bawah penghisapan dan penindasan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, dan karena itu masih jauh dari kemerdekaan dan kebebasan.
Berkuasanya diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dengan komplotannya sekarang ini, yang terdiri dari kelas-kelas kapitalis-birokrat, komprador dan tuan tanah, bukan saja tidak akan mengurangi penghisapan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme atas Rakyat Indonesia, tetapi bahkan akan lebih mengintensifkan penghisapan itu.
Seperti telah dibuktikan oleh kenyataan, untuk menegakkan kediktatorannya atas Rakyat Indonesia, jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dengan komplotannya sedang menyandarkan diri sepenuhnya atas “bantuan” negeri-negeri imperialis yang dikepalai AS, negeri-negeri imperialis yang memberi “bantuan” kepada Indonesia telah membentuk apa yang disebut “Klub Tokyo”. Di dalam “Klub Tokyo” ini sedang dipikirkan cara-cara yang lebih efektif dalam memberi “bantuan” ekonomi kepada Indonesia, bukan dari sudut kepentingan Rakyat Indonesia, akan tetapi dari sudut kepentingan negeri-negeri imperialis yang memberi “bantuan”, khususnya imperialis AS, supaya melalui “bantuan” ekonomi Indonesia dapat “diselamatkan” dari “ancaman Komunis” (baca diselamatkan dari revolusi yang akan menghancurkan kapital-kapital negeri-negeri imperialis di Indonesia). Pembentukan “Klub Tokyo” tidak lain adalah suatu usaha imperialis internasional yang dikepalai imperialis AS, untuk bersama-sama menetapkan cara-cara yang lebih efektif menjalankan neo kolonialisme di Indonesia.
Kenyataan ini tidak akan dapat ditutupi dengan pemberian nama yang indah-indah yang dikreasi oleh kaum reaksioner dalam negeri dan kaum imperialis internasional, seperti “bantuan dari negeri-negeri yang maju industrinya”, “bantuan ekonomi atas dasar saling menguntungkan”, “dengan bantuan luar negeri mempercepat berdikari”, dsb, dsb. Tidak! Sama sekali tidak! Kenyataan akan tetap berbicara, bahwa di Indonesia, di bawah kekuasaan diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dengan komplotannya dan dengan bantuan imperialis internasional yang dikepalai AS, sedang dibangun neo-kolonialisme.
Oleh karena itu di bawah kekuasaan diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dan komplotannya, Rakyat Indonesia tidak akan mungkin bebas dari penderitaan lahir dan batin, dari hidup yang serba pincang.
Beribu-ribu buruh telah menjadi korban pemecatan sewenang-wenang, dan yang masih bekerja bukan saja mengalami penderitaan yang semakin berat karena upahnya sangat jauh di bawah kebutuhan hidupnya, tetapi juga menderita karena diinjak-injaknya kebebasan demokratis. Nasib yang sama juga dialami oleh pegawai-pegawai negeri.
Di bawah diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dan komplotannya, bukan saja UUPA dan UUPBH yang hanya sedikit menguntungkan kaum tani tidak dilaksanakan, tetapi bahkan hasil-hasil yang sudah dicapai berkat perjuangan kaum tani banyak yang dirampas kembali oleh tuan tanah dengan kekerasan, dan akan makin banyak lagi kesewenang-wenangan tuan tanah terhadap kaum tani dijalankan di bawah lindungan kekuasaan senjata.
Kaum intelektual demokratis tidak lagi bebas mengembangkan ilmunya. Apa yang digembar-gemborkan tentang “kebebasan mimbar” tidak lain adalah kebebasan menyebarkan ilmu untuk kepentingan imperialisme dan kelas-kelas penghisap besar dalam negeri. Para mahasiswa dan pelajar tidak tenteram mengikuti kuliah dan pelajaran. Sedangkan para sastrawan dan seniman Rakyat tidak lagi bebas mencipta, karena segala sastra dan seni yang mengabdi Rakyat ditindas, dan hanya sastra dan seni dekaden macam Manikebu dan sebangsanya yang anti-revolusioner itu yang diberi kebebasan.
Di bawah diktator militer jenderal-jenderal kanan AD, juga pengusaha kecil dan pengusaha nasional, baik di lapangan industri maupun perdagangan, menghadapi hari depan yang suram.
Karena masyarakat Indonesia masih setengah-jajahan dan setengah-feodal, karena penindasan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme atas Rakyat Indonesia belum dilenyapkan, dan bahkan sedang diperketat oleh diktator militer jenderal-jenderal kanan dan komplotannya bersama dengan kaum imperialis internasional, maka ini berarti bahwa sebab-sebab yang menimbulkan revolusi yang wataknya sama dengan Revolusi Agustus 1945, yaitu revolusi borjuis demokratis tipe baru, masih tetap ada. Ini berarti bahwa pada ketika yang baik pasti terjadi lagi suatu revolusi di Indonesia, dan bahwa hanya dengan jalan revolusi inilah Rakyat Indonesia akan membebaskan dirinya dari penindasan dan penghisapan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, membangun Indonesia baru yang merdeka penuh dan demokratis, menuju ke sosialisme.
Jika kita mengatakan bahwa Rakyat Indonesia pasti akan mengadakan revolusi sekali lagi yang wataknya sama dengan Revolusi Agustus 1945, apakah ini berarti bahwa revolusi yang pasti akan terjadi lagi itu sama sepenuhnya dengan Revolusi Agustus 1945?
Kontradiksi pokok dalam masyarakat Indonesia sekarang masih sama dengan kontradiksi pokok ketika terjadi Revolusi Agustus 1945, yaitu imperialisme dan sisa-sisa feodalisme berkontradiksi dengan massa Rakyat yang menghendaki kemerdekaan penuh dan demokrasi. Sistem imperialisme dan setengah-feodal dipertahankan oleh kaum imperialis beserta kompradornya dan tuan tanah, berlawan dengan kelas buruh, kaum tani, borjuis kecil, dan dalam batas-batas tertentu juga borjuis nasional yang hendak menghapuskan sistem imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
Jadi sasaran revolusi masih tetap yaitu imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Kelas-kelas yang menjadi musuh revolusi adalah pada pokoknya tetap, yaitu imperialis, komprador, kapitalis-birokrat, dan tuan tanah, dan tenaga-tenaga penggerak revolusi pun tetap, yaitu kelas buruh, kaum tani dan borjuis kecil. Akan tetapi perjuangan antara sasaran-sasaran revolusi dengan tenaga-tenaga penggerak revolusi mengalami perubahan tertentu.
Tugas yang paling utama dari Revolusi Agustus 1945 pada waktu itu adalah merebut kekuasaan dari tangan kaum imperialis asing (imperialis Jepang), dan karena imperialis Belanda berusaha dengan perang agresi untuk mengembalikan kolonialisme atas Rakyat Indonesia, maka Rakyat Indonesia melawannya dengan menjalankan perang kemerdekaan. Dalam keadaan demikian, maka kontradiksi seluruh negeri kita dengan imperialisme Belanda merupakan kontradiksi pokok, dan kontradiksi antara berbagai kelas dalam negeri termasuk antara tuan tanah dengan kaum tani ditempatkan pada kedudukan yang dibawahkan oleh kontradiksi pokok itu. Pada ketika itu tepat untuk mengatakan bahwa tugas menggulingkan imperialisme adalah primer dari dua tugas urgen yaitu menggulingkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
Sesudah terjadinya Revolusi Agustus 1945 di Indonesia tidak ada lagi kekuasaan politik imperialis secara langsung (kecuali di Irian Barat sebelum dibebaskan). Sejak kegagalan Revolusi Agustus 1945 kekuasaan politik di negeri kita berada di tangan kelas-kelas reaksioner dalam negeri, yaitu borjuis komprador dan tuan tanah. Dan dalam periode dasawarsa terakhir ini lahir kelas reaksioner baru yaitu kapitalis-birokrat. Di antara mereka banyak berasal dari perwira-perwira AD yang memperoleh kedudukan mereka melalui SOB yang praktis hingga sekarang ini dipertahankan. Kapitalis-kapitalis birokrat yang menjadi komprador-komprador imperialis, terutama imperialis AS itulah yang sekarang menjelmakan dirinya diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dengan komplotannya. Dalam keadaan demikian tidak tepat untuk mengatakan “menggulingkan imperialisme” adalah primer dari dua tugas urgen, yaitu menggulingkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
Sesudah kaum imperialis tidak secara langsung memegang kekuasaan politik di Indonesia, maka kepentingan-kepentingan politik mereka diwakili oleh borjuis komprador, kabir, dan tuan tanah yang memegang kekuasaan negara RI. Oleh karena itu hanya dengan menggulingkan kekuasaan kelas-kelas reaksioner dalam negeri itulah dapat diwujudkan secara nyata penggulingan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Inilah tugas primer revolusi Indonesia tingkat sekarang!
Tanpa melihat perbedaan syarat-syarat obyektif pada waktu terjadinya Revolusi Agustus 1945 dan sesudahnya, dan tetap berpegang teguh pada semboyan “menggulingkan imperialisme” adalah primer, ketika imperialisme tidak memegang kekuasaan politik secara langsung di negeri kita, adalah salah. Kesalahan ini telah mengakibatkan terkekangnya perkembangan aksi-aksi revolusioner kaum buruh dan tani untuk tuntutan-tuntutan politik dan ekonomi mereka, karena kontradiksi kelas-kelas di dalam negeri diharuskan tunduk pada perjuangan bersama “menggulingkan imperialisme”, yang sebenarnya tidak mempunyai sasaran konkret kecuali pembebasan Irian Barat, pengambilalihan perusahaan-perusahaan imperialisme dan politik luar negeri yang anti-imperialis. Semuanya ini telah banyak memperkuat kedudukan borjuis daripada memperkuat kedudukan tenaga-tenaga penggerak revolusi,yaitu kaum buruh, kaum tani, dan borjuis kecil.
Jadi perbedaan antara Revolusi Agustus 1945 dengan revolusi yang akan terjadi lagi di negeri kita adalah terletak dalam hal dari tangan siapa kekuasaan direbut oleh Rakyat. Revolusi Agustus 1945 merebut kekuasaan negara dari tangan imperialis asing, sedang revolusi yang akan datang merebut kekuasaan negara dari tangan kelas-kelas reaksioner dalam negeri. Oleh karena itu kontradiksi antara kelas-kelas reaksioner dalam negeri yang memegang kekuasaan negara si satu pihak dan Rakyat di lain pihak akan sangat menonjol dan tak terdamaikan. Revolusi yang akan datang tetap berhakikat revolusi agraria, yaitu pembebasan kaum tani dari penindasan sisa-sisa feodalisme dengan menghapuskan sistem tuan tanah. Bersama dengan itu revolusi juga akan melakukan tindakan-tindakan anti-imperialis.
Rakyat Indonesia dewasa ini menghadapi diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dan komplotannya, penjelmaan daripada kekuasaan kelas-kelas yang paling reaksioner di negeri kita. Di bawah rejim yang bersifat fasis yang telah merampas sama sekali hak-hak demokrasi dan hak-hak asasi Rakyat ini, tidak ada kemungkinan bagi Rakyat Indonesia untuk melakukan aksi-aksi politik dan ekonomi secara damai, yang tidak mengalami penindasan dengan kekerasan senjata.
Ketiadaan demokrasi bagi Rakyat, penindasan dengan kekerasan senjata setiap gerakan revolusioner dan demokratis, tidak bisa tidak memaksa seluruh Rakyat untuk mengangkat senjata guna membela hak-haknya. Perjuangan Rakyat bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata tak terelakkan dan merupakan bentuk perjuangan terpokok revolusi yang akan datang. Hanya melalui jalan perjuangan bersenjata inilah Rakyat Indonesia akan menggulingkan kekuasaan kontra-revolusioner yang bersenjata sebagai syarat untuk mewujudkan hasrat mereka yang telah diperjuangkan selama berpuluh-puluh tahun, yaitu kemerdekaan dan kebebasan.
Tak terelakkannya jalan perjuangan bersenjata untuk mengalahkan kontra-revolusi bersenjata itu disadari bukan saja oleh kaum Komunis, tetapi juga oleh kaum revolusioner non-Komunis. Meskipun demikian perlu untuk memperingatkan bahwa perjuangan bersenjata untuk mengalahkan kekuasaan kontra-revolusioner bersenjata itu, sebagai revolusi tidak boleh dilakukan secara avonturisme militer, dengan jalan putsch yang terpisah dari kebangkitan massa Rakyat. Kaum revolusioner sedikitpun tidak boleh meninggalkan prinsip bahwa Rakyatlah yang membebaskan mereka sendiri. Meninggalkan prinsip ini pasti berakhir dengan kekalahan.
Karena hakikat revolusi Indonesia tingkat sekarang adalah revolusi agraria kaum tani, maka hakikat perjuangan bersenjata Rakyat Indonesia adalah juga perjuangan bersenjata kaum tani untuk membebaskan diri dari penindasan sisa-sisa feodalisme. Perjuangan bersenjata melawan kontra-revolusi bersenjata tak mungkin tahan lama dan akhirnya pasti kalah apabila tidak berhakikat perjuangan bersenjata kaum tani melaksanakan revolusi agraria. Dan perjuangan bersenjata kaum tani melaksanakan revolusi agraria hanya dapat mencapai kemenangan sepenuhnya, sungguh-sungguh akan membebaskan kaum tani dari penindasan sisa-sisa feodalisme, apabila dilakukan dengan pimpinan proletariat, bukan saja menggulingkan kekuasaan tuan tanah di desa-desa, tetapi menghancurkan seluruh kekuasaan kontra-revolusi dalam negeri yang dewasa ini diwakili oleh diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dan komplotannya.
KESIMPULAN
Dengan mempelajari kembali soal-soal pokok dari pengalaman Revolusi Agustus 1945 kita dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang sangat penting bagi proletariat Indonesia dan PKI sebagai pelopornya dalam menghadapi tugasnya yang akan datang, yaitu memimpin Revolusi Demokrasi Rakyat sebagai jalan satu-satunya untuk mewujudkan hasrat seluruh Rakyat Indonesia yang tak dapat dilaksanakan oleh Revolusi Agustus 1945, ialah mencapai Indonesia Baru yang merdeka penuh dan demokratis. Kesimpulan-kesimpulan itu adalah sebagai berikut:
(1) Revolusi Agustus 1945, sebagai revolusi borjuis demokratis tipe baru, yang mempunyai tugas menghancurkan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme sampai ke akar-akarnya, hanya bisa mencapai kemenangan apabila dipimpin oleh proletariat. Untuk mewujudkan pimpinannya atas revolusi borjuis demokratis tipe baru itu, proletariat pertama-tama harus bersekutu dengan kaum tani, dan atas dasar persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh, menggalang front persatuan revolusioner dengan kelas-kelas dan golongan revolusioner lainnya. Proletariat dapat melakukan kewajibannya sebagai pemimpin front persatuan revolusioner apabila mempunyai program dan taktik yang tepat, yang menjadi pedoman bagi jalannya revolusi dan diterima oleh sekutu-sekutunya, mempunyai organisasi yang kuat dan menjadi teladan dalam menjalankan tugas-tugas nasional. Dalam hal program yang tepat sangat penting artinya program agraria revolusioner untuk menggalang persekutuan buruh dan tani; dalam hal taktik yang tepat sangat penting artinya menguasai bentuk perjuangan yang pokok, yaitu perjuangan bersenjata yang bersandar pada dukungan kaum tani. Semuanya itu hanya bisa dipenuhi apabila proletariat mempunyai partai politiknya sendiri yaitu PKI, yang sepenuhnya dipimpin oleh teori revolusioner Marxisme-Leninisme, yang bebas dari segala macam oportunisme.
(2) Syarat bagi pelaksanaan sepenuhnya tugas Revolusi Agustus 1945 bukan merebut kekuasaan negara dari tangan imperialis asing dan memindahkan kekuasaan itu ke tangan RI, tetapi harus menghancurkan seluruh mesin negara kolonial dan mendirikan negara yang sama sekali baru, yaitu diktator Demokrasi Rakyat, yang merupakan kekuasaan bersama kelas-kelas anti-imperialisme dan anti-feodalisme di bawah pimpinan kelas buruh. Diktator Demokrasi Rakyat sebagai alat revolusi borjuis demokratis tipe baru, harus menindas dengan kekerasan dan tak kenal ampun semua musuh revolusi, dan menjamin hak-hak demokrasi yang seluas-luasnya bagi Rakyat. Karena tidak dipimpin oleh proletariat, Revolusi Agustus 1945 tidak menyelesaikan syarat tersebut sebagaimana mestinya. Mesin negara kolonial tidak dihancurkan sama sekali. RI yang dibentuk bukan diktator Demokrasi Rakyat, tetapi republik borjuis.
Penerapan yang salah dari teori tentang kontradiksi dan penyimpangan dari ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme mengenai negara dan revolusi telah menjerumuskan pimpinan PKI pada “teori dua aspek” dalam kekuasaan negara yang oportunis.
(3) Pembebasan Rakyat Indonesia dari penghisapan dan penindasan imperialisme serta sisa-sisa feodalisme hanya dapat dicapai melalui jalan revolusi yang pasti akan terjadi lagi, yang berwatak sama dengan Revolusi Agustus 1945, yaitu revolusi borjuis demokratis tipe baru. Tugas terpenting dari revolusioner yang akan datang ialah menghancurkan kekuasaan kontra-revolusioner dalam negeri yang dewasa ini diwakili oleh diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dan komplotannya, melalui perjuangan bersenjata. Perjuangan bersenjata mengalahkan kontra-revolusi bersenjata akan mencapai kemenangan apabila berhakikat perjuangan bersenjata kaum tani melaksanakan revolusi agraria. Dan perjuangan bersenjata kaum tani melaksanakan revolusi agraria hanya akan dapat mencapai kemenangan penuh apabila dilakukan dengan pimpinan proletariat menghancurkan kekuasaan semua kekuatan kontra-revolusioner dalam negeri.
(4) Tugas-tugas yang dihadapi oleh Partai untuk memimpin dan memenangkan Revolusi Demokrasi Rakyat, ialah: Pertama. Meneruskan pembangunan kembali PKI dan Marxis-Leninis, bebas dari segala macam oportunis, teguh melawan subyektivisme dan revisionisme modern; bersamaan dengan ini meneruskan pekerjaan membangkitkan kembali, mengorganisasi dan memobilisasi massa, terutama kaum buruh dan kaum tani. Kedua, bersiap memimpin perjuangan bersenjata jangka panjang yang menjadi satu dengan revolusi agraria kaum tani di desa-desa. Ketiga, menggalang front persatuan dengan semua kekuatan yang melawan diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution, atas dasar persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan kelas buruh. Inilah Tripanji Partai untuk Revolusi Demokrasi Rakyat.
Demikianlah kita telah menarik pelajaran mengenai soal-soal pokok dari Revolusi Agustus 1945, dan dengan demikian telah mengetahui pula tugas-tugas pokok yang kita hadapi di hari-hari yang akan datang. Kita menyadari sedalam-dalamnya bahwa musuh yang dihadapi oleh revolusi yang akan datang adalah seluruh kontra-revolusioner dalam negeri yang dibenggoli oleh jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution, dan mereka ini mendapat bantuan kaum imperialis terutama imperialis AS. Tetapi kitapun menyadari sedalam-dalamnya bahwa revolusi Indonesia yang akan datang adalah revolusi yang dikehendaki oleh bagian yang amat luas dari Rakyat Indonesia, yang telah mendapat pelajaran yang tak ternilai harganya dari Revolusi Agustus 1945. Seperti juga Revolusi Tiongkok yang besar, Revolusi Vietnam yang jaya, Revolusi Korea dan Revolusi Kuba yang menang dan semua revolusi di negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodalisme, Revolusi Indonesia mempunyai tenaga pokok yaitu kaum tani, yang seperti dikatakan Lenin “sanggup menjadi pembela sepenuh hati dan yang sangat radikal dari revolusi demokratis”, asal saja proletariat sanggup memberi pimpinan yang tepat, maka “kaum tani tidak boleh tidak akan menjadi benteng revolusi dan republik, karena hanyalah revolusi yang menang sepenuhnya yang dapat memberikan kepada kaum tani segala sesuatu di lapangan reform-reform agraria – segala sesuatu yang diingini petani-petani, yang mereka impi-impikan, dan yang benar-benar mereka butuhkan, untuk keluar dari lumpur, dari setengah perhambaan dari kegelapan, penindasan dan perbudakan” (Lenin, Dua Taktik Sosial Demokrasi Dalam Revolusi Demokratis).
Kita juga sedikitpun tak akan lupa bahwa proletariat internasional, baik yang sudah berhasil membebaskan diri dan nasionnya, maupun yang sedang berjuang untuk membebaskan dirinya, semua Rakyat yang berjuang melawan imperialisme adalah sekutu Revolusi Indonesia yang akan datang. Dan bahwa imperialis AS, biang keladi kontra-revolusi dunia itu, meskipun mendapat bantuan dari kaum revisionis modern model Chrusjctov, sedang menghadapi bencana kekalahan yang memalukan dan tak terelakkan di Vietnam.
Kita tahu bahwa tugas yang kita hadapi adalah berat, pelik dan penuh bahaya, tetapi kesadaran baru yang lahir kembali dan ditempuhnya kembali jalan revolusi memberikan daya hidup dan daya juang yang tak terpatahkan!
Kita tak dapat mengukur betapa panjang jalan yang masih harus kita lalui, tetapi dengan menempuh kembali jalan revolusi membikin harapan akan kemenangan bukan lagi impian!
Kita juga tahu bahwa jalan yang kita lalui bukan jalan yang bertabur bunga, tetapi kitapun tak ragu bahwa hanya melalui jalan ini bunga-bunga merah mawar akan mekar mewarnai kehidupan baru yang bebas dan demokratis!
Marilah dengan sebulat hati kita serahkan segenap kemampuan yang ada pada kita untuk memenuhi panggilan tugas yang mendatang, menggulingkan kekuasaan diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution, pemimpin dari kontra-revolusioner dalam negeri, sebagai pembuka jalan ke Indonesia Baru, bebas dari imperialisme dan sisa-sisa feodalisme!
Hancurkan diktator militer jenderal-jenderal kanan AD Suharto-Nasution dan komplotannya !
Hidup Rakyat Indonesia!
Jayalah Partai dan Negeri!
POLITBIRO CC PKI
Jawa Tengah, 17 Agustus 1966