Sumber: Menanggulangi Kesulitan-kesulitan Ekonomi Dengan Semangat Trikora. Depagitprop CC PKI, Desember 1962. Scan Booklet.
Menyambut pernyataan Presiden Sukarno dalam pidato Tahun Kemenangan, 17 Agustus 1962, yang antara lain menunjukkan kesanggupan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan persoalan ekonomi, Pernyataan Politbiro CC PKI Maju Terus dengan Semangat Trikora Menanggulangi Soal Ekonomi! Tidak hanya merupakan sumbangan fikiran dalam perjuangan untuk menanggulangi soal-soal ekonomi, tetapi juga merupakan konsepsi revolusioner dalam melawan musuh-musuh Rakyat di bidang ekonomi, khususnya kaum kapitalis birokrat.
Pernyataan Politbiro CC PKI tersebut telah disambut dengan perasaan lega sebagai senjata di tangan rakyat dan telah menimbulkan perhatian serius di kalangan mereka yang berkemauan sungguh-sungguh dalam mengatasi kesulitan ekonomi dan mereka yang berkecimpung di lapangan ini.
Penerbitan brosur ini yang berjudul Menanggulangi Kesulitan-kesulitan Ekonomi dengan Semangat Trikora dan memuat pernyataan Politbiro CC PKI itu selengkapnya, beserta polemik antara Redaktur Ekonomi Harian Rakyat dan Business News, hendaknya dapat memberi sumbangan lebih lanjut dalam perjuangan untuk mendobrak salah urus (mismanagement) di bidang ekonomi dan dapat menjadi pegangan bagi para aktivisnya.
Dep. Agitrop CC PKI
Jakarta, Desember 1962.
------
Pengantar
Politbiro CC PKI – Maju terus dengan semangat Trikora menanggulangi soal ekonomi!
Business News – Keadaan perekonomian sekarang
Redaktur Ekonomi “Harian Rakyat” – Inflasi terbuka atau tidak?
-------
Dalam pidato 17 Agustus 1962, yaitu pidato Tahun Kemenangan, Presiden Sukarno antara lain menyatakan, bahwa setelah soal keamanan dan Irian Barat boleh dikatakan sudah selesai, maka beliau merasa sanggup untuk mengatasi kesulitan-kesulitan persoalan ekonomi dalam waktu pendek, dalam waktu yang tidak terlalu panjang. Politbiro Comite Central Partai Komunis Indonesia menyambut gembira pernyataan Presiden Sukarno ini, telah ikut memikirkan sedalam-dalamnya cara merealisasi perasaan sanggup yang wajar ini dan dengan ini menyumbangkan fikirannya dalam bentuk pernyataaan sebagai berikut:
Dalam melaksanakan seruan Presiden Sukarno untuk mengadakan konfrontasi di segala bidang, khususnya di bidang ekonomi, kekuatan-kekuatan nasional harus dikerahkan berdasarkan pinsip gegotong-royongan nasional yang berporoskan Nasakom. Di bawah semboyan “Satu tangan pegang bedil dan satu tangan lagi pegang pacul” kaum Komunis bersama-sama dengan seluruh rakyat harus terus “dalam stelling” dan berlanjut-taliwondo untuk mencegah semakin parahnya keadaan ekonomi yang sangat memberatkan penghidupan Rakyat.
Sebaliknya, mereka yang sudah berkecukupan hidupnya apalagi mereka yang menarik keuntungan dari krissis ekonomi sekarang banyak yang dengan seenaknya saja menyerukan supaya “Rakyat berkorban lebih banyak lagi”. Mereka mengemukakan alasan-alasan seakan-akan kesulitan-kesulitan ekonomi sekarang adalah wajar, karena pemulihan keamanan dan perjuangan pembebasan Irian Barat, karena Trikora. Mereka tidak mau tahu bahwa ada orang-orang yang dikenal oleh Rakyat sebagai Orang Kaya Baru (OKB), yaitu orang-orang yang kaya mendadak secara tidak wajar dengan jalan menyalahgunakan kedudukan dan mengadakan manipulasi atas kerugian puluhan juta Rakyat pekerja yang bertambah miskin. Mereka adalah apa yang dikatakan dalam pidato Tahun Kemenangan Presiden Sukarno : “Golongan-golongan yang selalu mencari keuntungan dari keadaan inflasi, atau dengan sengaja menjalankan subversi ekonomi untuk menyulit-nyulitkan dan menjegal-jegal segala gerak-gerik Republik atau pimpinan Republik”.
Mereka sengaja menutup mata terhadap kenyataan, bahwa krisis ekonomi sekarang telah membawa akibat yang sangat merusak dan menyedihkan bagi Rakyat. Satu gejala yang serius adalah makin membumbungnya harga barang-barang kebutuhan pokok dengan lompatan-lompatan yang sangat tinggi dan dalam waktu-waktu yang sangat pendek. Dengan begitu Rakyat pekerja yang terdiri dari kaum, buruh, tani, nelayan, pegawai, prajurit, penduduk miskin kota, pedagang, dan produsen kecil serta golongan penerima upah lainnya, mengalami kenaikan ongkos hidup secara luarbiasa dan kemerosotan daya belinya yang sangat cepat. Bahkan pengusaha-pengusaha nasional disektor produksi, khususnya di bidang industri, terus menerus terancam oleh kebangkrutan dan sebagai akibatnya pengangguran bertambah luas.
Beberapa fakta sosial dan ekonomi di bawah ini kiranya cukup untuk meyakinkan betapa tidak layaknya untuk bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan ekonomi sekarang. Berdasarkan keterangan Pemerintah sendiri, indeks biaya hidup di Jakarta pada akhir tahun 1961 telah naik menjadi 170 % dan pada akhir bulan Maret tahun 1962 telah naik menjadi 325 % dibandingkan dengan akhir tahun 1960. Indeks harga barang-barang konsumsi sehari-hari pada akhir tahun 1960 adalah 388 dan pada bulan Maret tahun 1962 sudah menjadi 1261 berdasarkan angka indeks tahun 1953 sama dengan 100. Perkembangan yang serupa juga berlaku di kota-kota lain, malahan sangat mungkin keadaannya lebih jelek lagi. Pembagian beras sebagai bahan kebutuhan Rakyat yang terpokok praktis hanya di Ibukota Jakarta saja yang dapat dikatakan agak lancar. Dalam kenyataannya penghidupan rakyat pekerja adalah jauh lebih berat daripada yang digambarkan di dalam keterangan pemerintah di depan DPRGR beberapa bulan yang lalu, meskipun keterangan Pemerintah itu sendiri sudah cukup menunjukkan bahwa daya-beli Rakyat pekerja dalam satu setengah tahun saja sudah sangat merosot. Kenaikan-kenaikan upah kaum buruh dengan rata-rata 30 % sama sekali tidak dapat mengangkat kaum buruh dari kemiskinan yang makin bertambah. Lebih-lebih keadaan di mana harga barang-barang pokok secara resmi dinaikkan sampai lebih dari 100 % seperti harga gula, beras, dan lain-lain yang mendorong bertambah naiknya harga di pasar bebas.
Beban hidup kaum tani juga bertambah berat. Gejala busung lapar sudah nampak di berbagai tempat dan tidak terbatas pada daerah-daerah yang minus saja. Harga beras di daerah penghasil beras di waktu panen tetap tinggi dan bergerak antara Rp 20,- sampai Rp. 30,- yang sangat memberatkan kaum buruh tani dan tani miskin sebagai konsumen terbesar di desa-desa. Sumber pokok daripada kemiskinan di kalangan kaum tani ini adalah tidak lain daripada masih adanya sisa-sisa penghisapan feodal dan tidak lancarnya pelaksanaan UU Perjanjian Bagi Hasil dan UU Pokok Agraria (land reform).
Produksi industri, perkebunan dan pertambangan yang umumnya masih tergantung pada impor barang-barang baku dan penolong sudah bekerja jauh di bawah kapasitasnya yang normal. Mengingat kemunduran ekspor akhir-akhir ini dapat ditaksir bahwa Pemerintah untuk tahun 1962 hanya dapat menyediakan devisen untuk mengimpor bahan-bahan baku dan penolong kurang lebih hanya 20 % daripada kebutuhan normal. Menurut angka-angka Biro Pusat Statistik selama 9 bulan dalam tahun 1961 (Januari s/d September) neraca perdagangan Indonesia tanpa minyak bumi menunjukkan defisit sebesar Rp. 9,3 milyar atau rata-rata sebulan tidak kurang dari Rp. 1,03 milyar. Nilai ekspor tanpa minyak bumi selama 4 bulan pertama tahun 1962 merosot dengan 34 % dibandingkan dengan tahun 1960 dan masih di bawah hasil tahun 1961. Dengan ini sudah dapat diperkirakan bahwa nilai ekspor tahun 1962 akan mengalami kemerosotan lagi. Padahal kebutuhan devisen untuk membiayai pembangunan, membayar hutang dan mengimpor beras bertambah besar.
Kemunduran dalam ekspor Indonesia banyak ditentukan oleh turunnya harga barang-barang ekspor penting seperti karet dan timah, sebagai akibat daripada permainan kaum monopolis Amerika Serikat dan persekutuan kaum monopolis Eropa Barat dalam Pasaran Bersama Eropa (PBE). Dalam waktu kurang dari dua tahun belakangan ini harga karet alam di pasar internasional telah merosot dengan keras. Menurut angka-angka resmi pada bulan Juli tahun 1960 harga karet alam adalah 45,7 sen dolar Amerika Serikat, dalam bulan Juli 1961 telah merosot menjadi 29,2 sen dolar AS per pon (lbs). dalam tahun 1962 harga itu merosot lagi, yaitu bagi jenis Hardt Flat Bark Crepe pada tanggak 24 Juli 1962 menjadi 21 sen dolar AS dan rata-rata bagi semua jenis hanya 26 sen dolar AS dan rata-rata bagi semua jenis hanya 26 sen dolar AS per pon (lbs). dapat dibayangkan betapa besarnya kerugian-kerugian yang diderita oleh Indonesia, apabila dengan kemerosotan 1 sen dolar AS saja setiap pon (lbs) sudah berarti kerugian sebesar 15 juta dolar AS setahun, berdasarkan ekspor setahun sebesar 750.000 ton. Ditambah pula volume ekspor karet semenjak tahun 1956 rata-rata di bawah 700.000 ton setahun.
Gejala krisis ekonomi Indonesia yang makin meluas dan mendalam kita jumpai pula dalam bentuk-bentuk yang kongkrit di bidang pertanian dan perkebunan. Kemunduran produksi pertanian yang sangat serius sangat terasa akibatnya dalam persediaan bahan makanan yang pokok, yaitu beras. Produksi beras direncanakan untuk tahun 1962 sebesar 10 juta ton yang berarti akan terdapat surplus 150.000 ton. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa dalam tahun 1962 Indonesia masih harus mengimpor kurang lebih 1,5 juta ton beras dari luar negeri. Berdasarkan kenyataan ini, maka sangat diragukan kebenaran penguuman SSB bahwa produksi beras tahun 1962 mengalami kenaikan sampai 15 %. Produksi gula pasir tahun 1962 tidak mencapai rencana dan malahan menurut perkiraan akan kurang dari produksi tahun 1961 yang sudah lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Produksi pertanian serta perkebunan dan produksi pertambangan merupakan sumber penting dalam memenuhi kebutuhan barang-barang sandangpangan bagi Rakyat, dalam memecahkan problem pembiayaan pembangunan, dalam memulihkan keadaan ekonomi dan kerusakan-kerusakan akibat peperangan, yang kesemuanya ini merupakan masalah yang sangat berat dewasa ini. Industri Indonesia sekarang, yang sangat lemah dalam jenis dan jumlah, produksinya naik-turun sejalan dengan maju-mundurnya ekspor barang-barang hasil pertanian, perkebunan, dan pertambangan sebagai sumber pembiayaan impor barang-barang baku dan penolong. Karena itu pula maka perkembangan industri dalam negeri yang mutlak diperlukan banyak tergantung pada sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan. Nilai produksi dibandingkan dengan modal yang ditanam disektor ini adalah jauh lebih besar karena dibandingkan dengan sektor industri ia tidak memerlukan penanaman modal yang sangat besar. Adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk menjadikan produksi pertanian, perkebunan dan pertambangan sebagai dasar daripada perekonomian negeri kita, dari mana kita terutama mendapat biaya untuk mengindustrialisasi negeri. Tanpa memperkuat dasar ini tidak mungkin kita mengindustrialisasi negeri, dan tanpa industri yang kuat ekonomi kita tidak akan mempunyai tulang punggung yang kuat.
Pelaksanaan prinsip ini menghendaki dipadukannya dua tugas, yaitu tugas sektor agraria dan tugas sektor industri. Tugas mempertinggi produksi dibidang agraria dengan terutama melaksanakan konsekuen UU Perjanjian Bagi Hasil dan UU Pokok Agraria (land reform) dan tugas pembangunan industri, harus merupakan kesatuan tugas nasional yang berimbang dan tak terpisahkan satu sama lain.
Perhubungan kereta api dan angkutan bermotor melalui jalan-jalan raya mengalami kemacetan-kemacetan sehingga sangat menghambat peredaran ekonomi di seluruh negeri. Kesimpang-siuran aparat distribusi menyebabkan pula seretnya perdagangan dalam negeri. Birokrasi dalam berbagai instansi pemerintahan sipil maupun militer serta peraturan-peraturan yang berbelit-belit mempersulit prosedur perdagangan. Akibat buruk daripada ini ialah kelambatan-kelambatan atau kemacetan-kemacetan dalam pengangkutan barang-barang sandangpangan dan barang-barang untuk pembangunan proyek-proyek penting.
Gejala lain yang tidak kalah seriusnya ialah timbulnya inflasi terbuka yang sangat merusak dan mengacaukan ekonomi negeri kita. Menurut keterangan resmi, Anggaran Belanja negara tahun ini ditaksir akan mengalami defisit tidak kurang dari Rp. 40 milyar, belum termasuk pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan perjuangan pembebasan Irian Barat. Pada saat ini dapat diperkirakan bahwa peredaran uang sudah jauh lebih besar daripada keadaannya pada akhri tahun 1961, yang pada waktu itu sudah berjumlah lebih dari Rp. 64 milyar. Karena peredaran uang yang besar tidak diimbangi dengan kenaikan produksi, maka dengan sendirinya inflasi terbuka semakin menekan penghidupan rakyat. Tindakan moneter berupa pengaturan SIVA malahan memperlemah sektor produksi dan mendorong kenaikan harga.
Kepincangan-kepincangan sosial dan ekonomi tersebut bukanlah pertama-tama kerena soal memulihkan keamanan dan perjuangan pembebasan Irian Barat, tetapi terutama sekali adalah sebagai akibat daripada pengurusan yang salah (mismanagement) di bidang ekonomi-keuangan. Pengurusan yang salah di bidang ekonomi-keuangan ditandai oleh kenyataan-kenyataan adanya pemborosan uang, tenaga dan alat-alat. Serta ongkos produksi yang tinggi sekalipun upah tetap rendah. Di antara orang-orang yang bertanggungjawab atas pengurusan (management) ekonomi-keuangan tidak sedikit terdapat kaum kapitalis birokrat dan orang-orang yang komunisto-phobi, buruh-phobi, Rakyat-phobi dan phobi-phobi lainnya, yang kerjanya mengekang demokrasi dan menghambat perkembangan tenaga-tenaga produktif kaum buruh dan kaum tani.
Karena susunan organisasi ekonomi yang birokratis dan karena bercokolnya kaum kapitalis birokrat maka sangat sulit pekerjaan merombak pengurusan atau managemen yang buruk. Pengawasan yang demokratis dari massa ditekan, pembentukan dewan-dewan perusahaan dan Dewan-dewan Produksi dihambat. Hal-hal ini dengan tandas telah diperingatkan oleh Presiden Sukarno dalam Pidato Tahun Kemenangan. Semboyan atau program negara termasuk pula Amanat-amanat dan Instruksi-instruksi yang baik-baik di bidang ekonomi dalam pelaksanannya mengalami rintangan-rintangan atau disabot. Masih banyak orang-orang yang bertanggungjawab atas pengurusan ekonomi keuangan baik di pusat maupun di daerah-daerah, yang tidak berorientasi kepada Rakyat, kepada tenaga-tenaga produktif, yang pada pokoknya tidak mengabdi kepada Amanat Penderitaan Rakyat.
Pengurusan yang tidak baik di bidang produksi, bidang distribusi dan bidang keuangan satu sama lain secara timbal-balik memperburuk keadaan. Politik keuangan yang mau dengan gampang saja menaikkan atau menambah jenis-jenis pajak langsung atau tidak langsung memberatkan sektor produksi dan para konsumen. Produksi yang mundur membawa akibat buruk bagi keuangan negara.
Demikianlah antara lain gejala-gejala yang tidak baik dalam pengurusan yang salah (mismanagement) di bidang perdagangan luarnegeri ialah tergantungnya kurang lebih 70 % dari ekspor-impor kepada pasaran negara-negara imperialis Amerika Serikat dan Eropa barat. Apabila tidak ada tindakan-tindakan yang merombak secara fundamentil hubungan ekonomi luar negeri Indoensia, maka ekspor karet dan timah akan mengalami kemerosotan yang lebih keras lagi. Kedua bahan ini saja sudah meliputi hampir 50 % dari seluruh ekspor Indonesia. Kaum monopolis Amerika Serikat dengan melalui stock-piling agency-nya yang bernama “General Service Administration” (GSA) dan kaum monopolis dalam Pasaran Bersama Eropa sedang dan akan terus berusaha keras untuk menjatuhkan harga barang-barang tersebut di pasar dunia. PBE adalah alat kaum imperialis untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi imperialis dalam bentuk neo-kolonialisme di negeri-negeri A-A-A dan untuk memperkuat dasar ekonomi dari blok militer agresif NATO. Praktik-praktik PBE sangat merugikan Indonesia sebagai negeri penghasil bahan mentah dan negeri yang industrinya masih belum berkembang maju.
Satu gejala lain lagi yang tidak baik dalam pengurusan ekonomi ialah penyelewengan dari amanat-amanat dan isntruksi-instruksi Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KTOE) adalah kredit berdasarkan production sharing, dengan perkataan lain kredit yang dibayar dengan produksi atas dasar saling menguntungkan, dengan pemiliknya dan management Indonesia.
Keadaan pengurusan ekonomi menjadi kacau dengan adanya pensalahgunaan wewenang pejabat-pejabat tertentu baik sipil maupun militer. Mengutamakan perusahaan-perusahaan negara yang dipimpinnya menimbulkan kerugian-kerugian yang tidak sedikit bagi perusahaan-perusahaan negara. Keterangan Panglima Angkatan Darat Mayor Jendral A. Yani pada waktu pembukaan Akademi Pertanian Jendral Sudirman di Purwokerto, bahwa anggota-anggota tentara dalam lingkungan jabatan sipil akan ditarik, apabila diminta oleh departemen yang bersangkutan, menunjukkan adanya pengertian baik di kalangan pimpinan tentara.
Setelah meninjau keadaan ekonomi yang suram yang menimpa negara dan Rakyat, maka sudah waktunya untuk mengadakan tindakan-tindakan yang fundamentil di bidang ekonomi. Tindakan-tindakan teknis-administratif atau finansiil moneter pada waktu seakrang hanya merupakan tindakan tambal-sulam yang tidak memberikan harapan dan tidak akan menyembukan ekonomi-keuangan yang luka parah seperti sekarang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, maka PKI dengan berpedoman pada Pidato Tahun Kemenangan Presiden Sukarno, demi mencegah kemerosotan lebih lanjut daripada keadaan ekonomi-keuangan yang sudah sangat serius sekarang ini, mengusulkan segera diambil tindakan-tindakan sebagai berikut.
Dengan menyalakan Api Trikora sehebat-hebatnya, dengan memperkuat persatuan nasional yang berporoskan Nasakom, dengan melaksanakan secara konsekuen Pidato Tahun Kemenangan Presiden Sukarno, kesulitan ekonomi sekarang akan dapat ditanggulangi dengan sukses. PKI yakin bahwa dengan terus menempuh jalan Rakyat maka semua kesulitan termasuk kesulitan ekonomi akan dapat diatasi.
Maju terus dengan semangat Trikora menaggulangi soal ekonomi!
Ritul aparatur ekonomi untuk mengatasi krisis sandang pangan!
Jakarta, 10 Oktober 1962.
-------------
Ada baiknya kita berhenti sebentar dan meninjau keadaan perekonomian kita sekarang ini. Partai Komunis Indonesia berpendapat bahwa kita sekarang ada dalam keadaan “Open inflation”.
Kiranya ini adalah suatu pernyataan yang agak berlebih-lebihan. Sebab suatu “Open inflation” adalah suatu keadaan dimana inflation teah mengamuk secara sangat intensif dan tak dapat dikendalikan lagi.
Suatu keadaan dimana harga-harga dari semua barang-barang naik terus menerus hampir saban hari dengan tidak kelihatan kapan berhentinya.
Memang kalau kita melihat harga-harga itu selama misalnya 10 tahun jadi dalam jangka waktu agak panjang ada betulnya bahwa harga-harga dari semua barang-barang terus saja naik dan sekarangpun juga belum ada jaminan bahwa kenaikan harga-harga itu tidak akan mulai lagi dalam waktu-waktu yang akan datang.
Akan tetapi selama 10 tahun ini kenaikan harga-harga itu tidak berjalan terus-menerus, melainkan sebentar naik sebentar berhenti, naik lagi berhenti lagi dan begitulah seterusnya.
Kalau kita gambarkan maka inflasi kita ini seperti naik tangga rumah yaitu melonjak ke atas lalu datar sementara waktu, lalu naik lagi ke atas.
Inflasi kita ini, sebetulnya adalah inflasi tertekan (“Repressed inflation”) tetapi karena tekanan inflasi terus menerus ada, khususnya berupa defisit anggaran belanja negara di samping kemerosotan produksi maka jika diberi alasan atau kesempatan untuk naik maka harga secara sekonyong-konyong dan berbarengan untuk hampir semua barang-barang dan jasa-jasa melonjak ke atas secara hebat dan terasa sekali. Tetapi kenaikan mendadak dan hebat ini segera disusul oleh kestabilan baru sekalipun untuk sementara dan pada tingkat harga yang lebih tinggi.
Memang benar bahwa dalam keadaan yang demikian ini Rakyat kecil menjadi korban dan khususnya para buruh, pegawai negeri, pensiunan dan lain-lain golongan yang penghasilannya dalam jumlah rupiah tetap. Memang upah dan gaji juga ikut naik, tetapi naiknya lambat dan tidak sepadan dengan naiknya harga-harga. Akhirnya upah buruh itu jauh terbelakang dibanding dengan kenaikan harga-harga yang dibutuhkan, sehingga dirasakan makin lama makin kurang penghasilannya.
Akan tetapi anehnya yang diusulkan oleh kaum Komunis sebagai tindakan-tindakan perbaikan tidaklah sama sekali menggambarkan bagaimana dan kearah mana dapat diharapkan ada perbaikan. Seolah-olah pada pokoknya yang diusulkan itu ialah penggantian orang-orang yang berkuasa pada aparatur negara, menghapuskan keadaan bahaya dan membentuk lembaga-lembaga masyarakat baru di mana mereka dapat memainkan peranan yang penting. Sudah tentu usul-usul ini adalah penting bagi yang bersangkutan akan tetapi apa jaminannya bahwa keadaan perekonomian akan menjadi baik karenanya.
Kita semua sudah tahu bahwa ada mismanagement distribusi perlu diperbaiki, produksi perlu dinaikkan dlsb. Tetapi sayang sekali kita tidak bisa menemukan dalam usul-usul itu suatu konsepsi yang bisa diterima dapat memperbaiki itu semua.
Keadaan sekarang ini memanglah bukan keadaan inflasi terbuka. bahkan keadaan sekarang ini adalah aneh sekali. Dalam waktu harga-harga meningkat maka kita mengalami suatu keadaan depresi. Keadaan perekonomian kita lesu, tidak bersemangat, tidak banyak kegiatan.
Padahal harga-harga berada pada tingkat yang sangat tinggi, akan tetapi transaksi tidak ramai, jual-beli hanya sekedarnya saja. Harga dipasang tinggi tetapi pembelinya tidak bersemangat, tidak terburu-buru nafsu atau ketakutan kalau-kalau harga akan naik lebih tinggi. Sebaliknya penjualan jarang ada jika orang benar-benar mau beli dan rupa-rupanya enggan untuk melepaskan barangnya seolah-olah takut kalau nanti susah lagi mencari barang.
Apa sebabnya demikian? Di Indonesia sekarang ini ada dua sumber terpenting yang memberikan denyutan bergeraknya perekonomian. Pertama adalah ekspor. Kalau ekspor kendor, maka kendorlah pula perdagangan, kendorlah perindustrian dan kendor pula pengangkutan, dst. Justru sekarang ini sesudahnya agak lama ekspor terus menerus agak repot, maka kegiatan ekspor makin menjadi kurang. Rupa-rupa sebabnya, tetapi kenyataaannya ekspor tidak bersemangat maka devisa pun menjadi kurang adanya.
Sumber denyutan jantung perekonomian kita yang penting ialah sektor pemerintahan. Pemerintah belakangan ini seolah-olah sangat berhati-hati dalam pengeluaran-pengeluaran keuangan, karena usahanya untuk menjaga supaya inflasi jangan menjadi-jadi. Hal ini terasa sekali di kalangan swasta di mana dirasakan betapa sulitnya mendapat kredit atau menerima bayaran-bayaran dari pemerintah. Misalnya terasa sekali betapa seretnya pembayaran kepada pemborong-pemborong yang sudah menyelesaikan sebagian dari pekerjaan. Selain dari itu juga politik kontraksi uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank-bank swasta terasa sekali, sehingga bank-bank swastapun bekerja sangat berhati-hati dalam pembiayaan usaha swasta.
Demikianlah pada waktu sekarang ini seolah-olah semua orang menunggu, tidak banyak bergerak karena seolah-olah ragu-ragu dan tidak mendapat alasan atau perangsang untuk bergerak.
Jakarta, 13 Oktober 1962.
-----
Tulisan “Business News” (BN) tertanggal 13 Oktober yang lalu tentang “Keadaan Perekonomian sekarang”, sebagai reaksi terhadap masalah menaggulangi soal ekonomi dengan semangat Trikora yang dikemukakan oleh Politbiro CC PKI dalam pernyataaannya tertanggal 12 Oktober yang lalu ternyata hanya berkisar pada 2 soal, yaitu:
Inflasi Terbuka
Menurut pengertian yang lazim diterima dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah penamaan untuk keadaan yang secara moneter menggambarkan merosotnya nilai tukar uang kertas (rupiah) terhadap sejumlah barang dagangan dan jasa dalam peredaran, dalam masyarakat. Dan menurut hukum pasar, kelebihan uang kertas dalam peredaran membawa akibat kenaikan harga barangdagangan dan jasa. Kongkritnya nilai (daya-beli) rupiah jatuh terhadap nilai seluruh barangdagangan dan jasa.
Kenaikan harga itu sendiri, di satu pihak mendorong nafsu untuk mencetak uang dalam rangka mencukupi kebutuhan yang makin meningkat akan uang kertas yang merosot nilainya untuk ditukarkan dengan barang dagangan dan jasa yang meningkat harganya. Di lain fihak rupiah yang sedang merosot nilainya menimbulkan kekuatiran pada golongan-golongan dalam masyarakat, sehingga terdapat kecenderungan untuk membeli emas, barang dagangan, valuta asing dsb. Tindakan ini dengan sendirinya akan menambah kecepatan jalannya peredaran uang. Tegasnya, inflasi itu sendiri menjadi sebab daripada kelanjutan inflasi yang seterusnya. Jadi kenaikan harga yang tak terkendalikan yang membawa akibat buruk dalam produksi, distribusi dan peredaran barang adalah ciri pokok daripada inflasi dalam kehidupan ekonomi yang liberal.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa setiap pemerintah yang mau menjalankan tugasnya sesuai dengan kepentingan Rakyat, akan mengambil tindakan-tindakan moneter maupun ekonomi yang dimaksudkan untuk menekan inflasi dan mencegah kenaikan harga, sehingga nilai tukar uang itu tetap menjadi stabil. Dan yang menentukan daya beli rupiah harga barang dagangan itu sendiri (produksi) dan pengeluaran distribusi barangdagangan. Ini berarti bahwa Pemerintah harus dapat mengendalikan politik pembentukan harga dan politik distribusi. Jika pembentukan harga dan produksi tak terpimpin oleh Pemerintah, tetapi terlepas dari tangan pemerintah, maka tidak ada artinya berbicara tentang “Inflasi tertekan” atau “Repressed inflation”. Kenyataan sudah membuktikan kebenaran konstatasi Politbiro CC PKI bahwa sekarang ini telah timbul gejala inflasi terbuka. buktinya, di samping adanya harga pemerintah, terdapat juga harga bebas dan spekulatif. Kedua, disamping adanya distribusi barang kebutuhan pokok, terdapat juga penyaluran barang secara spekulatif. Hal ini sudah cukup membuktikan bahwa Pemerintah tidak mampu menjalankan apa yang disebut politik “Repressed inflation” atau “Inflasi tertekan”.
Yang perlu dikemukakan juga adalah sifat daripada inflasi di Indonesia sendiri, cara-cara yang digunakan untuk mendekati masalah inflasi di Indonesia adalah cara pendekatan terhadap inflasi yang timbul di negeri-negeri kapitalis yang sudah maju. Indonesia sebaliknya adalah negeri yang belum merdeka penuh, keluar ekonominya masih tergantung kepada dunia kapitalis, dan kedalam hubungan produksi masih bersifat setengah feodal. Jadi apa yang dikatakan aneh oleh BN, yaitu “dalam waktu harga-harga meningkat maka kita mengalami suatu keadaan “Depresi”, “Lesu”, “Tidak bersemangat”, “Tidak banyak kegiatan”, dsb. dsb.
Menurut pengertian yang lazim berlaku di negeri kapitalis, maka sebagaimana dirumuskan oleh BN, “Inflasi terbuka” atau “Open inflation” adalah suatu “Keadaan dimana inflasi telah mengamuk dengan sangat intensif dan tidak terkendalikan lagi, suatu keadaan dimana harga semua barang-barang baik terus-menerus hampir saban hari dengan tidak kelihatan kapan berhentinya. Keadaan semacam ini seperti dirumuskan oleh BN dalam tulisannya itu, sebetulnya sudah bukan inflasi lagi akan tetapi sudah dapat dikatakan “Permulaan daripada sttaatsbankrut”. Keadaan semacam ini pernah kita lihat dulu misalnya di Jerman pada akhir perang dunia I dan pada saat setelah perang itu. Ini adalah salah satu bentuk daripada “Staatsbankrut”, akan tetapi suatu hal yang tidak pernah kita jumpai dalam kamus kaum kapitalis monopoli atau kaum fasis bahwa juga ada bentuk-bentuk lain daripada “Staatsbankrut” atau puncak daripada krisis umum kapitalisme itu. Yaitu massa-ontslag secara besar-besaran, penghisapan yang luarbiasa hebatnya atas Rakyat pekerja, terutama kaum buruh dan tani, dan penindasan serta pengekangan secara mutlak atas hak-hak kebebasan demokratis daripada Rakyat pekerja. Hal ini telah dilakukan oleh kaum fasis Jerman di bawah kepemimpinan Hitler selama bertahun-tahun.
Kami sependapat dengan BN bahwa keadaan di Indonesia memang tidak dapat dikarakterisasi dengan apa yang kami namakan “Staatsbangkrut” itu. Akan tetapi kami menamakan keadaan sekarang di mana harga barang-barang kebutuhan pokok dalam beberapa bulan saja sudah sangat membumbung dan bersamaan dengan itu dayabeli Rakyat pekerja sudah sangat merosot tidak lagi dengan istilah “Inflasi tertekan”, akan tetapi sudah dengan istilah “Infasi terbuka”, “Inflasi tertekan” menurut pendapat kami sudah bertahun-tahun lamanya kita alami dan belakangan ini sudah memuncak pada tingkatan yang lebih serius lagi.
Kalau kita ikuti angka-angka resmi saja dari Pemerintah dan juga dikutip dalam Pernyataan Politbiro CC PKI, maka jelas, bahwa selama tujuh tahun yaitu dari 1953 sampai 1960, indeks harga barang-barang kebutuhan pokok atau indeks kebutuhan hidup di Jakarta dalam tahun 1960 adalah 388 berdasarkan indeks tahun 1953 adalah 100. Akan tetapi indeks dalam tahun 1962 sudah menjadi 1261 dibandingkan dengan indeks 100 dalam tahun 1953. Jadi selama 2 tahun kenaikan indeks sudah menjadi 1261 : 388 3,25 kali lipat sama dengan kenaikan indeks dalam 7 tahun yaitu 3,88 kali lipat (388 dalam tahun 1960 dibandingkan dengan 100 dalam tahun 1953). Dari fakta-fakta ini nyatalah bahwa ada alasan yang cukup kuat dan masuk akal jika kami tidak lagi mengkonstatasi keadaan sekarang ini sebagai “Inflasi tertekan” akan tetapi sudah sebagai “Inflasi terbuka”.
Jalan Keluar dari Kesulitan-kesulitan Ekonomi
Sebelumnya mempelajari dengan sungguh-sungguh dan mendalam isi Pernyataan Politbiro CC PKI, rupa-rupanya BN sudah terburu nafsu untuk menuduh bahwa “Anehnya yang diusulkan oleh kaum Komunis sebagai tindakan perbaikan tidaklah samasekali menggambarkan bagaimana dan kearahmana dapat diharapkan adanya perbaikan”.
Dalam Pernyataan tersebut terang dikemukakan 7 (tujuh) usul pokok yang satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan. BN dengan sengaja menyembunyikan usul-usul lainnya dari PKI dengan maksud sudah tentu untuk menimbulkan kesan kepada umum seolah-olah PKI hanya menghendaki retuling dan perombakan aparatur ekonomi dan keuangannya saja, sehingga dengan begitu sadar atau tidak sadar BN mengadu-domba antara kita sama kita satu sama lain. Padahal PKI sudah lama berpendirian, bahwa tindakan-tindakan teknis administratif-moneter saja tidaklah mungkin untk dapat mengatasi keadaan sekarang ini. Tindakan-tindakan yang terutama dikehendaki PKI ialah memperbesar produksi pertanian dan perkebunan dengan jalan pengembangan tenaga-tenaga produktif di bidang-bidang itu melalui perluasan hak-hak demokratis, melaksanakan land reform dengan konsekuen, pembetukan badan-badan atau dewan-dewan perusahaan, dewan-dewan produksi, dll. Disamping itu PKI menghendaki adanya dewan-dewan pengawas distribusi, dewan-dewan pengawas impor dan ekspor, sebagai bentuk-bentuk pengawasan atau “Social control” atas jalannya produksi dan distribusi. Ini semua adalah sesuai dengan fikiran-fikiran yang maju dan kongkrit dari Presiden Sukarno yang telah dirumuskan dalam Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya serta Amanat, “Tahun Kemenangan”. Sudah tentu usul-usul pokok PKI dapat diperinci lebih lanjut dalam rumusan-rumusan yang lebih kongkrit. Sebaliknya dari tulisan BN itu kami telah sama sekali dapat menarik kesimpulan bahwa BN sama sekali tidak tampil dengan usul-usul yang prinsipiil, usul-usul yang tidak hanya menguntungkan kaum pengusaha swasta saja, akan tetapi juga menguntungkan massa Rakyat pekerja yang berpuluh-puluh juta jumlahnya yaitu terutama kaum buruh dan kaum tani.
Jakarta, 28 November 1962.