Sementara itu, seiring dengan dan setelah filsafat Prancis abad ke-18, lahirlah filsafat Jerman baru, yang memuncak pada Hegel. Jasa terbesarnya adalah mengangkat kembali dialektika sebagai bentuk penalaran tertinggi. Semua filsuf Yunani kuno dilahirkan sebagai ahli dialektika yang alami, dan Aristoteles, yang paling ensiklopedik di antara mereka semua, sudah menganalisis bentuk-bentuk pemikiran dialektik paling dasar. Filsafat yang lebih baru, di sisi lain, sekalipun di dalamnya kita temui juga para pendukung dialektika yang cemerlang (misalnya Descartes dan Spinoza), telah, khususnya melalui pengaruh Inggris, semakin hari semakin terpatri secara kaku dalam apa-yang-disebut moda penalaran metafisika, yang juga hampir sepenuhnya mendominasi Prancis abad ke-18, terutama dalam karya-karya filsafat khusus mereka. Di luar filsafat, dalam pengertian yang terbatas, Prancis telah menghasilkan mahakarya dialektika. Kita hanya perlu mengingat karya Diderot, Le Neveu de Rameau, dan karya Rousseau, Discours sur l'origine et les fondements de l'inegalite parmi less hommes. Di sini kami sajikan secara ringkas karakter esensial kedua bentuk penalaran ini.
Ketika kita mempertimbangkan dan merenungkan alam secara keseluruhan, atau sejarah umat manusia, atau kegiatan intelektual kita sendiri, awalnya kita melihat benang kusut relasi dan reaksi, permutasi dan kombinasi, yang tak berujung, di mana tidak ada satu hal pun yang tetap seperti sebelumnya dan tetap berada di tempat yang sama, tetapi semua bergerak, berubah, lahir dan lenyap. Oleh karenanya, awalnya kita melihat hal-ihwal dalam keseluruhannya, di mana bagian-bagian individu yang menyusunnya kurang lebih masih berada di latar belakang; kita amati gerakan, transisi, relasi, dan bukannya benda-benda yang bergerak, berpadu dan terhubung itu sendiri. Konsepsi yang primitif dan naif tetapi secara intrinsik tepat ini adalah konsepsi filsafat Yunani Kuno, dan untuk pertama kalinya dirumuskan dengan jelas oleh Heraclitus: segala sesuatu itu ada dan tiada, karena segala sesuatu itu mengalir, terus menerus berubah, terus menerus menjadi dan pupus.
Walaupun konsepsi ini benar karena ia mengungkapkan karakter umum dari gambaran keseluruhan, ia tidaklah memadai untuk menjelaskan detail-detail yang membentuk gambaran ini. Selama kita tidak memahami detail-detail ini, kita tidak memiliki pemahaman jernih akan keseluruhan gambaran itu. Untuk memahami detail-detail ini kita harus memisahkan mereka dari keterhubungan alami atau historis mereka, dan memeriksanya satu per satu secara terpisah: karakternya, sebabnya, akibatnya, dsb. Ini adalah, terutama, tugas penelitian ilmu pengetahuan alam dan sejarah; cabang-cabang ilmu pengetahuan yang oleh para filsuf Yunani Kuno, untuk alasan yang sangat baik, diletakkan dalam posisi subordinat, karena mereka harus terlebih dahulu mengumpulkan materi untuk dikerjakan oleh ilmu-ilmu ini. Sejumlah materi alam dan sejarah tertentu harus dikumpulkan sebelum kita bisa melakukan analisa kritis, perbandingan, dan klasifikasi ke dalam kelas, ordo, dan spesies. Fondasi ilmu pengetahuan alam eksak, oleh karenanya, awalnya dikerjakan oleh para filsuf Yunani Alexandrian[1], dan kemudian pada Abad Pertengahan oleh para filsuf Arab. Ilmu pengetahuan alam yang sesungguhnya dimulai dari paruh kedua abad ke-15, dan sejak itu telah berkembang dengan laju yang terus meningkat. Analisis Alam ke dalam bagian-bagian individualnya, pengelompokan berbagai proses-proses dan objek-objek alam ke dalam kelas-kelas tertentu, studi mengenai anatomi internal tubuh organik dalam keberagaman bentuknya – inilah syarat-syarat fundamental yang melandasi kemajuan besar ilmu pengetahuan Alam selama 400 tahun terakhir. Tetapi metode kerja ini juga telah memberi kita warisan kebiasaan mengamati objek-objek dan proses-proses alam dalam keterisolasian mereka, terpisah dari keterkaitan mereka dengan keseluruhan; kebiasaan mengamati benda dalam keadaan diam mereka, dan bukan dalam keadaan gerak mereka; sebagai konstan dan bukan sebagai variabel; dalam kematian mereka, dan bukan dalam kehidupan mereka. Dan ketika Bacon dan Locke mentransfer metode pengamatan ini dari ilmu pengetahuan alam ke filsafat, ini melahirkan metode pemikiran metafisika yang sempit, yang khas dari abad yang lalu [abad ke-18].
Bagi seorang metafisikawan, benda dan refleks mental mereka (atau gagasan) adalah objek yang terisolasi dari satu sama lain, dan mesti dipertimbangkan satu demi satu dan terpisah satu dari yang lainnya. Mereka adalah objek yang harus diteliti dalam keadaannya yang diam, kaku, dan abadi. Ia berpikir dalam antitesis yang secara mutlak tak terdamaikan. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:37) Baginya sesuatu itu eksis atau tidak eksis; sesuatu itu tidak dapat menjadi dirinya sendiri dan pada waktu bersamaan menjadi sesuatu yang lain. Positif dan negatif mutlak terpisah satu sama lain; sebab dan akibat berada dalam antitesis yang kaku satu sama lain.
Sekilas cara berpikir seperti ini tampak sangat jernih, karena ini adalah apa-yang-disebut akal sehat. Akal sehat ini, yang merasa nyaman di kungkungan empat tembok rumahnya, akan segera dihadapkan dengan petualangan yang luar biasa seketika ia melangkah keluar ke dunia penelitian yang luas. Metode berpikir metafisika dapat dibenarkan dan diperlukan dalam sejumlah domain, dalam tingkatan yang tergantung pada sifat objek yang diteliti. Namun cepat atau lambat metode metafisika akan mencapai limitnya, dan di luar limit ini ia menjadi berat-sebelah, terbatas, abstrak, tersesat dalam kontradiksi-kontradiksi yang tak terpecahkan. Dalam merenungkan hal-ihwal secara individual, ia melupakan keterhubungan di antara mereka; dalam merenungkan keberadaan mereka, ia melupakan awal dan akhir dari keberadaan itu; dalam kediaman mereka, ia melupakan gerak mereka. Ia tidak bisa membedakan hutan dari pohon-pohon.
Untuk keperluan sehari-hari kita tahu dan dapat mengatakan, misalnya, apakah seekor binatang itu hidup atau mati. Tetapi bila kita teliti lebih dekat, kita menemukan bahwa masalah hidup atau mati adalah masalah yang sangatlah kompleks, sebagaimana yang diketahui dengan sangat baik oleh para ahli hukum. Mereka telah memeras otak mereka dengan sia-sia untuk menentukan batas rasional kapan pengguguran janin dalam kandungan ibunya adalah pembunuhan. Adalah sama mustahilnya untuk menentukan secara absolut saat kematian, karena fisiologi membuktikan bahwa kematian bukanlah fenomena yang sesaat dan sementara, melainkan proses yang berkepanjangan.
Begitu juga setiap makhluk organik setiap saat adalah sama dan tidak sama; setiap saat ia mengasimilasi materi yang disuplai dari luar dan membuang materi lain; setiap saat sejumlah sel tubuhnya mati dan yang lain membangun kembali dirinya; dalam satu jangka waktu tertentu materi tubuhnya telah diperbarui sepenuhnya, dan digantikan oleh molekul-molekul materi lainnya, sehingga setiap makhluk organik selalu adalah dirinya sendiri, dan juga sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.
Lebih jauh lagi, setelah penyelidikan yang lebih dekat kita menemukan bahwa kedua kutub dari sebuah antitesis, misalnya positif dan negatif, tak terpisahkan seperti halnya mereka berlawanan, dan meskipun berlawanan, mereka saling merasuki. Dan kita temui, dengan cara yang sama, bagaimana sebab dan akibat adalah konsepsi yang hanya berlaku bila diterapkan pada kasus-kasus individual. Tetapi begitu kita mempertimbangkan kasus-kasus individual itu dalam keterhubungan umum mereka dengan alam semesta secara keseluruhan, mereka saling bertubrukan. Mereka menjadi kacau ketika kita merenungkan aksi dan reaksi universal itu di mana sebab dan akibat selalu berganti tempat, sehingga apa yang adalah akibat di satu tempat dan satu waktu akan menjadi sebab di lain tempat dan lain waktu, dan sebaliknya.
Kerangka penalaran metafisika tidak mengikutsertakan proses dan metode berpikir seperti ini. Dialektika, di sisi lain, memahami materi dan representasi mereka, yakni gagasan, dalam keterkaitan, keterangkaian, gerak, awal dan akhir mereka yang esensial. Proses-proses yang disebut di atas ini oleh karenanya adalah pembenaran bagi metode prosedurnya sendiri.
Alam adalah bukti dialektika, dan sains modern telah melengkapi bukti ini dengan materi-materi yang sangat kaya, yang jumlahnya hari demi hari bertambah, dan dengan demikian telah menunjukkan bahwa, pada analisa terakhir, Alam bekerja secara dialektik dan tidak secara metafisik; bahwa Alam tidak bergerak dalam lingkaran yang terus mengulang untuk selama-lamanya, tetapi bergerak melalui evolusi historis yang riil. Sehubungan dengan ini, nama Darwin mesti disebut sebelum menyebutkan nama-nama lainnya. Ia menghantarkan pukulan terbesar terhadap konsepsi metafisika mengenai Alam dengan pembuktiannya bahwa semua makhluk organik, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia sendiri, adalah produk dari sebuah proses evolusi yang berlangsung selama jutaan tahun. Tetapi ilmuwan alam yang telah belajar berpikir secara dialektik tidaklah banyak, dan konflik antara hasil-hasil penemuan dengan prasangka metafisik menjelaskan kebingungan yang terus merundung ilmu teori alam, terus membuat putus asa para guru dan juga para pelajar, para penulis dan juga para pembaca.
Pemahaman yang tepat mengenai alam semesta, evolusinya, perkembangan umat manusia, dan refleksi evolusi ini dalam benak manusia, oleh karenanya hanya dapat diperoleh dengan metode dialektika, yang terus memperhatikan aksi dan reaksi yang tak terhitung banyaknya dari kehidupan dan kematian, dari perubahan progresif atau retrogresif. Inilah semangat yang terkandung dalam filsafat Jerman yang baru. Kant memulai kariernya dengan membantah sistem tata suryanya Newton yang stabil, yang bergerak untuk selama-lamanya setelah menerima impuls awal. Kant sebaliknya menjelaskan, sistem tata surya adalah hasil dari sebuah proses historis, di mana matahari dan semua planet terbentuk dari kabut gas (nebula) yang berputar.[2] Dari sini ia sekaligus menarik kesimpulan bahwa, mengingat asal-usul sistem tata surya ini, maka kematiannya di hari depan adalah keniscayaan. Teorinya, setengah abad kemudian, dibuktikan secara matematika oleh Laplace, dan setengah abad setelah itu spektroskop membuktikan keberadaan kabut gas pijar seperti itu dalam berbagai tahap kondensasi di ruang angkasa.
Filsafat Jerman baru ini mencapai puncaknya dalam sistem Hegelian. Dalam sistem ini – dan di sini kita temui sumbangsih besarnya – untuk pertama kalinya seluruh dunia, baik dunia alam, dunia sejarah, maupun dunia intelektual, disajikan sebagai sebuah proses, yakni sebagai sesuatu yang terus menerus bergerak, berubah, bertransformasi, berkembang; dan Hegel berusaha menelusuri keterkaitan internal yang menjadikan semua gerak dan perkembangan ini satu keutuhan yang berkesinambungan. Dari sudut pandang ini sejarah umat manusia tidak lagi tampak seperti chaos yang penuh dengan serentetan kekerasan yang tidak masuk akal, yang semuanya terkutuk di hadapan pengadilan nalar, yang sebaiknya dilupakan secepat mungkin; melainkan sebagai proses perkembangan manusia itu sendiri. Tugas dari akal manusia adalah untuk menelusuri derap gradual dari proses ini melalui semua alurnya yang berliku-liku, dan untuk mencari hukum-hukum internal yang mendasari semua fenomena ini, yang di permukaan tampak aksidental.
Sistem Hegelian tidak memecahkan problem yang telah dikemukakannya, tetapi ini tidak penting. Sumbangsihnya yang bersejarah adalah bahwa ia telah mengemukakan problem itu. Ini adalah problem yang tidak akan pernah dapat dipecahkan oleh seorang pun. Sekalipun Hegel – bersama dengan Saint-Simon – adalah pemikir paling ensiklopedik di zamannya, namun ia dibatasi, pertama, oleh keterbatasan pengetahuannya sendiri dan, kedua, oleh keterbatasan pengetahuan dan konsepsi di zamannya. Selain kedua keterbatasan ini, kita harus tambahkan yang ketiga. Hegel adalah seorang idealis. Baginya pikiran dalam benaknya bukanlah gambaran abstrak benda-benda dan proses-proses yang aktual, tetapi sebaliknya, semua benda dan evolusi mereka hanyalah gambaran yang direalisasikan oleh “Ide”, yang eksis di satu tempat sejak kekekalan sebelum adanya dunia. Cara berpikir ini menjungkirbalikkan semuanya, dan memutar balik keterhubungan hal-ihwal yang sesungguhnya dalam dunia. Setepat-tepatnya dan sepintar-pintarnya Hegel memahami sekumpulan fakta, namun karena alasan-alasan yang baru saja kita kemukakan, banyak sekali gagasannya yang ceroboh, artifisial, dipaksakan, atau dalam kata lain, keliru dalam hal rincinya. Sistem Hegelian, dalam dirinya sendiri, merupakan sebuah keguguran besar – tetapi ia juga adalah yang terakhir dari jenisnya. Pada kenyataannya, sistem ini menderita dari kontradiksi internal yang tak dapat disembuhkan. Di satu sisi, dalil pokoknya adalah konsepsi bahwa sejarah manusia merupakan sebuah proses evolusi, yang, karena wataknya ini, tidak akan bisa menemukan ekspresi intelektualnya yang paling final lewat penemuan apa-yang-disebut kebenaran absolut. Tetapi, di sisi lain, sistem Hegelian mengklaim dirinya sebagai hakikat kebenaran absolut itu sendiri. Sebuah sistem pengetahuan alam dan sejarah, yang mencakup segala sesuatu, dan yang final untuk selamanya, merupakan kontradiksi terhadap hukum dasar penalaran dialektika. Hukum ini, memang, sama sekali tidak mengecualikan, tetapi sebaliknya, mencakup gagasan bahwa pengetahuan sistematis tentang alam semesta dapat mengambil langkah maju yang besar dari masa ke masa.
Persepsi mengenai kontradiksi fundamental dalam idealisme Jerman mau tak mau membawa kita kembali ke materialisme, tetapi, notabene, bukan ke materialisme abad ke-18 yang metafisik dan mekanik. Materialisme Lama melihat seluruh sejarah masa lalu sebagai sekumpulan kekerasan dan irasionalitas, sementara materialisme modern melihat dalam sejarah proses evolusi umat manusia dan berusaha menemukan hukum-hukum yang mengatur proses evolusi tersebut. Para filsuf Prancis abad ke-18, dan bahkan Hegel, memegang konsepsi bahwa Alam secara keseluruhan bergerak dalam lingkaran yang sempit, dan selama-lamanya kekal, dengan benda-benda langitnya yang abadi seperti yang diajarkan oleh Newton, dan dengan makhluk-makhluk organik yang tak pernah berubah sebagaimana diajarkan oleh Linnaeus. Materialisme modern merangkul penemuan-penemuan ilmu pengetahuan alam yang terbaru, yang menyatakan bahwa Alam juga memiliki sejarahnya, bahwa benda-benda langit, seperti halnya makhluk-makhluk organik yang menghuninya di bawah kondisi-kondisi yang memungkinkannya, lahir dan musnah. Dan bahkan bila Alam, secara keseluruhan, katakanlah bergerak dalam siklus yang mengulang, siklus ini memiliki dimensi yang besarnya tak terhingga. Dalam kedua aspek ini, materialisme modern pada dasarnya bersifat dialektik, dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari filsafat yang berpura-pura berkuasa di atas seluruh sains. Ketika tiap-tiap cabang sains harus membuat posisinya jelas dalam totalitas besar dari segala sesuatu dan pengetahuan kita mengenai segala sesuatu, maka sebuah cabang sains yang khusus untuk mempelajari totalitas ini sudah tidak lagi berguna dan tidak lagi diperlukan. Dari semua filsafat yang ada sebelumnya, hanya sains penalaran dan hukumnya – yakni logika formal dan dialektika – yang masih akan bertahan. Yang lainnya akan tenggelam dalam ilmu pengetahuan positif mengenai Alam dan sejarah.
Walaupun revolusi dalam konsepsi Alam hanya dapat dicapai dalam proporsi yang sama dengan materi-materi positif yang disediakan oleh penelitian, fakta sejarah tertentu telah terjadi jauh sebelumnya yang menyebabkan perubahan yang menentukan dalam konsepsi sejarah. Pada 1831, pemberontakan kelas buruh yang pertama meletus di Lyon[3]; antara 1838 dan 1842, gerakan kelas buruh nasional yang pertama, yakni gerakan Chartisme di Inggris, mencapai puncaknya. Perjuangan kelas antara proletariat dan borjuasi tampil ke muka dalam sejarah negara-negara kapitalis termaju di Eropa, dalam proporsi yang sama dengan perkembangan industri modern di satu sisi dan perkembangan supremasi politik kaum borjuasi di sisi lain. Realitas semakin hari semakin mengekspos kebohongan ajaran-ajaran ekonomi borjuis yang mengatakan bahwa kepentingan kapital dan buruh adalah sama, bahwa persaingan bebas akan membawa keharmonisan dan kemakmuran bagi semua orang. Semua ini sudah tidak bisa lagi diabaikan, seperti halnya kita tidak bisa lagi mengabaikan Sosialisme Inggris dan Prancis yang merupakan ekspresi teoretis dari realitas ini, walaupun mereka adalah ekspresi yang sangat tidak sempurna. Tetapi konsepsi idealis yang lama mengenai sejarah, yang masih mendominasi, tidak mengenal perjuangan kelas yang berdasarkan kepentingan ekonomi, tidak mengenal kepentingan ekonomi; baginya produksi dan semua relasi ekonomi adalah semata-mata elemen-elemen yang insidental dan subordinat dalam “sejarah peradaban”.
Fakta-fakta baru ini mengharuskan kita untuk memeriksa kembali semua sejarah masa lalu. Dari situ kita melihat bahwa semua sejarah masa lalu, kecuali tahapan primitif, adalah sejarah perjuangan kelas; bahwa semua kelas-kelas yang bertentangan selalu merupakan produk moda produksi dan pertukaran, dalam kata lain, produk kondisi-kondisi ekonomi zamannya; bahwa struktur ekonomi sebuah masyarakat selalu menjadi landasan riil masyarakat tersebut, dan dari struktur ekonomi tersebut kita bisa menyusun penjelasan mengenai keseluruhan bangunan-atas (superstruktur) lembaga-lembaga hukum dan politik, dan juga gagasan-gagasan religius, filsafat, dan lainnya yang ada dalam suatu periode sejarah tertentu. Hegel telah membebaskan sejarah dari metafisika – dia telah membuatnya dialektis; tetapi konsepsinya mengenai sejarah pada hakikatnya bersifat idealis. Tetapi hari ini idealisme telah diusir dari tempat persembunyian terakhirnya, yaitu filsafat sejarah; hari ini metode pengkajian sejarah secara materialis telah dikedepankan, yakni sebuah metode yang menjelaskan “pengetahuan” manusia lewat “keberadaan”-nya, alih-alih, seperti sebelumnya, “keberadaan”-nya lewat “pengetahuan”-nya.
Sejak saat itu Sosialisme sudah bukan lagi sebuah penemuan aksidental oleh orang pintar ini atau itu, tetapi hasil niscaya dari perjuangan antara dua kelas yang berkembang secara historis – proletariat dan borjuasi. Tugas Sosialisme sudah bukan lagi membangun sebuah sistem kemasyarakatan yang sesempurna mungkin, tetapi memeriksa rangkaian peristiwa historico-ekonomik yang niscaya menghasilkan kelas-kelas ini dan antagonisme di antara mereka, dan menemukan dalam kondisi ekonomi yang ada sarana untuk mengakhiri konflik ini. Tetapi Sosialisme Awal tidaklah kompatibel dengan konsepsi materialis ini, seperti halnya konsepsi Alam kaum materialis Prancis tidak kompatibel dengan dialektika dan ilmu alam modern. Sosialisme Awal jelas mengkritik moda produksi kapitalis yang ada dan konsekuensi-konsekuensinya. Tetapi ia tidak mampu menjelaskannya, dan oleh karenanya tidak mampu menguasainya. Ia hanya bisa menolaknya sebagai sesuatu yang buruk. Semakin keras Sosialisme Awal mengutuk eksploitasi kelas buruh, yang tak terelakkan di bawah Kapitalisme, semakin ia tidak mampu menjelaskan secara terang benderang apa eksploitasi ini dan bagaimana eksploitasi ini muncul. Untuk bisa melakukan ini, kita harus 1) menjelaskan moda produksi kapitalis dalam hubungan historisnya dan keniscayaannya dalam periode sejarah tertentu, dan oleh karenanya juga menjelaskan keruntuhannya yang tak terelakkan; 2) menelanjangi karakter esensialnya, yang sampai tempo hari masihlah tersembunyi. Ini dilakukan lewat ditemukannya nilai-lebih. Apropriasi kerja yang tak dibayar adalah landasan moda produksi kapitalis dan eksploitasi kaum buruh yang berlangsung di bawahnya; bahkan bila kaum kapitalis membeli tenaga-kerja (labour-power) buruhnya dengan nilai penuh sebagai komoditas di pasar, dia akan tetap meraup lebih banyak nilai daripada yang dibayarkannya; dan pada analisa terakhir, nilai-lebih ini membentuk jumlah total nilai kapital yang terus menumpuk di tangan kelas kapitalis. Asal-muasal produksi kapitalis dan produksi kapital kedua-duanya dijelaskan.
Kita berhutang pada Marx untuk kedua penemuan besar ini: konsepsi materialis mengenai sejarah dan penyingkapan rahasia produksi kapitalis melalui nilai-lebih. Dengan penemuan-penemuan ini, Sosialisme menjadi ilmiah. Hal selanjutnya adalah mengerjakan semua detailnya dan relasi-relasinya.
Catatan kaki:
[1] Periode Sains Alexandrian adalah dari abad ke-3 sampai ke-7. Namanya datang dari kota Alexandria di Mesir, di Mediterania, yang pada saat itu adalah sentra utama perdagangan internasional. Periode Alexandrian menyaksikan perkembangan pesat dalam ilmu matematika, mekanika (Euclid, Archimedes), geografi, astronomi, anatomi, fisiologi, dan ilmu-ilmu lainnya.
[2] Ini merujuk pada Hipotesis Nebula, yang pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swedenborg (1688-1772) pada 1734 dan lalu disempurnakan oleh Immanuel Kant pada 1775. Hipotesis ini menyebutkan bahwa pada tahap awal, Tata Surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula, dan unsur gas yang sebagian besar hidrogen. Gaya gravitasi yang dimilikinya menyebabkan kabut itu menyusut dan berputar dengan arah tertentu, suhu kabut memanas, dan akhirnya menjadi bintang raksasa (matahari). Matahari raksasa terus menyusut dan berputar semakin cepat, dan cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling Matahari. Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet dalam dan planet luar.
[3] Pemberontakan Canut di Lyon, Prancis, pada 1831 adalah pemberontakan kelas buruh yang pertama. Pada 21 November ratusan buruh mogok dan turun ke jalan untuk menuntut kenaikan upah. Mereka membangun barikade dan menduduki kantor polisi. Mereka berhasil merebut kota Lyon pada 23 November setelah pertempuran berdarah-darah melawan pasukan pemerintah. Pemerintahan Prancis lalu mengirim 20.000 tentara untuk merebut kembali Lyon. Pada 3 Desember, kota Lyon berhasil direbut kembali oleh pemerintah.