Rakyat Jerman tidak mempunyai tradisi revolusioner sama sekali. Memang ada kalanya ketika Jerman menghasilkan tokoh-tokoh yang dapat menandingi orang-orang terbaik dalam revolusi-revolusi di negara-negara lainnya; ketika rakyat Jerman menunjukkan ketahanan dan energi yang, dalam suatu bangsa yang terpusat, akan mendatangkan hasil-hasil yang paling hebat; ketika para petani Jerman dan kaum plebeian lainnya penuh dengan ide dan rencana yang kerap kali dapat membuat keturunan mereka mengigil. (Plebeian = orang kebanyakan.)
Bertentangan dengan kelemahan di jaman ini, yang tampak ada di mana-mana setelah pergulatan selama dua tahun (sejak tahun 1848), sekarang sudah tepat waktunya untuk menunjukkan sekali lagi kepada rakyat Jerman tokoh-tokoh yang canggung tetapi perkasa dan gigih dalam perang tani akbar. Tiga abad telah lewat sejak waktu itu; meskipun demikian, perang tani itu tampaknya belumlah terlalu jauh terpisah dari pergulatan kita jaman ini, dan lawan-lawan yang harus kita hadapi pada hakikatnya masih tetap sama. Kelas-kelas dan kelompok-kelompok di dalam kelas-kelas, yang di mana-mana berkhianat dalam tahun 1848 dan 1849, sudah dapat dijumpai dalam peranannya sebagai pengkhianat sejak tahun 1524, meskipun pada tingkat perkembangan yang lebih rendah. Dan meskipun vandalisme atau perusakan yang hebat dari perang tani itu baru muncul dalam tahun-tahun terakhir dari gerakan tersebut secara sporadis, yaitu di Odenwald, di Rimba Hitam, dan di Silesia, namun hal itu sama sekali tidak menunjukkan adanya keunggulan dalam pemberontakan modern.
* * *
Pertama-tama, marilah kita ulas secara singkat situasi di Jerman pada awal abad ke-16.
Industri Jerman telah melalui proses pertumbuhan yang cukup besar dalam abad ke-15 dan ke-16. Industri setempat di daerah pedesaan feodal telah digantikan oleh organisasi produksi serikat sekerja di kota-kota, yang berproduksi untuk lingkaran-lingkaran lebih besar dan bahkan untuk pasar-pasar yang jauh. Menenun bahan mentah dari wol dan linen telah menjadi cabang jaringan industri yang berkedudukan kuat, dan bahkan kain linen dan wol yang lebih halus, termasuk juga sutera, sudah diproduksi di Augsburg. Selain pekerjaan menenun, muncul pula cabang-cabang industri, yang selain mendekati pekerjaan lebih halus, juga dibesarkan oleh permintaan akan barang-barang dari pihak pejabat awam maupun pejabat gereja di jaman pertengahan akhir: seperti kerajinan emas dan perak, ukir kayu dan patung, cukil kayu dan etsa, pembuatan baju besi, ukir medali, bubut kayu, dsb., dsb. Serangkaian penemuan yang sedikit banyak penting artinya dan yang memuncak pada penemuan mesiu dan percetakan ternyata telah banyak membantu perkembangan seni kerajinan. Perdagangan pun dapat mengimbangi kecepatan industri. Liga Hanseatis, dengan monopoli pelayaran lautnya yang sudah satu abad lamanya, telah berhasil membuat munculnya seluruh Jerman keluar sehingga terlepas dari barbarisme abad pertengahan; dan bahkan ketika, setelah akhir abad ke-16, Liga Hanseatis ini telah mulai tunduk dalam persaingan dengan Inggris dan Belanda, namun jalan raya perdagangan dari India ke utara masih dapat menembus sampai ke Jerman, walaupun sudah ada penemuan jalan dari Vasco da Gama. Augsburg masih tetap merupakan titik pemusatan yang besar untuk sutera Italia, rempah-rempah India, dan semua produk Levantin. Kota-kota dari Jerman hulu, yaitu Augsburg dan Nuernberg,merupakan pusat-pusat kemewahan dan barang-barang mewah yang luar biasa untuk waktu itu. Produksi bahan mentah juga telah mengalami kemajuan. Para penambang Jerman abad ke-16 telah menjadi ahli yang paling terampil di dunia, dan pertanian juga telah membuang kekasarannya dari jaman pertengahan melalui perkembangannya yang pesat dari kota-kotanya. Tidak hanya bentangan-bentangan tanah yang luas itu dibudidayakan, tetapi tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan warna dan berbagai budidaya impor lainnya pun juga diperkenalkan, yang pada gilirannya mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada bidang pertanian secara keseluruhannya.
Meskipun demikian, kemajuan produksi nasional di Jerman tidak mampu mengimbangi kemajuan negara-negara lainnya. Bidang pertanian ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan Inggris dan Belanda. Bidang industri ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan Italia, Flemish (Belgia utara dan barat), maupun Inggris, dan mengenai pelayaran laut, baik Inggris, dan terutama Belanda, telah melemparkan orang-orang Jerman keluar dari medan persaingan itu. Penduduk sangat jarang bergerak. Peradaban di Jerman hanya ada di berbagai tempat, yaitu di seputar pusat-pusat industri dan perdagangan; tetapi bahkan kepentingan dari pusat-pusat peradaban ini secara individual memiliki perbedaan yang besar, dengan titik persamaan yang nyaris tidak ada. Hubungan dagang dan pasar di selatan, yang berbeda dengan yang di utara; timur dan barat, hampir tidak mempunyai hubungan. Tidak ada kota yang tumbuh menjadi titik pusat industri dan perdagangan untuk seluruh negeri. Komunikasi internal nyaris secara eksklusif terbatas di sepanjang pantai maupun pelayaran sungai dan di beberapa jalan raya komersial besar, seperti yang dari Augsburg dan Nuernberg melalui Cologne ke Belanda, dan melalui Erfurt ke utara. Jauh dari sungai dan jalan raya perdagangan, terdapat sejumlah kota kecil yang, terpisah dari pusat perdagangn besar, melanjutkan kehidupannya yang lamban di dalam kondisi dari akhir jaman pertengahan, dengan hanya menggunakan sedikit bahan-bahan dari luar, sehingga hanya menghasilkan sedikit produk saja untuk ekspor. Mengenai penduduk pedesaan, hanya kaum bangsawan yang berhubungan dengan kalangan-kalangan yang luas dan keinginan-keinginan yang baru; sedangkan massa petani tidak pernah melangkah keluar dari batas-batas hubungan lokal maupun dari pandangan-pandangan lokal pula.
Di Inggris, maupun di Prancis, munculnya perdagangan dan industri telah menciptakan hubungan kepentingan di seluruh negeri. Sedangkan di Jerman, sentralisasi politik hanya berhasil mengelompokkan kepentingan berdasarkan provinsi dan di sekitar pusat-pusat yang semata-mata bersifat lokal. Ini artinya sama dengan desentralisasi yang belakangan mendapatkan momentumnya melalui penyingkiran Jerman dari perdagangan dunia. Pada tahapan ketika kerajaan feodal murni jatuh menjadi berkeping-keping, ikatan-ikatan persatuan menjadi melemah, para vasal yang nyaris berubah menjadi para pangeran yang merdeka, dan kota-kota kerajaan di satu pihak, sedangkan para ksatria dari kerajaan itu di lain pihak, membentuk persekutuan-persekutuan, baik untuk saling memusuhi, maupun untuk melawan para pangeran atau kaisar. (Vasal = pemilik tanah feodal besar yang setia dan tunduk kepada raja atau kaisar.) Kekuasaan kerajaan, yang sekarang menjadi tidak menentu posisinya itu, akhirnya terombang-ambing di antara berbagai unsur yang menentang kerajaan, sehingga senantiasa kehilangan kewibawaan; sedangkan usaha ke arah sentralisasi, seperti cara Louis XI, justru tidak menghasilkkan apa-apa, kecuali hanya menyatukan tanah-tanah warisan di Austria, meskipun hal ini baru dapat dicapai dengan segala macam intrik dan tindakan-tindakan kekerasan. Para pemenang akhirnya, yang tidak mampu mencegah kemenangan dalam kekacauan ini, dan dalam banyak konflik yang sangat kalut ini, adalah para wakil sentralisasi di tengah-tengah perpecahan, baik para wakil sentralisasi di tingkat provinsi maupun di tingkat local, para pangeran, yaitu mereka yang ada di samping kaisar yang kedudukannya semakin lama semakin merosot sehingga tidak lebih dari seorang pangeran di antara para pangeran lainnya.
Di bawah kondisi seperti ini, situasi kelas-kelas yang muncul dari jaman pertengahan pun sudah banyak berubah. Kelas-kelas baru telah terbentuk di samping kelas-kelas lama.
Dari kaum bangsawan lama muncullah para pangeran. Mereka ini nyaris sudah merdeka dari kaisar, dan memiliki sebagian besar dari hak-hak seorang pangeran. Mereka dapat mengumumkan perang dan membuat perdamaian atas kemauan mereka sendiri, mereka tetap mempertahankan pasukan yang permanen, memanggil dewan lokal untuk bersidang, dan memungut pajak. Mereka telah menempatkan di bawah kekuasaannya sebagian besar dari kota-kota maupun kaum bangsawan yang lebih rendah dari dirinya, mereka melakukan apa saja dengan kekuasaan mereka untuk menggabungkan ke dalam tanah mereka semua kota dan para bangsawan lainnya yang masih tetap ada di bawah kaisar. Terhadap kota-kota dan para bangsawan seperti itu, mereka tampaknya memainkan peranan sebagai sentralisator. Sedangkan, sejauh yang berkaitan dengan kepentingan kaisar, mereka merupakan faktor desentralisasi. Secara internal, pemerintahan mereka sudah bersifat otokratis, sehingga mereka baru memanggil kelas-kelas dalam daerah kekuasaannya apabila mereka benar-benar tidak dapat melakukannya tanpa kelas-kelas itu. Mereka memungut pajak, dan mengumpulkan uang begitu mereka menganggapnya perlu. Hak-hak dari kelas-kelas itu untuk meratifikasi atau menyetujui pajak jarang atau tidak diakui, apalagi dipraktekkan. Dan bahkan apabila kelas-kelas itu dipanggil, para pangeran ini biasanya memiliki mayoritas, berkat para ksatria dan para uskup atau para pejabat gereja setingkat uskup yang merupakan dua kelas, yang dibebaskan dari pajak, tetapi ikut menikmatinya. Kebutuhan para pangeran akan uang ini menjadi semakin bertambah karena meningkatnya selera untuk memiliki barang mewah, meningkatnya jumlah istana dan pasukan yang tetap, serta meningkatnya biaya administrasi. Akibatnya pajak semakin lama semakin menekan. Kota-kota, dalam banyak hal, dilindungi dengan hak-hak istimewa, sehingga seluruh beban pajak ditimpakan ke pundak mereka yang menjadi petani, mereka yang ada di bawah para pangeran itu sendiri, termasuk mereka yang menjadi hamba maupun orang yang terikat pada para ksatria dan diikat melalui para vasal ke para pangeran; sedangkan apabila pajak langsung tidak mencukupi, maka pajak tak langsung diperkenalkan; mesin paling terampil dalam bidang keuangan pun digunakan untuk mengisi lubang-lubang pada sistem fiskalnya. (Vasal = pemilik tanah feodal besar yang setia dan tunduk kepada raja atau kaisar.) Apabila sudah tidak ada lagi lainnya yang dapat dimanfaatkan, apabila sudah tidak ada lagi lainnya yang dapat digadaikan, dan tidak ada kota milik kaisar yang bersedia untuk memberikan sumbangan lagi, maka mereka pun mulai melakukan manipulasi uang dari bahan yang paling rendah, mulai mencetak uang dengan nilai yang diturunkan, mulai menetapkan kurs uang resmi yang lebih tinggi atau lebih rendah dan yang paling menguntungkan buat pangeran. Perdagangan di kota dan di tempat-tempat lainnya yang ada hak istimewanya, dan yang akhirnya dirampas dengan kekerasan, agar dapat dijual lagi, termasuk perampasan setiap usaha yang dianggap sebagai oposisi dengan kedok kebakaran, perampokan, dan sejenisnya, dsb., dsb., semuanya itu sumber pendapatan yang sangat lazim dan menguntungkan bagi para pangeran di jaman itu. Penegakan keadilan juga merupakan barang dagangan yang pasti dan bukannya tidak penting bagi para pangeran. Singkatnya, rakyat atau para kawula yang, selain para pangeran, harus memenuhi kebutuhan selera pribadi para pejabat, termasuk para pegawainya itu, juga harus sepenuhnya menyukai selera sistem “kebapakan’ ini. Mengenai hierarki feodal jaman pertengahan, kaum ksatria yang kepemilikannya sederhana saja itu nyaris sudah hilang sama sekali; di antara mereka ada yang berhasil naik ke posisi para pangeran kecil yang merdeka, atau malahan tenggelam ke posisi bangsawan rendahan. Kaum ksatria yang termasuk bangsawan rendahan ini dengan cepat bergerak ke arah kepunahan. Sedangkan bagian terbesar dari mereka ini telah menjadi miskin, dan hidup untuk melayani raja, baik dalam kapasitasnya sebagai sipil maupun militer; sebagian lainnya diikat oleh kekuasaan raja melalui para vasal; sedangkan bagian lainnya yang sangat kecil ada di bawah kaisar secara langsung. Perkembangan ilmu militer, semakin pentingnya infantri (pasukan tentara yang berjalan kaki), tersebarnya senjata api, dsb., semuanya itu membuat mengecilnya arti penting militer dalam bentuk kavaleri atau pasukan berkuda yang berat, dan yang sekaligus menghancurkan keperkasaan istana-istana mereka. Para ksatria pun telah menjadi berlimpah akibat kemajuan industri, tepat seperti para tukang yang telah menjadi tersingkir akibat kemajuan yang sama. Kebutuhan akan uang yang menakutkan dari kaum ksatria pun sangat menambah kehancuran mereka. Kemewahan hidup di istana, persaingan dalam kehebatan pada setiap pertandingan dan pesta, harga persenjataan dan kuda, semuanya itu meningkat seiring dengan kemajuan peradabannya, sementara sumber pendapatan para ksatria dan para bangsawan, sedikit saja kenaikannya, kalau pun ada. Permusuhan, yang diiringi penjarahan dan pembakaran, penyergapan, dan kesibukan lainnya dari kaum bangsawan di jaman ini, menjadi sangat berbahaya. Pembayaran uang tunai para ksatria dari rakyat yang dibawa masuk itu nyaris tidak melebihi sebelumnya. Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat itu, para bangsawan pun menggunakan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh para pangeran; sehingga para petani pun dijadikan sasaran perampokan oleh para bangsawan dengan kemahiran yang makin hebat setiap tahunnya. Para petani hamba diperas sampai kering. Para budak atau orang-orang terikat itu dibebani keharusan membayar berbagai jenis kewajiban yang senantiasa diperbarui pada setiap peristiwa yang memungkinkan. Kerja paksa, iuran, sewa tanah, pajak penjualan tanah, pajak kematian, uang perlindungan, dsb., semuanya itu dinaikkan semau-maunya dengan mengabaikan perjanjian apa pun sebelumnya. Keadilan tidak ditegakkan, atau bahkan dijual untuk mendapatkan uang, dan apabila seorang ksatria tidak dapat memperoleh uang dari petaninya, maka ia pun tidak mau repot-repot dan akan melemparkan petani itu ke menara istana, dan memaksanya untuk membayar uang tebusan.
Terhadap kelas-kelas lainnya, para bangsawan rendahan ini juga tidak membuat hubungan yang bersahabat. Para ksatria yang menjadi vasal pangeran berusaha keras untuk menjadi vasal kaisar; sedangkan para vasal kaisar berusaha keras untuk menjadi merdeka. Hal ini menimbulkan konflik dengan pangeran yang tidak ada henti-hentinya. Para ksatria menganggap para pejabat gereja dengan kemegahan yang gemerlapan itu sebagai kelas yang berkuasa dan berlimpah. Mereka iri karena tanah miliknya yang luas dan kekayaannya tetap dijamin aman oleh keadaan selibat atau tidak kawin dan juga oleh undang-undang gereja. Terhadap kota-kota, para ksatria ini senantiasa ada di jalan perang; mereka memerlukan uangnya; mereka makan dari menjarah wilayahnya, dengan merampok para pedagangnya, dengan menuntut uang tebusan yang harus dibayar untuk para tawanan yang tertangkap dalam penyerangan. Pergulatan para ksatria dengan semua kelas ini menjadi semakin hebat begitu kelas-kelas itu mulai menyadari bahwa masalah uang merupakan masalah hidup dan mati bagi mereka.
Para pejabat gereja, dan para wakil dari ideologi feodalisme jaman pertengahan, telah merasakan pengaruh transformasi historis yang tidak kalah hebatnya. Penemuan seni cetak, dan tuntutan perluasan perdagangan, telah merampok para pejabat gereja tidak hanya dari monopolinya dalam membaca dan menulis, tetapi juga dari monopolinya dalam pendidikan tinggi. Pembagian kerja juga diperkenalkan dalam bidang kerja intelektual. Kelas ahli hukum yang baru saja muncul telah menggusur para pejabat gereja dari sederetan kedudukan yang sangat berpengaruh itu. Para pejabat gereja juga mulai menjadi terlalu berlimpah ruah, dan mereka mengakui kenyataan ini sehingga menjadi semakin malas dan semakin tidak peduli. Semakin menjadi melimpahnya mereka, semakin bertambah pula jumlahnya, berkat banyaknya orang kaya yang masih terus meningkatkannya dengan cara yang baik atau jahat.
Para pejabat gereja ini terbagi menjadi dua kelompok yang jelas. Hierarki feodal dari para pejabat gereja telah membentuk aristokrasi — uskup dan uskup agung, biarawan, kepala biarawan, dan para pejabat gereja lainnya. Para pembesar gereja yang berkedudukan tinggi ini adalah para pangeran sendiri, atau mereka memerintah sebagai vasal dari para pangeran lainnya atas daerah yang sangat luas dengan hamba dan budak atau orang terikat yang banyak sekali jumlahnya. Mereka tidak hanya menghisap rakyatnya dengan cara yang sama cerobohnya dengan para ksatria maupun para pangeran, tetapi mereka juga melakukan hal ini dengan cara yang bahkan lebih memalukan lagi. Mereka tidak hanya menggunakan kekerasan yang kejam, tetapi juga menggunakan intrik-intrik agama; tidak hanya kengerian alat penyiksa, tetapi juga kengerian ekskomunikasi atau pengucilan dari gereja, atau ditolak pengampunannya; mereka menggunakan semua kerumitan pengakuan dosa untuk mengambil paksa dari rakyatnya sampai sen terakhir yang dimilikinya, atau untuk memperluas tanah milik gereja. Memalsukan dokumen merupakan cara yang luas dan sangat disukai di tangan orang-orang terhormat itu, yang, setelah menerima dari rakyatnya, baik yang berupa pembayaran feodal, pajak, maupun pungutan hasil panen, masih juga terus membutuhkan uang. Pembuatan relik dan efigi dari orang-orang suci yang menampakkan mukjizat, organisasi dari pusat-pusat tempat ibadah yang dianugerahi kekuatan penyelamatan, perdagangan surat pengampunan dosa, semuanya ini dikeluarkan atau dilakukan untuk memeras lebih banyak uang dari rakyatnya. (Relik = jimat, pusaka, bagian tubuh atau pakaian orang suci yang disimpan setelah meninggal; efigi = gambar atau tiruan orang.) Semuanya ini sudah lama dipraktekkan dan tidak kecil hasilnya.
Para uskup atau para pejabat gereja lainnya, dan pasukan biarawan mereka yang banyak jumlahnya, dan yang berkembang dengan menyebarnya pemberian umpan agama maupun politik, akhirnya menjadi sasaran kebencian tidak hanya dari rakyat, tetapi juga dari kaum bangsawan. Karena langsung ada di bawah kaisar, maka para uskup atau para pejabat gereja akhirnya juga menjadi penghalang para pangeran. Kehidupan yang cepat dari para biarawan dan para uskup yang gemuk dengan pasukan biarawan mereka, telah menimbulkan kecemburuan kaum bangsawan dan kemarahan rakyat yang memikul beban. Kebencian itu diperhebat lagi oleh adanya kenyataan bahwa perilaku para pejabat gereja itu merupakan tamparan keras terhadap khotbah mereka sendiri.
Faksi kaum plebeian di kalangan para pejabat gereja ini terdiri dari para pastor juru khotbah, baik di desa maupun di kota. (Plebeian = orang kebanyakan.) Para pastor juru khotbah ini ada di luar hierarki feodal gereja dan tidak ikut serta menikmati kekayaannya. Kegiatan mereka tidak dikendalikan secara ketat dan, meskipun mereka ini penting artinya untuk gereja, tetapi mereka ini pada saat itu dianggap sangat tidak penting jika dibandingkan dengan para biarawan yang tinggal di barak dan bertugas seperti polisi itu. Akibatnya, mereka ini dibayar jauh lebih sedikit daripada para biarawan itu, dan gajinya pun jauh dari menguntungkan. Karena berasal dari kaum plebeian atau dari kelas menengah, maka mereka ini pun menjadi lebih dekat dengan kehidupan massa, sehingga mampu mempertahankan simpatinya kepada kaum plebeian maupun dari kelas menengah, walau pun mereka berkedudukan sebagai pejabat gereja. Kalau keikutsertaan para biarawan dalam gerakan pada waktu itu merupakan perkecualian, namun keikutsertaan para pejabat gereja yangt berasal dari kaum plebeian justru merupakan prinsip. Mereka memberikan sumbangannya kepada gerakan itu berupa ahli-ahli teori dan ideologi, dan banyak dari mereka, dan para wakil dari kaum plebeian maupun dari para petani, yang dihukum mati. Sehingga kebencian massa terhadap para pejabat greja itu jarang menyentuh kelompok ini.
Kedudukan kaisar terhadap para pangeran dan kaum bangsawan itu seperti kedudukan paus terhadap para pejabat gereja yang tinggi dan yang rendah. Karena kaisar menerima “uang umum”, atau pajak kaisar, maka paus dibayar dengan pajak gereja umum, yang kemudian digunakan untuk membayar biaya pengeluaran istana di Roma yang mewah itu. Tidak ada di negara mana pun yang pajaknya dikumpulkan dengan cara yang keras dan rajin seperti di Jerman ini, akibat kekuasaan dan jumlah para pejabat gerejanya yang besar. Pendapatan tahun pertama dari wilayah gereja dan wilayah keuskupan untuk paus dikumpulkan dengan kekerasan yang istimewa ketika kas kantor keuskupan menjadi kosong. Dengan berkembangnya tuntutan kebutuhan di istana, maka cara-cara baru untuk meningkatkan pendapatan pun ditemukan, seperti lalulintas relik dan surat pengampunan dosa, koleksi jubilee, dsb. . (Relik = jimat, pusaka, bagian tubuh atau pakaian orang suci yang disimpan setelah meninggal; jubilee = ulang tahun yang ke-25 atau 50.) Dengan demikian, uang dalam jumlah besar dikirimkan setiap tahunnya dari Jerman ke Roma, sehingga tekanan yang meningkat pun tidak hanya sangat menambah kebencian terhadap para pejabat gereja, tetapi juga membangkitkan perasaan nasional, terutama di kalangan kaum bangsawan, dan kemudian hampir semua kelas secara keseluruhan.
Di kota-kota, pertumbuhan perdagangan dan kerajinan tangan melahirkan tiga kelompok yang berbeda kewarganegaraan yang semula ada di jaman pertengahan.
Penduduk kota dikepalai oleh keluarga-keluarga patrician, yang disebut “yang terhormat”. (Patrician = keturunan bangsawan Roma.) Mereka ini keluarga-keluarga orang kaya. Mereka sendiri duduk di dewan, dan memegang jabatan di kantor-kantor kota. Mereka tidak hanya mengurus semua pendapatan kota, tetapi juga memanfaatkannya untuk dirinya. Kekokohan dalam kekayaan, dan dalam status aristokrasi mereeka sejak jaman purba itu, diakui oleh kaisar dan kekaisaran, sehingga mereka, dengan berbagai cara yang memungkinkan, mengeksploitasi masyarakat kota, termasuk para petani yang ada di wilayah kekuasaan kota itu. Mereka juga melakukan praktek lintah darat dalam bentuk uang maupun biji-bijian; mereka berangsur-angsur merampas setiap hak masyarakat untuk menggunakan hutan dan padang rumput milik kota, dan langsung memanfaatkan semuanya itu untuk kepentingan pribadi. Mereka mengenakan pembayaran dan pajak lainnya pada jalan, jembatan, dan pintu gerbang kota; mereka menjual hak istimewa milik serikat sekerja dan perdagangan, hak warga maupun ahli; dan mereka juga memperdagangkan keadilan. Para petani di daerah perkotaan itu diperlukan oleh mereka tanpa pertimbangan apapun seperti yang dilakukan oleh kaum bangsawan dan oleh para pejabat gereja. Sebaliknya, para pejabat, termasuk para pegawainya, yang kebanyakan dari keluarga patrician, dibawa ke desa-desa, bersama-sama dengan ketamakan dan kekakuan aristokratisnya, termasuk ketepatan waktu birokratisnya pada tingkat tertentu dalam mengumpulkan pajak. Dengan demikian, pendapatan kota diurus dengan cara yang benar-benar semau-maunya; dan pembukuan untuk keperluan kota pun dilakukan dengan sekacau dan selalai mungkin; penipuan dan defisit keuangan sudah merupakan acara kerja sehari-hari. Betapa mudahnya bagi sebuah kasta yang relatif kecil, yang dilimpahi dengan segala macam hak istimewa, dan dikuasai bersama oleh ikatan keluarga dan ikatan masyarakat dengan berbagai kepentingannya, untuk memperkaya diri sebanyak-banyaknya dari pendapatan kota itu, akan dapat dipahami apabila orang mengetahui banyaknya penipuan dan pengecohan yang disaksikan di banyak pemerintahan kota dalam tahun 1848.
Kaum patrician tidak pernah lalai dalam membuat tidur hak-hak masyarakat kota di mana pun juga, terutama mengenai masalah keuangannya. Belakangan, ketika pemerasan dari para bangsawan yang terhormat ini menjadi terlalu kejam, maka masyarakat pun memulai suatu gerakan untuk sekurang-kurangnya menempatkan administrasi kota itu ada di bawah kendali masyarakat. Di banyak kota, masyarakat benar-benar mendapatkan haknya, tetapi berkat, di satu pihak, pertengkaran abadi di antara serikat-serikat sekerja dan, di lain pihak, kegigihan kaum patrician dan perlindungan yang mereka peroleh dari kaisar dan dari semua pemerintahan kota-kota yang bersekutu, maka para anggota dewan dari kaum patrician pun segera mengembalikan, baik dengan kecerdikan maupun dengan kekerasan, dominasi mereka di dewan-dewan itu. Pada awal abad ke-16, masyarakat dari semua kota pun lagi-lagi beroposisi. (Patrician = keturunan bangsawan Roma.)
Oposisi kota terhadap kaum patrician ini terbagi menjadi dua faksi yang menonjol dengan sangat jelas selama perang tani.
Oposisi kelas menengah, yang merupakan pendahulu dari kaum liberal modern di jaman kita itu, mencakup kelas menengah kaya, kelas menengah moderat, dan unsur-unsur miskin yang sedikit banyak jumlahnya lumayan, sesuai dengan kondisi setempat. Oposisi ini menuntut pengendalian atas administrasi kota dan juga menuntut partisipasinya dalam kekuasaan legislatif, baik melalui sidang umum atau melalui perwakilan (dewan raya, komite kota). Selanjutnya mereka juga menuntut perubahan kebijakan kaum patrician yang hanya menguntungkan beberapa keluarga, yaitu keluarga-keluarga yang telah memperoleh kedudukan istimewa di dalam kelompok kaum patrician. Selain semuanya ini, oposisi kelas menengah juga menuntut pengisian beberapa kantor dewan oleh warga dari kelompok mereka sendiri. Kelompok ini, yang di sana-sini didukung oleh unsur-unsur yang tidak puas dan yang jatuh miskin, memiliki mayoritas besar dalam semua serikat sekerja maupun dalam semua sidang umum biasa dari masyarakat kota. Sedangkan kelompok oposisi yang lebih radikal beserta para pendukungnya di dewan hanya membentuk kelompok minoritas di kalangan warga kota yang sebenarnya.
Kita akan melihat, selama abad ke-16, kelompok oposisi moderat, ”patuh pada hukum”, kaya dan intelek ini, secara tepat memainkan peranan yang sama dan dengan sukses yang secara tepat sama pula seperti pewarisnya, partai konstitusional, dalam gerakan tahun 1848 dan 1849. Oposisi kelas menengah masih mempunyai sasaran protes lainnya yang memanas: yaitu, pejabat gereja, yang kebiasaannya bermewah-mewah dan gaya hidupnya longgar, telah membangkitkan kebencian yang sengit. Oposisi kelas menengah menuntut tindakan-tindakan terhadap tingkah laku memalukan dari orang-orang yang termasyhur itu. Mereka juga menuntut agar yurisdiksi atau kekuasaan hukum dari pejabat gereja dan hak untuk memungut pajak itu dihapuskan saja, dan agar jumlah biarawan juga dibatasi.
Oposisi kaum plebeian terdiri atas para anggota kelas menengah yang telah mengalami kebangkrutan dan massa penduduk kota yang tidak memiliki hak kewarganegaraan: seperti para musafir, buruh harian, dan lapisan bawah masyarakat yang banyak jumlahnya dan akan menjadi lumpenproletariat, yang dapat dijumpai bahkan pada tahap perkembangan kehidupan kota yang paling rendah sekali pun. (Musafir = orang-orang yang sedang melakukan perjalanan; Plebeian = orang kebanyakan; Lumpenproletariat = sampah masyarakat atau unsur-unsur busuk dari semua kelas.) Proletariat tingkat bawah ini pada umumnya merupakan gejala yang, dalam bentuknya yang sedikit banyak telah berkembang, dapat dijumpai dalam semua fase masyarakat, terus diamati sampai sekarang ini. Jumlah orang yang tanpa pekerjaan pasti dan tanpa tempat tinggal tetap ini, pada waktu itu, secara berangsur-angsur semakin meningkat akibat membusuknya feodalisme dalam masyarakat yang setiap pekerjaan, dan setiap bidang kehidupan, dikelilingi oleh kubu pertahanan yang kuat berupa sejumlah hak-hak istimewa. Tidak ada negara modern mana pun yang jumlah orang gelandangannya begitu banyak seperti Jerman, pada paruh pertama abad ke-16 ini. Sebagian dari orang gelandangan ini menjadi tentara di masa perang, sebagian lainnya meminta-minta dengan menelusuri jalan-jalan di seluruh negeri ini, yang sepertiga bagian lainnya dengan susah payah mencari penghidupan yang serba kekurangan sebagai buruh harian di cabang-cabang pekerjaan yang tidak ada di bawah daerah kekuasaan serikat sekerja. Semua kelompok ini memainkan peranannya dalam perang tani; yang pertama, bergabung dalam pasukan milik pangeran di mana para petani tunduk juga kepada pangeran; yang kedua, bergabung dalam komplotan rahasia atau bergabung dalam pasukan petani di mana pengaruhnya yang menunjukkan keruntuhan moral tampak setiap saat; yang ketiga, bergabung dalam berbagai partai di kota-kota. Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa sebagian besar dari kelas ini, yaitu, yang tinggal di kota-kota, masih tetap mempertahankan landasan watak petaninya yang kuat, dan belum berkembang sampai ke tingkat venalitas dan degradasi yang merupakan ciri khas dari kaum proletariat tingkat rendah di jaman berperadaban modern sekarang ini. (Venalitas = keadaan dapat disuap atau dapat disuruh melakukan kejahatan apa pun asal diberi uang; Degradasi = keadaan jatuhnya kehormatan atau harga diri.)
Jelaslah bahwa oposisi plebeian di kota-kota itu campur aduk sifatnya. Oposisi ini menggabungkan unsur–unsur masyarakat serikat sekerja dan feodal lama yang bangkrut dengan unsur–unsur kaum proletar yang mulai berkembang dari masyarakat borjuis modern yang baru muncul; di satu pihak, warga kota dari serikat sekerja yang jatuh miskin, yang, berkat hak-hak istimewanya, masih melekat pada kelompok kelas menengah yang ada; sedangkan di pihak lainnya, para petani yang tergusur dan para mantan pejabat, yang meskipun tidak lagi mempunyai kedudukan apa pun, namun belum mampu menjadi proletar. Di antara kedua kelompok ini adalah para musafir, yang sekarang ini ada di luar masyarakat resmi, dan begitu dekatnya dengan standar hidup proletariat, seperti yang mungkin terjadi di bawah industri pada jaman itu, maupun di bawah hak-hak istimewa serikat sekerja, kecuali, berkat hak-hak istimewa yang sama, mereka ini hampir semuanya merupakan calon tukang ahli kelas menengah. Afiliasi partai dari campuran ini, tentu saja, sangat tidak menentu, dan bervariasi dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Sebelum perang tani, kelompok oposisi kaum plebeian muncul dalam berbagai pergulatan politik, bukan sebagai sebuah partai, tetapi sebagai kelompok oposisi ujung belakang yang tamak dan berteriak-teriak sampai kelompok oposisi kelas menengah, yaitu, gerombolan orang banyak yang dapat dibeli maupun dijual dengan harga beberapa tong anggur. Ini merupakan pemberontakan para petani yang mengubah bentuk mereka menjadi partai, dan bahkan kemudian di mana pun mereka nyaris tergantung kepada para petani, baik dalam tuntutan maupun dalam aksi — suatu bukti dari adanya kenyataan bahwa kota-kota pada waktu itu memang sangat tergantung pada daerah pedesaan. Sejauh kelompok oposisi dari kaum plebeian bergerak sendirian, tuntutannya adalah perluasan hak istimewa perdagangan di kota hingga sampai ke distrik-distrik di pedesaan, dan mereka ingin melihat pendapatan kota itu dipotong oleh hapusnya beban feodal di daerah pedesaan yang menjadi wilayah kekuasaan kota, dsb. Singkatnya, sejauh kelompok ini bergerak sendirian, maka wataknya adalah tetap revolusioner. Mereka menyerah pada unsur-unsur kelas menengahnya sendiri, sehingga dengan demikian menciptakan tokoh cerita prolog ke komedi tragis yang ditampilkan di panggung oleh borjuis kecil modern selama tiga tahun terakhir ini di bawah judul demokrasi.
Hanya di Thuringia dan di beberapa tempat lainnya faksi kaum plebeian di kota dilakukan dengan badai pemberontakan umum sampai batas tertentu hingga unsur-unsur embrio proletarnya dalam waktu singkat mendapatkan kemenangan di atas semua faktor lainnya dari gerakan itu. (Plebeian = orang kebanyakan.) Ini terjadi di bawah pengaruh langsung dari Muenzer di Thuringia, dan dari para muridnya di tempat-tempat lainnya. Episode ini, yang membentuk klimaks dari seluruh perang tani, dan berkerumun di seputar tokoh Thomas Muenzer yang hebat itu, merupakan rentang waktu yang sangat singkat. Mudahlah dipahami mengapa unsur-unsur ini runtuh lebih cepat daripada yang lain-lainnya, mengapa gerakan mereka membawa cap yang lantang, dan fantastis, dan mengapa pernyataan-pernyataan dari tuntutan mereka secara ekstrem harus samar-samar. Hal itu terjadi karena memang kelompok inilah yang landasannya paling tidak kokoh dalam kondisi yang ada pada waktu itu.
Di bagian paling bawah dari semua kelas ini, kecuali yang terakhir, adalah massa yang paling tertindas dari bangsa ini, yaitu para petani. Para petanilah yang memikul beban dari semua lapisan masyarakat: para pangeran, para pejabat kerajaan, para bangsawan, para pejabat gereja, kaum patrician, dan kelas menengah. (Patrician = keturunan bangsawan Roma.) Apakah petani itu merupakan rakyat atau kawula di bawah kekuasaan pangeran, bangsawan kaisar, uskup, biara, atau kota, namun di mana-mana ia diperlakukan sebagai binatang penarik beban, atau bahkan lebih buruk lagi. Apabila ia seorang hamba, ia sepenuhnya tergantung pada belas kasihan majikannya. Apabila ia seorang budak atau orang terikat, pengiriman yang sah seperti ditetapkan dalam perjanjian pun sudah cukup untuk membinasakannya; bahkan sekali pun pengiriman itu ditingkatkan setiap harinya. Selama hampir seluruh waktunya, ia harus bekerja di tanah milik majikannya. Di luar itu, di mana ia mencari uang dalam waktu luangnya, ia diharuskan membayar pungutan hasil panen, iuran, sewa tanah, pajak perang, pajak tanah, pajak kaisar, dan berbagai pembayaran lainnya. Ia tidak dapat kawin atau pun mati tanpa membayar majikannya. Selain pekerjaan tetap untuk majikannya, ia juga harus mengumpulkan jerami, memetik buah arbei, memetik buah bilberi, mengumpulkan rumah siput, menggiring binatang buruan untuk majikannya yang berburu, membelah kayu bakar, dsb. Mencari ikan dan berburu adalah untuk majikannya. Sudah biasa petani melihat tanamannya dihancurkan oleh binatang buas buruan majikannya. Hutan dan padang rumput milik masyarakat petani hampir di mana-mana dirampas secara paksa oleh para majikan ini. Dan dengan cara yang sama, majikan, menguasai hak milik petani ini, juga memaksakan keinginannya atas petani itu, beserta isteri dan anak-anak perempuannya. Ia memiliki hak dari malam pertamanya. Kapan pun ia menyukainya, ia melemparkan petani itu ke menara, di mana alat penyiksa menunggunya secara pasti seperti jaksa penyelidik yang menunggu seorang penjahat di jaman kita. Kapan pun ia menyukainya, ia dapat membunuhnya, atau menyuruh orang untuk memenggal kepalanya. Tidak ada bab-bab yang berisi instruksi dari Carolina yang menyebutkan tentang “pemotongan telinga”, “pemotongan hidung”, “pembutaan mata”, “pemotongan jari tangan”, ”penjepitan dengan tang membara”, “pemotongan menjadi empat”, dsb., yang dibiarkan tidak dilakukan oleh majikan dan bangsawan yang pemurah itu sesuka hatinya. Siapa yang dapat membela petani? Semua pengadilan diduduki oleh para bangsawan, para pejabat gereja, para patrician, atau para ahli hukum, yang tahu benar untuk apa mereka dibayar. Tidak sia-sia kalau semua kelas penguasa pendukung kaisar ini hidup dari menghisap kaum petani.
Meskipun terbakar oleh penindasan yang mengerikan ini, namun masih sulit membangkitkan para petani ini untuk berontak. Karena tersebar di daerah yang sangat luas, maka sangat sulitlah bagi mereka untuk sampai pada pemahaman yang sama; kebiasaan lama untuk menyerah yang diwarisi dari generasi ke generasi, kurangnya praktek dalam menggunakan senjata api di banyak daerah, tingkat eksploitasi yang tidak sama, yang tergantung pada kepribadian majikannya, semuanya itu bergabung menjadi satu dan membuat petani diam. Karena alasan-alasan inilah, meskipun pemberontakan-pemberontakan lokal dari para petani dapat dijumpai di jaman pertengahan dalam jumlah sangat besar, namun tak satu pun revolusi petani yang bersifat nasional dan umum, sekurang-kurangnya di Jerman, yang dapat diamati sebelum perang tani. Lagi pula, para petani sendiri tidak pernah melakukan revolusi selama mereka dihadapi oleh kekuasaan yang terorganisasi dari para pangeran, para bangsawan, dan kota-kota. Hanya melalui persekutuan dengan kelas-kelas lainnya sajalah, mereka akan dapat mempunyai kesempatan untuk menang. Tetapi, bagaimana mereka dapat bersekutu dengan kelas-kelas lainnya apabila mereka juga dieksploitasi oleh semua kelas-kelas itu?
Pada awal abad ke-16, berbagai kelompok dari kaisar, para pangeran, para bangsawan, para pejabat gereja, kaum patrician, kelas menengah, kaum plebeian, dan para petani, membentuk massa yang sangat rumit dengan persyaratan-persyaratan yang juga sangat bervariasi, dan yang saling menyilang satu sama lain ke berbagai arah yang berbeda-beda pula. (Patrician = keturunan bangsawan Roma; Plebeian = orang kebanyakan.) Setiap kelompok dari berbagai kelompok ini saling menghalangi satu sama lain, dan senantiasa saling berselisih dengan setiap kelompok lainnya dalam suatu pergulatan secara terbuka maupun tertutup. Pecahnya seluruh negeri menjadi dua kubu utama, seperti yang pernah disaksikan orang di Prancis pada pecahnya revolusi pertama, dan seperti pada pernyataan pada saat sekarang pada tahap perkembangan yang lebih tinggi di sebagian besar negara yang progresif, dalam kondisi yang seperti itu, mutlak merupakan suatu ketidakmungkinan. Sesuatu yang mendekati perpecahan semacam itu hanya terjadi ketika lapisan penduduk yang paling bawah, yaitu para petani dan kaum plebeian, yang tereksploitasi oleh semua lapisan yang lainnya, bangkit. Kekusutan dari banyak kepentingan, pandangan, dan upaya di jaman itu, akan mudah dipahami apabila orang ingat bagaimana kekacauan diungkapkan selama dua tahun terakhir dalam suatu masyarakat yang jauh kurang rumit dan hanya terdiri atas bangsawan feodal, borjuasi, borjuasi kecil, petani, dan proletariat.