“Nilai ( marketable value = nilai yang dapat dipasarkan/nilai pasar/nilai jual) merupakan batu pertama/dasar struktur ekonomi.” Nilai “bentukan” adalah batu pertama/dasar sistem kontradiksi-kontradiksi ekonomi.
Lalu, apakah “nilai bentukan” ini, yang adalah yang ditemukan M. Proudhon dalam ekonomi-politik?
Sekali kegunaan diakui, maka kerja adalah sumber nilai. Ukuran kerja adalah waktu. Nilai relatif produk-produk ditentukan oleh waktu kerja yang diperlukan bagi produksi mereka. Harga adalah ungkapan moneter dari nilai relatif sebuah produk. Akhirnya, “nilai bentukan” sesuatu produk adalah semurninya dan sederhananya nilai yang dibentuk oleh waktu kerja yang terwujudkan di dalamnya.
Presis sebagaimana Adam Smith menemukan “pembagian kerja,” demikian ia, M. Proudhon, mengklaim telah menemukan “nilai bentukan.” Ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh/luar biasa, tetapi, yah, mesti diakui bahwa tiada sesuatu yang aneh/yang luar biasa” dalam setiap penemuan ilmu ekonomi. M. Proudhon, yang sepenuhnya menghargai arti penting penemuannya sendiri itu, betapapun berusaha berendah-hati mengenai kehebatannuya itu “untuk meyakinkan para pembaca mengenai klaimnya akan keasliannya, dan untuk meyakinkan pikiran-pikiran yang sifat-takut-takutnya membuat mereka bersikap enggan terhadap gagasan-gagasan baru.” Tetapi di dalam membagikan secara adil sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh setiap pendahulunya pada pemahaman akan nilai, ia terpaksa secara terbuka mengakui bahwa bagian terbesarnya, yaitu bagian utama jasa itu, terpulangkan pada dirinya sendiri.
“Ide sintetik mengenai nilai secara samar-samar telah difahami oleh Adam Smith ... Tetapi dengan Adam Smith gagasan mengenai nilai ini sepenuhnya bersifat intuitif. Nah, masyarakat itu tidak mengubah kebiasaan-kebiasaannya hanya atas dasar intuisi-intuisi: ketentuan-ketentuannya hanya dibuat berdasarkan kewenangan fakta. Antinomi itu mesti dinyatakan secara lebih tegas dan lebih jelas; J. B. Say adalah penafsir utamanya.” [I 66]
Inilah, singkatnya, sejarah penemuan mengenai nilai sintetik: Adam Smith – intuisi samar-samar; J.B. Say – antinomi; M. Proudhon – membentuk dan kebenaran “bentukan.” Dan jangan sampai salah mengenai hal itu: semua ahli ekonomi lainnya, dari Say hingga Proudhon, cuma berjalan terseok-seok dalam kebiasaan-kebiasaan antinomi. “Sungguh sulit dipercaya bahwa selama empat-puluh tahun terakhir ini, begitu banyak orang berakal sehat bersungut- sungut dan berkeluh-kesah mengenai suatu gagasan sederhana seperti itu. Tetapi, tidak, nilai-nilai diperbandingkan tanpa adanya satupun titik perbandingan di antara mereka dan tanpa satuan ukuran; ini, daripada menganut teori revolusioner mengenai persamaan, adalah yang para ahli ekonomi dari abad ke sembilan-belas bertekad pertahankan terhadap semua pendatang. Apakah yang akan dikatakan anak-cucu kita mengenai itu?” (Vol.I, hal. 68)
Anak-cucu, dituntut secara mendadak begitu, akan mulai menjadi kacau mengenai kronologi itu. Keturunan tidak bisa tidak bertanya pada diri sendiri: bukankah Ricardo dan alirannya ahli-ahli ekonomi dari abad ke sembilan-belas? Sistem Ricardo, yang menegakkan sebagai suatu azas bahwa nilai relatif barang-barang dagangan secara khusus bersesuaian dengan jumlah kerja yang diperlukan untuk produksinya, berasal dari tahun 1817. Ricardo adalah kepala dari seluruh aliran yang dominan di Inggris sejak Restorasi.[11] Doktrin Ricardian dengan keras, dengan tanpa-ampun mengikhtisarkan seluruh borjuasi Inggris, yang sendiri adalah tipe borjuasi modern. “Apa yang akan dikatakan keturunan mengenai hal itu?” Ia tidak akan mengatakan bahwa M. Proudhon tidak mengetahui tentang Ricardo, karena ia berbicara mengenai Ricardo, ia secara berpanjang-panjang berbicara mengenai Ricardo, selalu kembali padanya, dan menyimpulkan dengan men yebut sistemnya itu “sampah.” Jika keturunan pernah campur-tangan, ia barangkali akan mengatakan bahwa M. Proudhon, karena takut menyinggung Anglofobia para pembacanya, lebih suka menjadikan dirinya sendiri sebagai penyunting yang bertanggung jawab atas gagasan-gagasan Ricardo. Bagaimanapun juga, ia akan menganggap sangat naif bahwa M. Proudhon mengemukakan sebagai suatu “teori revolusioner masa depan” yang Ricardo kemukakan secara ilmiah sebagai teori masyarakat masa kini, teori mengenai masyarakat borjuis, dan bahwa demikian inilah dinyatakannya sebagai pemecahan antinomi antara kegunaan dan nilai tukar yang diajukan oleh Ricardo dan alirannya lama sebelum dirinya (M. Proudhon) sebagai perumusan ilmiah mengenai satu sisi tunggal antinominya, yaitu dari “nilai tukar.” Tetapi biar kita tinggalkan saja anak-cucu, dan menghadap-hadapkan M. Proudhon dengan Ricardo, pendahulunya. Inilah beberapa ekstrak dari pengarang ini, yang mengikhtisarkan doktrinnya tentang nilai:
“Maka, kegunaan bukanlah ukuran nilai yang dapat ditukarkan, sekalipun ia secara mutlak penting baginya.” (Vol.I, hal.3, Principes de l’économie politique, dsb., diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh F. S. Constanciio, Paris 1835).
“Memiliki kegunaan, barang-barang dagangan menarik/mendapatkan nilai yang dapat ditukarkannya dari dua sumber: dari kelangkaan mereka, dan dari kuantitas kerja yang diperlukan untuk mendapatkan mereka. Terdapat beberapa barang-dagangan, yang nilainya ditentukan oleh kelangkaan mereka saja. Tiada kerja yang dapat meningkatkan kuantitas barang-barang seperti itu, dan oleh karenanya nilai mereka tidak dapat diturunkan dengan suatu peningkatan penawaran. Sejumlah patung dan lukisan langka, buku-buku langka..... semuanya dari jenis ini. Nilai mereka ... berwariasi dengan bermacam-macam kekayaan dan kecenderungan-kecenderungan orangorang yang berhasrat sekali memiliki mereka itu. (Vol.I, hal.4 dan 5, l.c.) Namun, barang-barang dagangan ini, merupakan suatu bagian sangat kecil dari massa barang-barang dagangan yang dipertukaran sehari-harinya di pasar. Bagian yang jauh lebih besar dari barang-barang yang menjadi objek-objek yang dihasratkan, diperoleh dengan kerja; dan mereka dapat diperbanyak, tidak di satu negeri saja, melainkan di banyak negeri, nyaris tanpa batas tertentu, jika kita bersedia memberikan kerja yang diperlukan untuk mendapatkan mereka. (Vol. I, hal.5, l.c..) Maka, dalam berbicara mengenai barang-barang dagangan, mengenai nilai mereka yang dapat dipertukarkan, dan mengenai hukum-hukum yang mengatur harga-harga relatif mereka, kita selalu maksudkan barang-barang dagangan seperti itu hanya yang dapat ditingkatkan dalam kuantitas lewat pengerahan industri manusia, dan yang dalam memproduksinya, persaingan bekerja tanpa hambatan.” (Vol.I, hal.5)
Ricardo mengutip Adam Smith, yang, menurutnya “begitu cermat-tepat mendefinisikan sumber asli dari nilai yang dapat dipertukarkan” (Adam Smith, Wealth of Nations, Buku I, Bab.5),[12] dan ia menambahkan:
“Bahwa ini (yaitu waktu kerja) benar-benar merupakan landasan nilai yang dapat dipertukarkan dari semua barang, kecuali yang tidak dapat ditingkatkan oleh industri manusia, merupakan sebuah doktrin yang teramat penting di dalam ekonomi-politik; karena tiada yang menjadi sumber dari begitu banyak kesalahan, dan yang melahirkan begitu banyak perbedaan pendapat dalam ilmu itu, seperti gagasan-gagasan samar yang dikaitkan pada kata nilai.” (Vol.I, hal.8) “Jika kuantitas kerja yang direalisasikan dalam barang-barang dagangan mengatur nilai mereka yang dapat dipertukarkan, maka setiap peningkatan kuantitas kerja mestilah menaikkan nilai barang-dagangan yang menerimanya, sebagaimana setiap pengurangan (kuantitas kerja) mesti menurunkan nilai itu.” (Vol.I, hal.8.)
Ricardo mencela Smith lebih lanjut:
1. Telah membangun sendiri suatu standar ukuran nilai lainnya, di samping kerja. Kadang-kadang ia berbicara tentang jagung, pada waktu-waktu lain tentang kerja, sebagai suatu ukuran standar; bukan kuantitas kerja yang dicurahkan pada produksi sesuatu objek, melainkan kuantitas yang dapat dikuasainya dalam pasar. (Vol.I, hal. 9)
2. Telah mengakui azas itu tanpa kualifikasi dan serempak dengan itu membatasi pemberlakuannya pada keadaan masyarakat dini dan kasar, yang mendahului akumulasi persediaan/modal dan pemilikan tanah. (Vol.I, hal.21.)
Ricardo berusaha membuktikan bahwa kepemilikan tanah, yaitu sewa tanah, tidak dapat mengubah nilai relatif barang-barang dagangan, dan bahwa akumulasi modal hanya mempunyai pengaruh sampingan dan fluktuatif atas nilai-nilai relatif yang ditentukan oleh kuantitas komparatif kerja yang dicurahkan dalam produksi mereka. Mendukung tesis ini, ia mengemukakan teorinya yang termashur mengenai sewa tanah, menganalisis modal, dan akhirnya tidak menemukan apapun disitu kecuali kerja yang terakumulasi. Kemudian dikembangkannya suatu teori lengkap mengenai upah dan laba, dan membuktikan bahwa upah-upah dan laba-laba naik dan turun dalam rasio terbalik satu sama lain, tanpa mempengaruhi nilai relatif produk itu. Ia tidak mengabaikan pengaruh yang dapat ditimbulkan akumulasi modal dan berbagai aspeknya (modal tetap dan modal beredar), seperti juga tingkat upahupah, atas nilai proporsional dari produk-produk. Sesungguhnya, semua itu adalah masalah-masalah utama yang menjadi perhatian Ricardo.
“Ekonomi dalam pemakaian kerja tidak pernah gagal dalam mengurangi nilai* relatif dari sebuah barang-dagangan, baik itu penghematan dalam kerja yang diharuskan bagi manufaktur barang dagangan itu sendiri, ataupun yang merupakan keharusan bagi pembentukan modal, yang membantu produksi itu.”(Vol.I, hal. 28.) “Dalam keadaan-keadaan seperti itu maka nilai rusa, yaitu produk dari kerja sehari seorang pemburu, akan presis sama dengan nilai ikan, yaitu produk kerja sehari seorang nelayan. Nilai komparatif dari ikan dan dari buruan itu, akan sepenuhnya diatur/ditentukan oleh kuantitas kerja yang dicurahkan pada masing-masingnya; apapun kuantitas produksi itu, atau betapa tinggi atau rendah upah-upah umum atau laba-labanya. (Vol.I, hal. 32.) Dalam menjadikan kerja sebagai dasar nilai barang-barang dagangan yang diperlukan bagi produksinya, peraturan yang menentukan kuantitas- kuantitas masing-masing barang yang akan dipertukarkan satu sama lain, kita tidak harus dianggap menolak/mengingkari penyimpangan-penyimpangan kebetulan dan sementara harga sesungguhnya harga pasar barang-barang dagangan itu dari harga mereka yang primer dan wajar.” (Vol.I, hal.105 l.c.). “Pada akhirnya adalah ongkos produksi yang mesti mengatur harga barang-barang dagangan, dan bukan, sebagaimana sering dikatakan, proporsi antara penawaran dan permintaan.” (Vol.II, hal. 253.)
Lord Lauderdale telah mengembangkan variasi-variasi nilai tukar menurut hukum penawaran dan permintaan, atau dari kelangkaan dan kelimpahan secara relatif dengan permintaan. Dalam pandangannya, nilai sesuatu barang dapat meningkat apabila kuantitasnya berkurang atau pabila permintaan akan barang itu meningkat; ia dapat berkurang karena suatu peningkatan kuantitasnya atau karena berkurangnya permintaan. Dengan demikian nilai sesuatu barang dapat berubah melalui delapan sebab berbeda, yaitu, empat sebab yang berlaku pada barang itu sendiri, dan empat sebab yang berlaku pada uang atau pada sesuatu barang-dagangan lainnya yang dipakai sebagai suatu ukuran nilainya. Inilah penolakan Ricardo:
“Barang-barang dagangan yang dimonopoli, baik itu oleh seorang individu, atau oleh sebuah perusahaan, berubah-ubah menurut hukum yang ditetapkan Lord Lauderdale: mereka jatuh dalam proporsi sebagaimana para penjual menaikkan kuantitas mereka, dan naik dalam proporsi dengan nafsu para pembeli untuk membeli mereka; harga mereka tidak harus mempunyai kaitan dengan nilai wajar mereka: tetapi harga-harga barang-barang dagangan, yang tunduk pada persaingan, dan yang kuantitasnya dapat ditingkatkan dalam sesuatu derajat sedang, akhirnya akan bergantung – tidak pada keadaan permintaan dan persediaan, melainkan pada peningkatan atau pengurangan ongkos produksi mereka.” (Vol.II, hal.259.)
Kita mempersilahkan para pembaca membandingkan antara bahasa yang cermat, sederhana dan jelas dari Ricardo ini dan usaha-usaha retorikal M. Proudhon untuk sampai pada penentuan nilai relatif dengan waktu kerja. Ricardo menunjukkan kepada kita gerak sesungguhnya dari produksi borjuasi, yang membentuk nilai. M. Proudhon, dengan tidak memperhitungkan gerak sesungguhnya ini, “bersungut-sungut dan berkeluh-kesah” untuk menemukan proses-proses baru dan untuk mencapai reorganisasi dunia berdasarkan suatu perumusan baru yang semu, sebuah perumusan yang tidak lebih cuma ungkapan teoretikal dari gerak sesungguhnya yang ada dan yang sudah digambarkan dengan begitu baik oleh Ricardo. Ricardo bertitik-tolak dari masyarakat masa kini untuk mendemonstrasikan kepada kita bagaimana masyarakat itu membentuk nilai – M. Proudhon menjadikan nilai bentukan sebagai titik tolaknya untuk membangun suatu dunia sosial baru dengan bantuan nilai ini. Baginya, bagi M. Proudhon, nilai bentukan mesti berputar dan sekali lagi menjadi faktor pembentuk dalam suatu dunia yang sudah terbentuk secara lengkap menurut cara penilaian ini. Penentuan nilai dengan waktu kerja adalah, bagi Ricardo, hukum nilai tukar; bagi M. Proudhon, ia adalah sintesis dari nilai pakai dan nilai tukar. Teori Ricardo mengenai nilai- nilia adalah penafsiran ilmiah mengenai kehidupan ekonomi aktual; teori nilai-nilai M. Proudhon adalah penafsiran utopian atas teori Ricardo. Ricardo membuktikan kebenaran perumusannya dengan menderivasinya dari semua hubungan-hubungan ekonomikal, dan dengan cara ini menjelaskan semua gejala, bahkan gejala- gejala seperti sewa tanah, akumulasi modal dan hubungan upah-upah dengan laba-laba, yang pada penglihatan pertama seakan-akan bertentangan dengannya; justru itulah yang menjadikan doktrinnya sebuah system ilmiah: M. Proudhon, yang telah menemukan kembali formula Ricardo ini lewat hipotesis-hipotesis yang sangat sewenang-wenang, setelah itu terpaksa meneliti fakta ekonomi tersendiri-sendiri yang ia putarbalikan dan palsukan untuk menjadikan semua itu contoh-contoh, sebagai terapan-terapan yang sudah ada, awal-awal realisasi ide pembaruannya. (Lihat paragraf 3 kita, Application of Constituted Value)
Mari kita sekarang beralih pada kesimpulan-kesimpulan yang ditarik M. Proudhon dari nilai yang terbentuk (oleh waktu kerja).
· Suatu kuantitas kerja tertentu adalah sama/setara dengan produk yang diciptakan oleh kuantitas kerja yang sama ini.
· Setiap kerja-sehari bernilai sama seperti kerja-sehari lainnya; artinya, jika kuantitas-kuantitas itu sama, kerja seseorang adalah bernilai sama seperti kerja seseorang lain: tidak ada perbedaan kualitatif. Dengan kuantitas kerja yang sama, produk seseorang dapat dipertukarkan dengan produk seseorang lain. Semua orang adalah pekerja-pekerja upahan yang mendapatkan bayaran sama untuk suatu waktu kerja yang sama. Kesamaan yang sempurna mengua-sai/mengatur pertukaran-pertukaran itu.
Apakah kesimpulan-kesimpulan ini konsekuensi-konsekuensi ketat, yang wajar dari nilai bentukan atau ditentukan oleh waktu kerja?
Jika nilai relatif sebuah barang-dagangan ditentukan oleh kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksinya, maka dengan sendirinya nilai relatif dari kerja, atau upah-upah, seperti itu pula ditentukan oleh kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi upah-upah itu. Upah-upah, yaitu nilai relatif atau harga kerja, dengan demikian ditentukan oleh waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi semua yang diperlukan untuk pemeliharaan pekerja itu. Kurangi ongkos produksi topi-topi, dan harga mereka akhirnya akan jatuh pada harga wajar mereka yang baru, sekalipun permintaan mesti di-duakali-kan, di-tigakali-kan, atau di-empatkali-kan. Kurangi ongkos kehidupan orang, dengan mengurangi harga alami pangan dan sandang, yang mendukung kehidupan itu, dan upah-upah pada akhirnya akan jatuh, sekalipun permintaan akan kaum buruh mungkin saja sangat meningkat. (Ricardo, Vol.II, hal. 253.)
Tak-diragukan lagi, bahasa Ricardo itu sinikal sekali. Menyederajatkan ongkos pembuatan (manufaktur) topi dan ongkos pemeliharaan manusia adalah mengubah manusia menjadi topi. Tetapi, janganlah terlalu bercemas hati dengan sinisme itu. Sinisme itu adalah pada fakta itu dan bukan dalam kata-kata yang menungkapkan fakta itu. Pengarangpengarang Perancis seperti MM. Droz, Blanqui, Rossi dan lain-lainnya secara lugu berpuas hati dalam membuktikan keunggulan mereka atas para ahli ekonomi Inggris, dengan berusaha mematuhi etiket suatu fraseologi humanitarian; jika mereka mencela Ricardo dan alirannya karena bahasa mereka yang sinikal, itu adalah karena sungguh mengusik mereka melihat hubungan-hubungan ekonomikal ditelanjangi dalam seluruh kekasarannya, melihat misteri-misteri burjuasi dibuka kedoknya. Kesimpulannya: Kerja, karena kerja itu sendiri sebuah barang-dagangan, karenanya diukur dengan waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-dagangan kerja itu. Dan, apakah yang diperlukan untuk memproduksi barang-dagangan kerja ini? Cuma waktu kerja secukupnya untuk memproduksi objek-objek yang tidak bisa tidak ada bagi pemeliharaan terus-menerus kerja, yaitu, agar pekerja itu tetap hidup dan dalam suatu kondisi untuk mengembang-biakkan kaumnya. Harga alami kerja tidak lain ialah upah minimum.* * Jika tingkat upah-upah sekarang naik di atas harga alami ini, maka itu justru karena hukum nilai yang dijadikan azas oleh M. Proudhon telah ditidak-seimbangkan (menjadi tidak seimbang) oleh konsekuensi-konsekuensi berbagai hubungan penawaran dan permintaan. Tetapi upah minimum itu tetaplah pusat ke arah mana tingkat-tingkat upah-upah sekarang bergravitasi.
Dengan demikian nilai relatif, yang diukur dengan waktu kerja, secara tidak terelakkan merupakan perumusan mengenai perbudakan kaum pekerja dewasa ini, dan bukan menjadi, sebagaimana diinginkan M. Proudhon, teori revolusioner dari emansipasi proletariat.
Mari kita ambil sesuatu produk tertentu, misalnya, kain lenan. Produk ini, sebagai kain lenan, mengandung suatu kuantitas kerja tertentu. Kuantitas kerja ini akan selalu sama, apapun posisi timbal-balik orang-orang yang telah bekerja-sama dalam menciptakan produk ini.
Mari kita ambil sebuah produk lain: kain-tenunan-halus, yang memerlukan kuantitas kerja yang sama seperti kain lenan itu. Jika terjadi pertukaran antara kedua produk ini, maka terjadilah pertukaran kuantitas-kuantitas kerja yang setara/sama. Dalam mempertukarkan kuantitas-kuantitas waktu kerja yang setara ini, orang tidak mengubah posisi timbal-balik dari para produser melebihi kalau orang mengubah sesuatu dalam situasi para pekerja dan para manufaktur di antara mereka sendiri. Mengatakan bahwa pertukaran produk-produk yang diukur dengan waktu kerja ini menghasilkan suatu kesetaraan pembayaran bagi semua produser adalah mengandaikan bahwa kesetaraan partisipasi dalam produk itu telah ada sebelum terjadinya pertukaran. Manakala pertukaran kain-tenunan-halus dengan kain lenan itu telah terjadi, para produser kain-tenunan-halus akan berbagi (ambil bagian) dalam kain lenan itu dalam suatu proporsi yang sama sebagaimana mereka sebelumnya berbagi (ambil bagian) dalam kaintenunan- halus itu. Ilusi M. Proudhon lahir karena yang ia terima sebagai suatu konsekuensi adalah yang paling banter cuma suatu perkiraan serampangan. Mari kita teruskan. Adakah waktu kerja, sebagai ukuran nilai, setidak-tidaknya memperkiraan bahwa hari-hari adalah setara/ ekuivalen, dan bahwa hari seseorang sama nilainya/harganya dengan hari seseorang lainnya? Tidak. Mari kita sebentar mengandaikan, bahwa hari seseorang tukang perhiasan adalah setara dengan tiga-hari seorang perajut; kenyataannya tetap bahwa sesuatu perubahan dalam nilai perhiasan-perhiasan secara relatif dengan nilai bahan-bahan rajutan, kecuali hal itu merupakan hasil sementara fluktuasi-fluktuasi persediaan dan permintaan, mesti disebabkan (mesti mempunyai sebabnya) oleh suatu pengurangan atau suatu peningkatan dalam waktu kerja yang dicurahkan dalam produksi barang yang satu atau barang yang lainnya itu. Jika tiga hari kerja pekerja yang berbeda-beda dihubungan (dinisbihkan) satu sama lainnya dalam rasio 1 : 2 : 3, maka setiap perubahan dalam nilai relatif produk-produk mereka akan merupakan suatu perubahan dalam proporsi yang sama ini: 1 : 2 : 3. Demikianklah nilai-nilai dapat diukur dengan waktu kerja, walaupun adanya ketidak-setaraan/ketidak-samaan nilai hari-hari kerja yang berbeda-beda; namun untuk memberlakukan suatu ukuran seperti itu kita mesti mempunyai suatu skala komparatif dari hari-hari kerja yang berbeda-beda itu: adalah persaingan yang menetapkan skala ini.
Adakah sejam-kerjamu seharga sejam-kerjaku? Itu merupakan sebuah pertanyaan/persoalan yang ditentukan oleh persaingan. Persaingan, menurut seorang ahli ekonomi Amerika, menentukan berapa hari kerja sederhana dikandung dalam sehari kerja majemuk. Tidakkah pereduksian hari-hari kerja majemuk menjadi hari-hari kerja sederhana mengandaikan bahwa kerja sederhana itu sendiri dipakai sebagai suatu ukuran nilai? Apabila kuantitas kerja semata-mata berfungsi sebagai suatu ukuran nilai tanpa mempedulikan kualitas, maka itu mensyaratkan bahwa kerja sederhana telah menjadi porosnya industri. Itu mensyaratkan bahwa kerja telah disetarakan oleh ditundukkannya manusia pada mesin-mesin atau oleh pembagian kerja yang ekstrim; bahwa orang telah disama- ratakan oleh kerja mereka; bahwa bandul lonceng telah menjadi suatu ukuran mengenai kegiatan relatif dua orang pekerja yang ketepatannya seakurat sebagai pengukur kecepatan dua buah lokomotif. Karenanya, jangan kita mengatakan bahwa satu-jam seseorang adalah seharga satu-jam seseorang lain, melainkan lebih tepatnya yalah bahwa seseorang dalam satu jam adalah sama harganya dengan seseorang lain dalam satu jam. Waktu adalah segala-galanya, manusia itu bukan apaapa; manusia itu paling-paling adalah wahana waktu. Kualitas itu sudah tidak menjadi masalah. Hanya kuantitas menentukan segala-galanya; jam untuk jam, hari untuk hari; tetapi penyamarataan kerja ini sama sekali bukanlah karya keadilan kekal M. Proudhon; itu semata-mata dan hanya suatu faktum industri modern.
Dalam bengkel/pabrik otomatik, kerja seorang buruh sulit dibedakan dari kerja seorang buruh lainnya: para pekerja hanya dapat dibedakan satu dari lainnya oleh lamanya waktu yang mereka perlukan untuk pekerjaan mereka. Namun begitu, perbedaan kuantitatif ini menjadi, dari suatu sudut pandangan tertentu, kualitatif, yaitu bahwa waktu yang mereka perlukan untuk pekerjaan mereka sebagian bergantung pada sebab-sebab yang semurninya material, seperti keadaan fisikal, usia dan jenis kelamin; sebagian lagi pada sebab-sebab moral yang semurninya negatif, seperti kesabaran, ketenangan, kerajinan. Singkatnya, jika terdapat suatu perbedaan kualitas dalam kerja berbagai pekerja, itu paling banter suatu kualitas dari jenis yang tersebut terakhir itu, yang jauh daripada sesuatu keistimewaan yang jelas. Inilah keadaan yang sebenarnya dalam situasi industri modern dalam analisis akhirnya. Dari kesetaraan inilah, yang sudah terealisasi dalam kerja otomatik, M. Proudhon menyimpulkan tataran-pemulus ekualisasi/penyetaraan-nya, yang hendak ditegakkannya secara universal dalam waktu mendatang!
Semua konsekuensi “persamaan” yang ditarik M. Proudhon dari doktrin Ricardo didasarkan pada suatu kesalahan fundamental. Ia mengacaukan nilai barang-barang dagangan yang diukur dengan kuantitas kerja yang terwujud di dalam barang-barang dagangan itu dengan nilai barangbarang dagangan yang diukur dengan “nilai kerja.” Jika kedua cara pengukuran nilai barang-barang dagangan itu setara/sama/ekuivalen, maka dapat dikatakan tanpa sedikitpun perbedaan bahwa nilai relatif setiap barang-dagangan diukur dengan kuantitas kerja yang terwujud di dalamnya; atau bahwa ia diukur dengan kuantitas kerja yang dapat dibelinya; atau –lagi– bahwa ia diukur dengan kuantitas kerja yang dapat diukur dengan kuantitas kerja yang dapat memperolehkannya. Tetapi kenyataannya jauh daripada itu. Nilai kerja tidak lebih berguna sebagai suatu ukuran nilai daripada nilai setiap barang-dagangan lainnya. Beberapa contoh akan cukup untuk secara lebih gamblang menjelaskan yang baru kita nyatakan ini.
Jika seperempat (0.9463 liter) terigu ongkosnya dua hari-kerja dan bukan satu hari-kerja, ia akan dua kali nilai aslinya; tetapi ia tidak akan mengerahkan dua-kali kuantitas kerja itu, karena ia tidak akan mengandung lebih banyak materi nutritif daripada sebelumnya. Demikian nilai dari gandum itu, diukur dengan kuantitas kerja yang dipakai untuk memproduksinya, akan berlipat dua kali; tetapi diukur dengan kuantitas kerja yang dapat dibeli ataupun dengan kuantitas kerja yang dengannya ia dapat dibeli, ia akan jauh daripada berlipat dua kali. Di lain pihak, jika kerja yang sama memproduksi dua kali banyaknya kain seperti sebelumnya, nilai relatif mereka akan jatuh dengan separohnya; tetapi, bagaimanapun, kuantitas kain yang dua-kali lipat itu dengan demikian tidak akan direduksi pada pengerahan hanya separoh dari kuantitas kerja itu, begitu pula kerja yang sama itu tidak dapat menguasai dua-kali banyaknya kuantitas kain itu; karena separoh dari kain itu akan tetap memberi jasa/kegunaan yang sama seperti sebelumnya kepada pekerja itu.
Dengan demikian berarti berlawanan dengan fakta ekonomikal jika menentukan nilai relatif barang-barang dagangan dengan nilai kerja. Ia berarti bergerak dalam suatu lingkaran tanpa-ujung dan tanpa-pangkal, ia berarti menentukan nilai relatif dengan suatu nilai relatif yang sendiri harus ditentukan.
Tak-disangsikan lagi bahwa M. Proudhon mengacaukan kedua ukuran itu, ukuran dengan waktu kerja yang diperlukan bagi produksi sebuah barang-dagangan dan ukuran dengan nilai dari kerja itu. “Kerja setiap orang,” demikian ia berkata, “dapat memberi nilai yang diwakilinya.” Dengan demikian, menurut M. Proudhon, suatu kuantitas kerja tertentu yang terwujud dalam sebuah produk adalah setara dengan bayaran pekerja itu, yaitu, nilai kerja itu. Adalah penalaran yang sama yang membuatnya mengacaukan ongkos produksi dengan upah-upah.
Apakah upah-upah itu? Upah-upah itu adalah ongkos harganya gandum, dsb., harga integral dari semua barang, Mari kita lanjutkan lagi. Upah-upah adalah proporsionalitas unsur-unsur yang menggubah kekayaan. Apakah upah-upah itu? Upah-upah adalah nilai kerja.
Adam Smith menggunakan sebagai ukuran nilai, sebentar waktu kerja yang diperlukan untuk produksi sebuah barang-dagangan, sebentar lagi nilai kerja. Ricardo menelanjangi kesalahan ini dengan secara jelas menunjukkan disparitas kedua cara pengukuran ini. M. Proudhon selangkah lebih jauh daripada Adam Smith dalam kesalahan dengan mengidentikkan (menyamakan) kedua hal yang oleh yang tersebut
belakangan (Adam Smith) cuma diletakkan dalam kesejajaran.
Adalah untuk menemukan proporsi selayaknya dalam mana para pekerja mesti berbagi produk-produk itu, atau, dalam kata-kata lain, untuk menentukan nilai relatif kerja, bahwa M. Proudshon mencari suatu ukuran bagi nilai relatif barang-barang dagangan. Untuk mengetahui ukuran bagi nilai relatif barang-barang dagang-an ia tidak dapat memikirkan sesuatu yang lebih baik daripada memberikan jumlah total produk-produk sebagai kesetaraan/ekuivalen suatu kuantitas kerja tertentu yang telah menciptakannya, yang sama artinya dengan mengandaikan bahwa seluruh masyarakat cuma terdiri atas para pekerja yang menerima produk-produk mereka sendiri sebagai upah-upah. Kedua, ia menganggap sebagai sudah dengan sendirinya kesetaraan/ persamaan hari-hari kerja kaum pekerja yang berbeda-beda. Singkatnya, ia mencari ukuran nilai relatif barang-barang dagangan itu untuk sampai pada kesamaan bayaran bagi kaum pekerja, dan ia menganggap kesamaan upah-upah sebagai suatu kenyataan yang sudah terbukti, untuk bisa melangkah lebih jauh dalam pencariannya akan nilai relatif barang-barang dagangan. Dialektika yang benar-benar mengagumkan!
“Say dan para ahli ekonomi sesudahnya, yang memantau bahwa karena kerja itu sendiri bergantung pada penilaian, merupakan suatu barang-dagangan seperti semua barang-dagangan lainnya, bergerak dalam suatu lingkaran tanpa-ujung tanpa-pangkal, memperlakukannya sebagai azas dan sebab-penentu nilai. Dengan berbuat demikian, para ahli ekonomi ini, jika mereka memperkenankan aku mengatakannya, memperlihatkan suatu kesemberonoan luar-biasa. Kerja dikatakan mempunyai nilai tidak sebagai suatu barang-dagangan, melainkan karena nilai-nilai yang dianggap dikandungnya secara potensial. Nilai kerja itu sebuah ungkapan figuratif, suatu antisipasi sebab untuk akibat. Ia adalah sebuah khayalan jenis sama seperti produktivitas modal. Kerja memproduksi, modal mempunyai nilai ... Dengan sejenis ellipsis seseorang berbicara mengenai nilai kerja ... Kerja seperti kemerdekaan/kebebasan ... adalah sesuatu yang samara-samar dan tidak menentu sifatnya, tetapi ditentukan secara kualitatif oleh objeknya, yaitu, ia menjadi sebuah realitas dengan produk itu.” [61]
“Tetapi adakah keperluan untuk membahas hal ini? Pada saat ahli ekonomi (baca M. Proudhon) mengubah nama hal-hal, vera verum vocabula [nama-nama sebenarnya hal-hal itu], ia secara diam-diam mengakui impotensinya dan menyatakan dirinya tidak diikut-sertakan di dalamnya.” (Proudhon, I, 188)
Telah kita lihat, bahwa M. Proudhon menjadikan nilai kerja sebagai “sebab penentu” dari nilai produk-produk hingga sejauh, bahwa baginya upah-upah, yaitu nama resmi bagi “nilai kerja,” merupakan harga integral dari semua barang: itulah sebabnya mengapa keberatan Say mengusik dirinya. Dalam kerja sebagai sebuah barang-dagangan, yang adalah suatu kenyataan seram, ia tidak melihat apapun kecuali sebuah ellipsis gramatikal. Dengan demikian seluruh masyarakat yang ada, yang didasarkan pada kerja sebagai sebuah barang-dagangan, untuk selanjutnya didasarkan pada sebuah lisensi puitik, sebuah ungkapan figuratif. Jika masyarakat berkehendak “melenyapkan semua kekurangan-kekurangan” yang menghinggapinya, maka –baiklah– biarlah ia menghapus semua istilah yang ganjil-kede-ngarannya itu, mengubah bahasanya; dan untuk ini ia hanya mesti memberlakukan pada Akademi suatu edisi baru dari kamusnya. Setelah mengetahui semua yang baru saja kita lihat, menjadi mudah bagi kita untuk memahami mengapa M. Proudhon, dalam sebuah karya mengenai ekonomi-politik, harus bersibuk-sibvuk dalam disertasidisertasi panjang-lebar mengenai etimologi dan bagian-bagian tata bahasa lainnya. Demikian ia masih dengan memeras otak mendiskusikan derivasi yang sudah kuno mengenai servus dari servare. Disertasi-disertasi filosofikal ini mempunyai makna yang sangat dalam, suatu makna isotorik – mereka merupakan suatu bagian mendasar dari argument M. Proudhon.
Kerja,[13] sejauh ia dibeli dan dijual, adalah sebuah barang-dagangan seperti barang-barang dagangan lain yang manapun, dan mempunyai, oleh karenanya, suatu nilai tukar. Tetapi nilai kerja itu, atau kerja sebagai sebuah barang-dagangan, cuma memproduksi sesedikit sebagaimana nilai gandum, atau gandum sebagai suatu barang dagangan, berguna sebagai makanan.
“Harganya” kerja kurang lebih, sesuai lebih atau kurang mahalnya barang-barang dagangan makanan, apakah persediaan dan permintaan akan tenaga kerja ada dalam tingkat tertentu, dls.dls.
Kerja bukanlah sesuatu “barang samar-samar;” ia selalu sesuatu kerja tertentu, ia tidak pernah kerja pada umumnya yang dibeli dan dijual. Ia bukan hanya kerja yang secara kualitatif ditentukan oleh objek; tetapi juga objek yang ditentukan oleh kualitas kerja tertentu.
Kerja, sejauh ia dibeli dan dijual, sendiri adalah sebuah barang- dagangan. Mengapa ia dibeli? “Karena nilai-nilai yang dianggap secara potensial dikandungnya.” Tetapi, jika sesuatu barang dikatakan merupakan sebuah barang-dagangan, maka tidak ada/menjadi soal lagi mengenai alasan mengapa ia dibeli, yaitu, yang berkenaan dengan kegunaan yang ditarik darinya, penerapan yang dilakukan dengannya. Ia adalah sebuah barangdagangan sebagai suatu objek lalu-lintas. Semua argumen M. Proudhon terbatas hingga di sini: kerja bukan dibeli sebagai suatu objek konsumsi langsung. Tidak, ia dibeli sebagai sebuah alat produksi, sebagaimana sebuah mesin akan dibeli. Sebagai sebuah barang-dagangan, kerja mempunyai nilai dan tidak memproduksi. M. Proudhon sebenarnya dapat juga mengatakan bahwa tiada yang disebut sebuah barang-dagangan, karena setiap barang-dagangan semata-mata diperoleh untuk sesuatu maksud kegunaan, dan tidak pernah sebagai sebuah barang-dagangan itu sendiri.
Dalam mengukur nilai barang-barang dagangan dengan kerja, M. Proudhon samar-samar melihat sekelebat kemustahilan untuk mengkhususkan kerja dari ukuran yang sama ini, sejauh kerja itu mempunyai suatu nilai, karena kerja itu sebuah barang-dagangan.
Ia didera kecemasan bahwa itu mengubah upah minimum menjadi harga kerja langsung yang wajar dan normal, bahwa itu menerima keadaan masyarakat yang ada. Maka, untuk meninggalkan konsekuensi fatal ini, ia berpaling muka dan menyatakan bahwa kerja itu bukan sebuah barangdagangan, bahwa ia tidak dapat mempunyai nilai. Ia lupa bahwa ia sendiri telah menjadikan nilai kerja sebagai sebuah ukuran, ia lupa bahwa seluruh sistemnya berdasarkan pada kerja sebagai sebuah barang-dagangan, pada kerja yang dibarterkan, dibeli, dijual, dipertukarkan untuk barang-jadi, dsb., pada kerja, sesungguhnya, yang merupakan suatu sumber pendapatan langsung bagi pekerja. Ia melupakan segala itu.
Untuk menyelamatkan sistemnya, ia sepakat mengorbankan landasannya.
Et propter vitam vivendi perdere causas! [14]
Kita sekarang sampai pada suatu definisi baru mengenai “nilai bentukan.”
“Nilai adalah hubungan proporsional dari produk-produk yang merupakan/membentuk kekayaan.”
Pertama-tama baik kita perhatikan bahwa frase sederhana “nilai relative atau nilai tukar” mengandung gagasan mengenai sesuatu hubungan dimana produk-produk saling dipertukarkan satu sama lain. Dengan memberikan nama “hubungan proporsional” pada hubungan ini, tidak ada perubahan dalam nilai relatif itu, kecuali dalam ungkapan saja. Baik pengurangan maupun penambahan nilai sesuatu produk tidak menghancurkan kualitasnya bahwa ia berada dalam sesuatu “hubungan proporsional dengan produk-produk lain yang merupakan kekayaan.
Lalu, buat apa istilah baru ini, yang tidak memperkenalkan sesuatu gagasan baru?
“Hubungan proporsional” menyiratkan banyak hubungan ekonomikal lainnya, sepertinya proporsionalitas dalam produksi, proporsi sesungguhnya antara persediaan dan permintaan, dsb., dan M Proudhon memikirkan kesemuanya itu ketika ia merumuskan parafrase didaktik ini mengenai nilai yang dapat dipasarkan.
Pertama-tama, nilai relatif produk-produk yang ditentukan oleh jumlah kerja komparatif yang digunakan dalam produksi masing- masing produk itu, hubungan-hubungan proporsional, diberlakukan pada kasus khusus ini, mewakili kuota ma-sing-masing produk yang dapat dimanufaktur dalam suatu waktu tertentu, dan yang oleh karenanya diberikan sebagai tukar (ganti) satu sama lainnya.
Mari kita melihat keuntungan apa yang diperoleh M. Proudhon dari hubungan proporsional ini.
Semua orang mengetahui bahwa apabila persediaan dan permintaan dalam keadaan seimbang, maka nilai relatif setiap produk secara akurat ditentukan oleh kuantitas kerja yang terwujud di dalamnya, artinya, bahwa nilai relatif ini justru menyatakan hubungan proporsional dalam pengertian yang baru kita berikan padanya. M. Proudhon membalikkan tatanan hal-hal itu. Mulailah, demikian ia berkata, dengan mengukur nilai relatif sesuatu produk dengan kuantitas kerja yang terwujud di dalamnya, dan persediaan dan permintaan tidak bisa tidak mesti mengimbangi satu sama lainnya. Produksi akan bersesuaian dengan konsumsi, produk itu akan selalu dapat dipertukarkan. Harganya kini akan secara tepat menyatakan nilainya yang sebenarnya. Ganti mengatakan seperti semua orang lain: manakala cuacanya baik, banyak orang akan terlihat berjalan-jalan menghirup udara segar, M. Proudhon membuat orang-orangnya ke luar berjalan-jalan agar dapat memastikan cuaca yang baik.
Yang diberikan M. Proudhon sebagai konsekuensi nilai yang dapat dipasarkan ditentukan a priori dengan waktu kerja, hanya dapat dibenarkan oleh suatu hukum yang dibungkus kurang-lebih dalam batasan-batasan sebagai berikut:
Produk-produk di masa datang akan dipertukarkan dalam rasio eksak dari waktu kerja yang menjadi ongkosnya. Apapun/bagaimanapun proporsi persediaan dengan permintaan, pertukaran barang-barang dagangan akan selalu dilakukan seolah-oleh mereka itu diproduksi secara proporsional dengan permintaan. Biarlah M. Proudhon menjadikan sebagai tugasnya untuk merumuskan dan menetapkan hukum seperti itu, dan kita akan membebaskannya dari keharusan memberikan buktibukti. Jika, sebaliknya, ia bersikeras membenarkan teorinya, tidak sebagai seorang pembuat undang-undang, melainkan sebagai seorang ahli ekonomi, maka ia mesti membuktikan bahwa “waktu” yang diperlukan untuk menciptakan sebuah barang-dagangan secara tepat menunjukkan derajat “kegunaannya” dan menandai hubungan proporsionalnya dengan permintaan, dan oleh karenanya, dengan jumlah total kekayaan. Dalam hal ini, jika sebuah produk dijual dengan suatu harga yang menyamai ongkos produksinya, persediaan dan permintaan akan selalu diseimbangkan/berseimbang satu sama lain; karena ongkos produksi itu dianggap menyatakan hubunghan sebenarnya antara persediaan dan permintaan.
Sebenarnya, M. Proudhon bermaksud membuktikan bahwa waktu kerja yang diperlukan untuk menciptakan suatu produk menunjukkan hubungan proporsionalnya dengan kebutuhan-kebutuhan, sehingga barang-barang yang produksinya berongkoskan waktu paling sedikit adalah yang paling langsung kegunaannya, dan begitu seterusnya, langkah demi langkah. Produksi objek-objek kemewahan saja segera membuktikan, menurut doktrin ini, bahwa masyarakat mempunyai waktu senggang yang memperkenankannya untuk memuaskan suatu kebutuhan akan kemewahan.
M. Proudhon menemukan bukti tesisnya itu justru dalam pemantauan bahwa barang-barang yang paling berguna berongkoskan waktu yang paling sedikit dalam memproduksinya, bahwa masyarakat selalu mulai dengan industri-industri paling gampang dan secara runut “mulai dengan produksi objek-objek yang berongkos lebih banyak waktu kerja dan yang bersesuaian dengan suatu tatanan kebutuhan yang lebih tinggi.”
M. Proudhon meminjam dari M. Dunoyer contoh mengenai industri ekstraktif – pengumpulan-buah, penggembalaan, perburuan, penangkapan ikan, dst. – yang adalah industri-industri yang paling sederhana, paling murah, dan yang dimulai orang (manusia) pada hari pertama dari penciptaannya yang kedua. “Hari pertama dari penciptaannya” yang pertama tercantum dalam Genesis, yang ke pada kita menunjukkan Tuhan sebagai pencipta pertama dunia.
Hal-hal terjadi dalam suatu cara yang berbeda sekali dengan yang dibayangkan M. Proudhon. Pada seketika dimulainya peradaban, produksi mulai didasarkan/dilandaskan pada antagonisme tatanantatanan, estat-estat, klas-klas, dan akhirnya pada antagonisme kerja yang terakumulasi dan kerja aktual. Tidak ada antagonisme, tidak ada kemajuan. Inilah hukum yang diikuti peradaban hingga zaman kita sekarang. Hingga kini tenaga-tenaga produktif telah dikembangkan berkat sistem antagonisme klas ini. Untuk mengatakan bahwa, karena semua kebutuhan semua pekerja telah dipuaskan/dipenuhi, orang dapat mengabdikan diri mereka pada penciptaan produk-produk dari suatu tatanan lebih tinggi –pada industri-industri yang lebih rumit– akan berarti membiarkan antagonisme klas di luar perhitungan dan menjungkir-balikkan semua perkembangan historis. Itu sama dengan me-ngatakan bahwa, karena di bawah para kaiser Romawi, muraena digemukkan dalam kolam-kolam ikan buatan, maka itu tersedia cukup untuk secara berlimpah memberi makan pada seluruh penduduk Romawi. Sebenarnya, sebaliknya, orang-orang Romawi tidak mempunyai cukup untuk dibelikan/membeli roti, sedangkan para bangsawan Romawi mempunyai cukup budak-budak untuk dilemparkan sebagai pakan pada muraena itu.
Harga pangan nyaris terus-menerus naik, sedangkan harga barang-barang manufaktur dan kemewahan nyaris terus-menerus jatuh. Ambillah misalnya industri agrikultural itu sendiri: objek-objek yang paling tidakbisa-tanpanya, seperti gandum, daging, dsb., naik harganya, sedangkan kapas, gula, kopi, dsb., jatuh dalam proporsi yang mengejutkan. Dan bahwa di antara barang pangan itu sendiri, barang-barang kemewahan, seperti sayur-buah, asparagus dsb., sekarang ini secara relatif lebih murah daripada bahan pangan yang bersifat pokok. Pada zaman kita ini, yang berlebih- lebihan lebih mudah diproduksi daripada yang lebih dibutuhkan. Akhirnya, pada berbagai kurun histrorikal, hubungan-hubungan harga secara timbal-balik tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan satu-sama-lain. Selama seluruh Abad Pertengahan, produkproduk agrikultura secara relatif lebih murah daripada produk- produk manufaktur; di zaman modern mereka berada dalam rasio terbalik. Apakah ini berarti bahwa kegunaan produk-produk agrikultural telah menurun sejak abad-abad Pertengahan?
Kegunaan produk-produk ditentukan oleh keadaan-keadaan sosial di mana para konsumer mendapatkan diri mereka ditempatkan/berada, dan kondisi-kondisi itu sendiri adalah berdasarkan antagonisme kelas.
Kapas, kentang dan minuman-keras merupakan objek-objek pemakaian yang paling umum. Kentang telah menimbulkan skrofula; katun sampai batas jauh sekali telah mengusur rami dan wol, sekalipun wol dan rami (lenan) dalam banyak hal lebih besar manfaatnya, kalaupun ini dilihat dari sudut kesehatan; akhirnya, minuman-keras telah mengungguli bir dan anggur, sekalipun minuman-keras yang dipakai sebagai zat alimentari (makanan) di mana-mana dinyatakan sebagai racun. Sepanjang abad, pemerintah-pemerintah bergulat sia-sia terhadap candu Eropa; perekonomian yang berjaya, dan mengimlahkan perintah-perintahnya pada konsumsi.
Mengapa kapas, kentang dan minuman-keras menjadi poros-poros masyarakat borjuis? Karena jumlah kerja paling sedikit yang diperlukan untuk memproduksinya, dan, oleh karenanya, mereka mempunyai harga-harga paling rendah. Mengapa harga minimum menentukan konsumsi maksimum? Mungkinkah itu karena manfaat mutlak dari objek-objek ini, kegunaan bawaan mereka, kegunaan mereka sejauh itu bersesuaian –dengan cara yang paling berguna– dengan kebutuhan-kebutuhan si pekerja sebagai seorang pria, dan bukan pada pria itu sebagai seorang buruh? Tidak, itu adalah karena dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada kemiskinan, produk-produk terburuk mempunyai prerogative (keistimewaan) mematikan karena dipakai oleh jumlah terbanyak orang.
Untuk mengatakan bahwa karena barang-barang paling murah adalah yang paling banyak dipakai, maka barang-barang itu mempunyai kegunaan lebih besar, adalah sama saja mengatakan bahwa luasnya pemakaian minuman-keras, karena ongkos produksinya yang rendah, adalah bukti paling menentukan akan manfaatnya; berarti mengatakan pada kaum proletar, bahwa kentang adalah lebih sehat baginya daripada daging; berarti menerima keadaan yang berlaku sekarang; berarti, singkatnya, membuat suatu permaafan, bersama M. Proudhon, bagi sebuah masayrakat tanpa memahaminya.
Dalam suatu masyarakat masa depan, di mana antagonisme klas telah hilang, di mana tidak ada lagi kelas apapun, kegunaan tidak akan ditentukan lagi oleh “waktu minimum” produksi; tetapi waktu produksi yang diabdikan pada berbagai barang akan ditentukan oleh derajat kegunaan/manfaat sosialnya.
Kembali pada tesis M. Proudhon: pada saat waktu kerja yang diperlukan bagi produksi sebuah barang tidak lagi merupakan ungkapan derajat kegunaannya, maka nilai tukar barang yang sama itu, yang sebelumnya ditentukan oleh waktu kerja yang terwujud di dalamnya, menjadi tidak dapat lagi mengatur hubungan sebenarnya dari persediaan dan permintaan, yaitu, hubungan proporsional dalam pengertian yang pada saat itu dijulukkkan M. Proudhon padanya.
Bukan penjualan sesuatu produkl tertentu pada harga ongkos produksinya yang merupakan hubungan proporsional persediaan dengan permintaan, atau kuota proporsional produk ini secara relatif dengan jumlah total produksi; adalah “variasi-variasi dalam persediaan dan permintaan” yang menunjukkan pada produser jumlah sesuatu barang-dagangan tertentu yang mesti diproduksinya untuk menerima sebagai pertukarannya – sekurang-kurangnya– ongkos produksi itu. Dan variasi-variasi ini terusmenerus berlangsung/terjadi, juga terdapat suatu gerak terus-menerus berupa penarikan dan aplikasi modal dalam berbagai cabang industri.
Hanya sebagai konsekuensi variasi-variuasi seperti itulah modal dijatahkan secara presis/tepat, dalam kelimpahan yang diperlukan dan tidak lebih, pada produksi berbagai barang-dagangan yang memang diminta. Dengan naik atau jatuhnya harga, laba terangkat ke atas, atau ditekan ke bawah tingkat umumnya, dan modal terdorong untuk memasuki, atau diingatkan/dicanangkan untuk meninggalkan, pengerjaan khsus/tertentu di mana variasi itu terjadi.-
Manakala kita meneliti pasar-pasar sebuah kota besar, dan mengamati betapa secara teratur mereka dipasok dengan barang-barang- dagangan buatan-dalam-negeri atau buatan-luar-negeri, dalam kuantitas seperti yang diperlukan, dalam semua keadaan permintaan yang beranekaragam, yang lahir dari ulah-selera, atau suatu perubahan dalam jumlah kependudukan, tanpa sering menghasilkan akibat-akibat kelahapan dari suatu persediaan yang terlampau berlimpah, atau suatu harga yang luar-biasa tingginya karena persediaan tidak menyamai permintaan, maka kita mesti mengaku bahwa azas yang menjatahkan modal pada setiap perdagangan dalam jumlah setepat yang diperlukan, adalah lebih aktif daripada yang umumnya diperkirakan. (Ricardo, Vol.I, hal.105 dan 108)
Apabila M. Proudhon mengakui bahwa nilai produk ditentukan oleh waktu kerja, maka ia semestinya juga mengakui bahwa hanyalah gerak yang naik-turun (berfluktuasi) dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada pertukaran-pertukaran individual, menjadikan kerja itu ukuran nilai. Tidak terdapat “hubungan proporsional” bentukan yang siap-jadi, yang ada hanyalah suatu gerakan pembentukan.
Kita baru saja melihat dalam pengertian bagaimana tepatnya orang berbicara tentang “proporsi” sebagai suatu konsekuensi nilai yang ditentukan oleh waktu kerja. Sekarang akan kita lihat bagaimana ukuran dengan waktu ini, yang disebut M. Proudhon “hukum proporsi” itu, ditransformasi menjadi suatu hukum “disproporsi.”
Setiap penemuan baru, yang memungkinkan produksi dalam satu jam (sesuatu/barang) yang hingga saat itu diproduksi dalam dua jam, menurunkan harga semua produk sejenis di pasar. Persaingan memaksa produser menjual produk dari dua jam semurah produk dari satu jam. Persaingan memberlakukan hukum yang menentukan nilai relatif sesuatu produk yang ditentukan oleh waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Waktu kerja yang dipakai sebagai ukuran nilai yang dapat dipasarkan dengan cara ini menjadi hukum “depresiasi” terus-menerus dari kerja. Akan kita lanjutkan. Akan ada depresiasi bukan saja dari barang-barang dagangan yang dibawa ke pasar, tetapi juga dari alat-alat produksi dan dari seluruh pabrik-pabrik. Kenyataan ini sudah ditunjukkan oleh Ricardo ketika ia berkata: “Dengan terus-menerus meningkatkan fasilitas produksi, kita terus-menerus mengurangi nilai beberapa dari barang-barang dagangan yang sebelumnya diproduksi.” (Vol.II, hal. 59) Sismondi lebih jauh lagi. Ia melihat dalam “nilaibentukan” oleh waktu kerja ini, sumber dari semua kontradiksi industri dan perdagangan modern. “Nilai dagang/perdagangan,” ia berkata,
“selalu ditentukan –dalam jangka panjangnya– oleh kuantitas kerja yang diperlukan untuk mendapatkan barang yang dinilai itu: bukan yang sebenarnya menjadi ongkosnya, tetapi yang akan menjadi ongkosnya di masa depan dengan, barangkali, alat-alat yang disempurnakan; dan kuantitas ini, sekalipun sulit dinilai, selalu secara setia ditetapkan oleh persaingan..... Adalah atas dasar ini bahwa permintaan penjual maupun persediaan pembeli diperhitungkan. Yang tersebut duluan mungkin akan menyatakan bahwa barang itu bagi dirinya berongkos sepuluh-hari-kerja; tetapi bilamana yang tersebut belakangan menyadari bahwa barang itu untuk selanjutnya dapat diproduksi dengan delapan-hari-kerja, dan terjadinya persaingan membuktikan hal ini kepada kedua pihak yang berkontrak itu, maka nilai itu akan berkurang/turun, dengan masing-masing pihak percaya akan kegunaan barang itu, bahwa barang itu dihasratkan, bahwa tanpa hasrat itu tidak akan terjadi perjualan; tetapi penentuan harga itu tidak ada hubungan apapun dengan kegunaan.” ( Etudes, etc. , Vol.II, hal.267, Edisi Brussels)
Penting sekali menekankan bahwa yang menentukan nilai bukanlah waktu yang dipakai untuk memproduksi sesuatu barang, melainkan waktu “minimum” yang memungkinkan produksinya, dan yang minimum ini dipastikan oleh persaingan. Andaikanlah untuk sesaat bahwa tidak ada lagi persaingan dan karenanya tidak ada lagi alat apapun untuk memastikan minimum kerja yang diperlukan untuk produksi sesuatu barang-dagangan; apakah yang akan terjadi? Akan cukup untuk mencurah-kan enam-jam kerja dalam memproduksi sebuah objek, agar mendapat hak, menurut M. Proudhon, untuk menuntut sebagai penukarannya enam-kali lipat lebih banyak dari orang yang hanya memperlukan satu-jam-kerja untuk memproduksi objek yang sama.
Gantinya suatu “hubungan proporsional,” kita dapatkan di sini suatu hubungan disproporsional, yaitu, apabila kita berkukuh pada hubunganhubungan, yang baik ataupun yang buruk.
Depresiasi kerja yang terus-menerus itu baru satu segi, satu konsekuensi dari penilaian barang-barang dagangan dengan waktu kerja. Penaikan harga-harga secara keterlaluan, over-produksi dan banyak ciri lainnya dari anarki industrial dapat dijelaskan dari cara penilaian ini.
Tetapi, adakah waktu kerja yang digunakan sebagai suatu ukuran nilai setidak-tidaknya melahirkan keaneka- ragaman produk-produk secara proporsional yang begitu menggairahkan M. Proudhon?
Sebaliknya, monopoli dalam semua monotininya mengikuti alurnya dan menyerbu dunia produk-produk, presis sebagaimana dalam pengetahuan setiap orang, monopoli menyerbu dunia alat-alat produksi. Hanya dalam beberapa cabang industri, seperti industri kapas, telah terjadi kemajuan yang sangat pesat. Akibat wajar dari kemajuan ini yalah, bahwa produk-produk manufaktur kapas,, misalnya, harganya cepat sekali jatuh: tetapi dengan jatuhnya harga kapas, harga rami mesti naik secara komparatif. Lalu apakah hasilnya? Rami akan digantikan oleh kapas. Dengan demikian, rami telah nyaris digusur dari seluruh Amerika Utara. Dan yang kita dapatkan, gantinya varitas produk yang prioporsional, dominasi kapas.
Apakah yang tersisa dari “hubungan proporsional” ini? Tiada, kecuali keinginan saleh seorang jujur yang menginginkan barang-barang dagangan itu diproduksi dalam proporsi-proporsi yang akan memungkinkan penjualan mereksa dengan harga yang jujur. Pada setiap zaman, burjuasi berwatak-baik dan para ahli-ekonomi filantropik telah bersenang-hati mengucapkan harapan pandir ini.
Mari kita dengarkan yang dikatakan oleh Boisguillebert tua:
“Harga barang-barang dagangan, demikian katanya, selalu mesti proporsional; karena hanya saling pengertian seperti itu saja yang memungkinkan mereka eksis bersama agar setiap saat mereka saling memberi satu sama lain (di sinilah terus-menerus serba-dapat-dipertukarkannya [gagasan] M. Proudhon) dan secara timbal-balik melahirkan satu sama lain..... Maka, karena, kekayaan itu tidak lain yalah pergaulan terus-menerus antara manusia dan manusia, antara keprigelan dan keprigelan, dsb., adalah suatu kebutaan yang mengerikan untuk terus mencaricari sebab kesengsaraan itu kecuali pada penghentian lalu-lintas yang ditimbulkan oleh suatu gangguan atas proporsi harga-harga.” (Dissertation sur la nature des richesses, Ed. Daire [hal.405, 408].) [15]
Mari kita dengarkan juga seorang ahli ekonomi modern:
Hukum agung yang harus diimbuhkan pada produksi, yaitu, hukum proporsi, yaitu satu-satunya yang dapat melestarikan kesinambungan nilai ... Kesetaraannya mesti dijamin ... Semua bangsa telah berusaha, pada berbagai periode sejarah mereka, dengan melembagakan banyak peraturan dan pembatasan komersial, agar, sampai derajat tertentu, objek yang diuraikan di sini ... Tetapi sifat mementingkan diri yang alami dan menjadi pembawaan manusia.... telah mendorongnya untuk meruntuhkan semua peraturan seperti itu. Produksi Proporsional adalah realisasi seluruh kebenaran Ilmu Ekonomi Sosial. (W. Atkinson, Principles of Political Economy, London 1840, hal.170-195.)
Fuit Troja.1 6 Proporsi yang benar antara persediaan dan permintaan ini, yang sekali-lagi mulai menjadi objek dari begitu banyak keinginan, telah lama berselang berhenti adanya. Ia telah beralih ke tahap keuzuran. Ia hanya mungkin pada suatu waktu ketika alat-alat produksi masih terbatas, ketika gerak pertukaran berlangsung di dalam ikatan-ikatan yang sangat terbatas. Dengan lahirnya industri besar-besaran proporsi yang benar ini telah berakhir, dan produksi secara tidak terelakkan dipaksa untuk beralih pada pergantian terus-menerus melalui perubahan-perubahan kesejahteraan, depresi, krisis, stagnasi, pembaruan kesejahteraan, dan begitu seterusnya.
Orang-orang yang, seperti Sismondi, ingin kembali pada proporsi produksi yang benar, sambil melestarikan dasar masyarakat sekarang, adalah reakskionrer, karena, untuk berkanjang, mereka jutga mesti berkeinginan mengembalikan semua kondisi-kondisi lainnya dari industri masa-masa sebelumnya.
Apakah yang menjaga produksi berada dalam proporsi yang benar, atau yang kurang-lebih benar? Yalah permintaan yang mendominasi persediaan, yang mendahuluinya. Produksi sangat mengikuti konsumsi. Industri berskala besar, dipaksa oleh alat-alat yang tersedia untuk memproduksi pada skala yang terus semakin meningkat, tidak dapat menanti-nanti terus akan permintaan. Produksi mendahului konsumsi, persediaan memaksakan permintaan.
Dalam masyarakat yang ada, dalam industri yang berdasarkan pertukaran individual, anarki produksi, yang adalah sumber dari begitu banyak kesengsaraan, sekaligus adalah sumber dari semua kemajuan.
Jadi, salah satu:
Atau anda menghendaki proporsi-proporsi yang benar dari abad-abad lalu dengan alat-alat produksi zaman sekarang, dalam hal mana anda reaksioner dan sekaligus juga seorang utopian.
Atau, anda menghendaki kemajuan tanpa anarki; dalam hal mana, untuk melestarikan kekuatan-kekuatan (tenaga-tenaga) produktif, anda mesti meninggalkan pertukaran individual.
Pertukaran individual hanya cocok bagi industri berskala-kecil dari abad-abad lalu dengan akibat wajar “proporsi yang benar,” atau –kalau tidak itu– industri berskala-besar dengan semua iringannya berupa kesengsaraan dan anarki.
Bagaimanapun, penentuan nilai dengan waktu kerja – yaitu perumusan yang diberikan M. Proudhon kepada kita sebagai perumusan kelahiran kembali masa-depan – oleh karena kcuma ungkapan ilmiah dari hubungan-hubungan ekonomikal masyarakat zaman sekarang, sebagaimana dengan jelas dan dengan cermat didemonstrasikan oleh Ricardo, lama berselang, sebelum M. Proudhon.
Tetapi, –setidak-tidaknya– apakah penerapan “ekualitarian” (kesetaraan/persamaan) perumusan ini kepunyaan M. Proudhon? Adakah ia yang pertama berpikir untuk mengubah masyarakat dengan mentransformasi semua orang menjadi pe-kerja-pekerja aktual yang mempertukarkan jumlah-jumlah kerja yang sama? Adakah menjadi haknya untuk mencela kaum Komunis – orang-orang yang tidak memiliki sedikitpun pengetahuan mengenai ekonomi politik, “orang-orang bodoh yang keras kepala” ini , “tukang-tukang mimpi surga” ini – karena tidak menemukan – sebelum dirinya – “pemecahan problem proletariat” ini?
Siapa saja yang sedikit atau banyak mengenal kecenderungan ekonomi politikal di Inggris tak-mungkin tidak mengetahui bahwa hampir semua kaum Sosialis di negeri itu telah, pada periode-periode berbeda-beda, menyarankan penerapan ekualitarian teori Ricardian. Kita dapat menyebutkan bagi M. Proudhon: Hodgskin, Political Economy,1827;[17] William Thomson, An Inquiry into the Principles of the Distribution of Wealth Most Conducive to Human Happiness, 1824; T.R. Edmonds, Practical Moral and Political Economy, 1828,[18] dsb., dsb., dan empat halaman lebih dsb. Kita akan membatasi diri kita dengan mendengarkan seorang “Komunis Inggris,” Tuan Bray.[19] Kita akan kutib pasase-pasase yang menentukan dalam karyanya yang cemerlang, Labour’s Wrongs and Labour’s Remedy, Leeds 1839, dan kita akan mengedepankannya agar panjang, pertama-tama, karena Tuan Bray masih kurang dikenal di Perancis, dan kedua, karena kita berpendapat bahwa pada dirinya kita telah menemukan kunci ke karya-karya M. Proudhon masa lalu, masa kini dan masa datang.
Jalan satu-satunya untuk sampai pada kebenaran yalah segera ke Azas-azas Pertama ... Mari kita ... segera ke sumber dari mana pemerintahan-pemerintahan itu sendiri telah timbul.... Dengan pergi pada asal-muasal hal-ikhwal secara demikian, kita akan mendapati bahwa setiap bentuk pemerintahan, dan setiap kesalahan sosial dan pemerintahan adalah ditimbulkan oleh sistem sosial yang ada – pada kelembagaan hak-pemilihan sebagaimana yang terdapat (berlaku) sekarang – dan bahwa, karenanya, apabila kita akan mengakhiri kesalahan-kesalahan kita dan kesengsaraan- kesengsaraan kita, segera dan untuk selamanya, maka pengaturan-pengaturan masyarakat yang sekarang ini mesti secara menyeluruh ditumbangkan ... Demikian, dengan memerangi mereka di medan mereka sendiri, dan dengan senjata-senjata mereka sendiri, kita akan menghindari ocehan tidak waras mengenai visioner-visioner dan ahli-ahli teori, yang dengannya mereka begitu siap untuk menyerang semua yang berani bergerak satu langkah saja dari jalan yang sudah banyak ditempuh yang berdasarkan kewenangan, telah dinyatakan sebagai jalan yang benar. Sebelum kesimpulan-kesimpulan yang dicapai lewat proses tindakan seperti itu dapat ditumbangkan, para ahli ekonomi mesti membongkar atau membuktikan kebalikan kebenaran-kebenaran dan azas-azas yang bercokol yang mendasari argumen-argumen mereka sendiri. (Bray, hal.17 dan 41.)
Adalah kerja saja yang memberikan nilai.... Setiap orang mempunyai hak yang tidak dapat diganggu-gugat atas semua, yang, kerjanya secara jujur dapat memberikan kepadanya. Manakala dengan demikian ia menghaki hasil-hasil kerjanya, ia tidak melakukan ketidak-adilan pada setiap makhluk manusia lain; karena ia tidak mencampuri hak orang lain untuk melakukan hal yang sama dengan hasil kerjanya ... Semua ide mengenai atasan dan bawahan (superior dan inferior) – mengenai majikan dan orang– dapat dilacak kembali pada pengabaian Asas-azas Pertama, dan pada timbulnya ketidak-samaan (ketimpangan-/ketidak-adilan)berikutnya mengenai pemilikanpemilikan; dan ide-ide seperti itu tidak akan pernah dihapus, ataupun lembaga-lembaga yang didasarkan padanya ditumbangkan, selama ketidak-adilan ini dipertahankan. Manusia hingga kini secara membuta berharap mengobati keadaan-keadaan sekarang yang tidak wajar itu ... dengan menghancurkan ketidak-adilan yang berlaku, dan membiarkan tak-tersentuh sebab ketidakadilan itu; tetapi akan segera diketahui ... bahwa salah-memerintah bukanlah suatu sebab, melainkan suatu konsekuensi – bahwa ia bukanlah pencipta, melainkan yang diciptakan – bahwa ia anak ketidak-adilan pemilikan-pemilikan; dan bahwa ketidak-adilan pemilikan- pemilikan secara tidak terpisahkan bersangkut-paut dengan sistem sosial kita sekarang. (Bray, hal.33, 36 dan 37.) Tidak hanya peluang-peluang terbesar, melainkan juga keadilan murni, berada di pihak suatu sistem persamaan ... Setiap orang adalah suatu mata-rantai, dan suatu mata-rantai yang tidak bisa tiada, dalam rangkaian akibat-akibat – yang awalnya cuma sebuah ide, dan ujungnya, barangkali, produksi sepotong kain. Demikian, sekalipun kita mungkin mempunyai berbagai perasaan terhadap sejumlah/berbagai pihak, itu tidak berarti bahwa seseorang mesti dibayar lebih baik untuk kerjanya daripada seorang lainnya. Si penemu akan selalu menerima, sebagai tambahan pada upah kebutuhannya yang benar, yang hanya kejeniusan dapat peroleh dari kita – penghargaan berupa kekaguman kita ...
Dari sifat kerja dan pertukaran itu sendiri, keadilan murni tidak hanya mengharuskan bahwa semua pelaku pertukaran mesti bersifat timbal-balik, tetapi bahwa mereka juga harus setara/ sama-sama diuntungkan. Orang hanya punya dua hal yang dapat mereka pertukarkan satusama- lain, yaitu kerja, dan produk dari kerja itu ... Jika suatu sistem pertukaran yang adil yang diberlakukan, maka nilai semua barang akan ditentukan oleh seluruh ongkos produksi; dan nilainilai yang setara akan selalu dipertukarkan untuk nilai-nilai setara. Jika, misalnya, seorang pembuat topi memerlukan satu hari untuk membuat sebuah topi, dan seorang pembuat sepatu waktu yang sama untuk membuat sepasang sepatu – dengan mengandaikan bahan yang dipakai oleh masing-masing pembuat itu sama nilainya – dan mereka saling-menukarkan barang-barang itu satu sama lainnya, maka mereka tidak hanya saling menguntungkan, tetapi juga diuntungkan secara sama/setara: keuntungan yang diperoleh masing-masing pihak tidak merupakan suatu kerugian bagi pihak lainnya, karena masing-masing telah memberikan jumlah kerja yang sama, dan bahan-bahan yang dipergunakan oleh masing- masingnya adalah bernilai sama. Tetapi, jika pembuat topi itu memperoleh dua pasang sepatu untuk sebuah topi – waktu dan nilai bahan sama seperti sebelumnya – pertukaran itu jelas akan merupakan suatu pertukaran yang tidak adil. Pembuat topi itu berarti mencurangi pembuat sepatu dengan kerja sehari; dan kalau yang tersebut duluan itu bertindak demikian dalam semua pertukarannya, ia akan menerima, untuk kerja setengah tahun, produk satu tahun penuh dari seseorang lain. Hingga kini kita tidak memperlakukan/ menyoalkan sistem pertukaran lain kecuali sistem pertukaran-pertukaran yang paling tidak adil ini – para pekerja telah memberikan pada para kapitalis kerja dari setahun penuh, dengan mendapatkan pertukaran nilai dari hanya setengah tahun – dan dari sini, dan bukan dari yang dianggap ketidak-adilan/ketidak-samaan tenaga-tenaga lahiriah dan mental pada individual-individual, telah lahir ketidak-samaan kekayaan dan kekuasaan yang pada masa ini terdapat/berlaku di sekeliling kita. Itu merupakan suatu kondisi ketidak-samaan pertukaran-pertukaran yang tak terelakkan – membeli dengan suatu harga dan menjual dengan harga lain – yang membuat kaum kapitalis tetap menjadi kapitalis, dan kaum pekerja tetap menjadi kaum pekerja – yang satu suatu klas para tiran dan yang lain suatu klas para budak – hingga keabadian ... Seluruh transaksi itu, karenanya, jelas-jelas membuktikan bahwa kaum kapitalis dan pemilik hanya dan semata-mata memberikan kepada para pekerja, untuk kerja satu minggu, sebagian dari kekayaan yang mereka peroleh daringa minggu sebelumn ya! – yang berarti tidak memberikan apa-apa kepadanya untuk sesuatu ... Seluruh transaksi itu, di antara produser dan kapitalis itu, karenanya, merupakan suatu penipuan yang nyata, sebuah akal-akalan belaka: ia adalah, sebenarnya, dalam beribu-ribu peristiwa, tidak lain dan tidak bukan sebuah perampokan terang-terangan sekalipun dilegalisasi. (Bray, hal.45, 48, 49 dan 50.)
... keuntungan pemberi kerja tidak akan pernah berakhir menjadi kerugian pekerja – sampai pertukaran-pertukaran antara pihak-pihak itu setara; dan pertukaran-pertukaran tidak pernah setara selama masyarakat terbagi ke dalam kaum kapitalis dan produser – yang tersebut belakangan hidup dari kerja mereka dan yang tersebut duluan menjadi gembung dari keuntungan kerja itu.
Jelaslah [demikian Mr. Bray melanjutkan] bahwa, apapun bentuk pemerintahan yang kita dirikan ... kita bisa berbicara tentang moralitas dan kasih persaudaraan ... tiada ketimbal-balikan yang dapat ada di mana terdapat pertukaran-pertukaran yang tidak setara/adil. Ketidak-setaraan/ ketidak-adilan pertukaran-pertukaran, sebagai sebab ketidak-setaraan/ketidak-adilan pemilikanpemilikan, merupakan musuh rahasia yang melahap kita. (Bray, hal. 51 dan 52.)
Telah juga disimpulkan dari suatu pertimbangan mengenai niat dan tujuan masyarakat, tidak saja bahwa semua orang mesti bekerja, dan dengan begitu menjadi penukar-penukar, tetapi bahwa nilai-nilai yang sama harus selalu ditukarkan dengan nilai-nilai yang sama – dan bahwa, karena keuntungan seseorang tidak semestinya menjadi kerugian orang lain, nilai semestinya ditentukan oleh ongkos produksi. Tetapi kita telah melihat, bahwa, di bawah pengaturan-pengaturan masyarakat sekarang ... keuntungan si kapitalis dan orang kaya selalu merupakan kerugian si pekerja – bahwa hasil ini akan selalu terjadi, dan orang miskin itu sepenuhnya bergantung pada belas-kasian orang kaya itu, di bawah setiap dan bentuk pemerintahan apapun, selama terdapat ketidak-adilan/ketidak-setaraan pertukaran-pertukaran – dan bahwa kesetaraan pertukaran-pertukaran hanya dapat dijamin di bawah pengaturan-pengaturan sosial di mana kerja adalah universal ... Jika pertukaran-pertukaran itu setara, maka kekayaan kaum kapitalis sekarang itu secara berangsur-angsur akan beralih pada klas-klas pekerja. (Bray, hal. 53-55.)
Selama sistem ketidak-setaraan pertukaran-pertukaran ini ditenggang, para produser akan nyaris sama miskin dan sama terbelakang dan sama bekerja-kerasnya seperti keadaan mereka sekarang, bahkan apabila setiap beban pemerintah disingkirkan dan semua pajak dihapuskan ... tiada kecuali suatu perubahan sistem secara menyeluruh – suatu kesetaraan kerja dan pertukaran-pertukaran – yang dapat mengubah kedudukan akan hak-hak ini ... Para produser hanya mesti melakukan suatu upaya – dan oleh merekalah mesti dilakukan setiap ikhtiar bagi pembebasan mereka sendiri – dan belenggu-belenggu mereka akan diputus-beraikan untuk selama-lamanya ... Dan sebagai suatu tujuan, keadilan politikal itu adalah suatu kegagalan, dan juga sebagai suatu alat, ia adalah suatu kegagalan.
Di mana kesetaraan pertukaran-pertukaran dipertahankan, maka keuntungan seseorang tidak dapat menjadi kerugian orang lain; karena setiap pertukaran dengan begitu cuma suatu transfer, dan bukan suatu pengorbanan, dari kerja dan kekayaan. Demikian, sekalipun di bawah suatu sistem sosial yang berdasarkan kesetaraan pertukaran-pertukaran, seseorang yang pelit dapat menjadi kaya, namun kekayaannya itu tidak lebih daripada akumulasi produk dari kerjanya sendiri. Ia dapat mempertukarkan kekayaannya, atau ia dapat memberikannya pada orangorang lain ... tetapi seorang kaya tidak dapat terus kaya untuk selamanya setelah ia berhenti bekerja. Di bawah ketidak-setaraan pertukaran-pertukaran, kekayaan tidak dapat memiliki, seperti halnya sekarang, sesuatu daya seakan-akan swa-penciptaan dan prokreatif, yaitu yang seperti pembekalan kembali semua sampah dari konsumsi; karena, kecuali itu diperbarui dengan kerja, kekayaan, pabila sudah dikonsumsi, hilanglah untuk selamanya. Yang sekarang disebut laba dan bunga tidak mungkin ada seperti adanya dalam hubungannya dengan kesetaraan pertukaran-pertukaran; karena produser dan distributor akan dibayar secara sama, dan jumlah total kerja mereka akan menentukan nilai barang yang diciptakan dan dibawa kepada para konsumer....
Maka itu, azas kesetaraan pertukaran-pertukaran, dari sifatnya sendiri mesti menjamin kerja universal. (Bray, hal. 67, 88, 89, 94, 109-110.)
Setelah mematahkan keberatan-keberatan para ahli ekonomi terhadap komunisme, Mr. Bray lebih lanjut berkata:
“Maka, apabila, suatu perubahan sifat menjadi hakiki bagi keberhasilan sistem sosial kemasyarakatan dalam bentuknya yang paling sempurna – dan apabila, demikian pula, sistem yang sekarang tidak menyediakan keadaan-keadaan dan tiada fasilitas-fasilitas untuk melaksanakan perubahan sifat/watak yang dipersyaratkan dan menyiapkan orang bagi keadaan yang lebih tinggi dan lebih baik seperti yang dihasratkan – maka jelaslah bahwa hal-hal ini tidak bisa tidak akan tetap saja sebagaimana adanya ... atau sesuatu langkah persiapan mesti ditemukan dan dimanfaatkan – sesuatu gerak yang untuk sebagian ambil-bagian dari sistem yang sekarang dan sebagian lagi ambil-bagian dari sistem yang dihasratkan – sesuatu tempat-tarik-nafas antara, ke mana masyarakat dapat pergi dengan semua kesalahan dan ulahnya, dan dari mana ia dapat bergerak maju, digenangi dengan kualitas-kualitas dan atribut-atribut yang tanpanya sistem kemasyarakatan dan kesetaraan itu tidak dapat bereksistensi. (Bray, hal. 134.)
Seluruh gerakan itu hanya memerlukan kerja-sama dalam bentuknya yang paling sederhana ... Ongkos produksi senantiasa akan menentukan nilai; dan nilai-nilai setara akan selalu ditukar dengan nilai-nilai setara. Jika seseorang bekerja sepanjang seluruh minggu, dan seorang lain hanya bekerja setengah minggu, maka yang tersebut duluan akan menerrima dua-kali lipat bayaran dari yang tersebut belakangan; tetapi bayaran ekstra dari yang seorang itu tidaklah dengan merugikan orang lainnya, begitu juga kerugian yang diderita oleh orang tersebut belakangan itu tidak akan menjadi beban apapun pada yang tersebut duluan. Setiap orang akan mempertukarkan upah yang secara individual diterimanya, untuk barang-barang dagangan dari nilai yang sama seperti upah- masing-masingnya; dan tidak akan terjadi bahwa keuntungan seseorang atau sesuatu pekerjaan menjadi kerugian bagi seorang lain atau pekerjaan lain. Kerja setiap individu saja yang akan menentukan keuntungan-keuntungan atau kerugian-kerugiannya ...
Lewat dewan-dewan perdagangan umum dan lokal ... kuantitas-kuantitas berbagai barang dagangan yang diperlukan bagi konsumsi –nilai relatif masing-masing satu samna lain– jumlah tenaga kerja yang diperlukan di berbagai pekerjaan dan jenis-jenis kerja – dan semua masalah lainnya yang berhubungan dengan produksi dan distribusi, dapatlah dalam waktu singkat dengan sama mudahnya ditentukan bagi suatu bangsa seperti bagi suatu perusahaan individual di bawah pengaturan-pengaturan dewasa ini ... Sebagaimana individu-individu merupakan keluarga-keluarga, dan keluarga-keluarga membentuk kota-kota, di bawah sistem yang ada, seperti itu pula mereka itu jadinya setelah dilaksanakannya perubahan persediaan bersama. Distribusi penduduk di kota-kota dan desa-desa, seburuk-buruk adanya sekarang, tidak akan dicampuri secara langsung......Di bawah sistem kekayaan bersama ini, sama seperti di bawah yang ada sekarang, setiap individu akan bebas mengakumulasi sebanyak yang disukainya, dan menikmati akumulasi-akumulasi kapan dan di mana yang dianggapnya pantas ... Seksi produktif yang besar dari masyarakat ... dibagi ke dalam suatu jumlah tidak menentu seksi-seksi yang lebih kecil, kesemuanya bekerja, memproduksi dan mempertukarkan produk-produk mereka atas dasar kesetaraan yang paling sempurna ... Dan modifikasi kekayaan-bersama (yang tidak lain dan tidak bukan merupakan suatu konsesi pada masyarakat dewasa ini untuk mencapai komunisme), dengan tersusun sedemikian rupa sehingga memperkenankan hak pemilikan perseorangan dalam produksi-produksi dalam hubungannya dengan suatu pemilikan bersama atas tenaga-tenaga produktif – menjadikan setiap individu bergantung pada pengerahan diri sendiri, dan bersamaan dengan itu memperkenankannya suatu penyertaan yang setara dalam setiap peluang yang diberikan oleh alam dan keahlian – dicocokkan untuk menerima masyarajat sebagai mana adanya, dan untuk mempersiapkan jalan bagi perubahan-perubahan lain dan lebih baik.” (Bray, hal. 158, 160, 162, 168 dan 194.)
Kita sekarang cuma perlu menjawab dengan beberapa kata pada Mr. Bray yang tanpa kita dan ada atau tidak adanya kita telah berhasil menggantikan M. Proudhon, dengan pengecualian bahwa Mr. Bray, jauh daripada mengklaim kata terakhir atas nama kemanusiaan, Cuma menyarankan tindakan-tindakan yang dianggapnya baik bagi suatu masa peralihan antara masyarakat yang ada sekarang dan suatu rezim kemasyarakatan.
Satu jam kerja Peter ditukarkan dengan satu jam kerja Paul. Itulah aksioma dasar Mr. Bray.
Mari kita andaikan bahwa Peter ada dua belas jam kerja di hadapannya, dan Paul hanya enam jam. Peter akan dapat mengadakan suatu pertukaran dengan Paul dengan besaran enam untuk enam saja. Sebagai konsekuensinya, Peter akan mempunyai sisa enam jam kerja. Apakah yang akan dilakukannya dengan enam jam kerja ini?
Satu di antara dua: Peter tidak akan melakukan apa-apa – dalam hal mana berarti bahwa ia telah bekerja secara percuma enam jam lamanya; atau kalau tidak begitu, sebagai jalan terakhir, ia akan sekalian memberikan enam jam kerja ini, yang tiada diperlukannya itu, kepada Paul.
Akhirnya, apakah yang telah diperoleh lebih banyak oleh Peter daripada oleh Paul? Beberapa jam kerja? Tidak! Ia hanya telah memperoleh (diuntungkan) beberapa jam kesantaian; ia akan terpaksa memerankan pemalas selama enam jam. Dan agar hak baru untuk bermalas-malasan ini tidak saja dapat dinikmati tetapi juga dicari-cari (dikejar) dalam masyarakat baru itu, maka masyarakat ini akan memperoleh puncak kenikmatannya pada keisengan, dan akan memandang kerja sebagai belenggu berat yang darinya ia mesti membebaskan dirinya dengan segala ikhtiar usahanya.
Dan memang, untuk kembali pada contoh kita, hanya apabila jam-jam keisengan yang telah diperoleh Peter secara melebihi Paul itu benarbenar suatu keuntungan! Sama sekali tidak demikian halnya! Paul, dengan mulai bekerja hanya enam jam, dengan bekerja rajin dan teratur memperoleh suatu hasil yang diperoleh oleh Peter hanya dengan memulai kerja secara berlebih. Setiap orang akan ingin menjadi seperti Paul, akan terjadi suatu perlombaan untuk menduduki posisi Paul, suatu perlombaan dalam keisengan
Nah! Apakah yang dihasilkan oleh pertukaran kuantitas-kuantitas kerja yang setara itu bagi kita? Kelebihan produksi, depresiasi (penurunan harga) kelebihan kerja yang disusul pengangguran; singkatnya, hubungan-hubungan ekonomi seperti yang kita saksikan dalam masyarakat dewasa ini, minus perlombaan kerja.
Tidak! Kita salah! Masih ada suatu peluang yang mungkin menyelamatkan masyarakat baru dari Peter dan Paul ini. Peter akan mengkonsumsi sendiri produk enam jam kerja yang telah disisakannya. Tetapi untuk sementara ia tidak mesti mempertukarkan lagi, karena ia sudah memproduksi, ia tidak ada kebutuhan untuk berproduksi untuk pertukaran; dan seluruh hipotesis mengenai suatu masyarakat yang didasarkan pada pertukaran dan pembagian kerja akan runtuh. Kesetaraan pertukaran akan diselamatkan oleh kenyataan bahwa pertukaran akan berakhir keberadaannya: Paul dan Peter akan sampai pada posisi Robinson.
Demikian, jika semua anggota masyarakat diandaikan pekerja-pekerja sesungguhnya, maka pertukaran kuantitas-kuantitas jam-jam kerja yang setara hanya mungkin dengan syarat bahwa jumlah jam- jam yang dihabiskan dalam produksi material itu disetujui ksebelumnya. Tetapi sebuah persetujuan seperti itu menegasikan pertukaran individual.
Kita tetap sampai pada hasil yang sama jika kita pakai sebagai titik berangkat kita bukannya distribusi produk-produk yang diciptakan melainkan tindakan produksi itu. Dalamn industri besar-besaran, Peter tidak bebas menentukan waktu kerjanya, karena kerja Peter bukan apa-apa tanpa kerja-sama semua Peter dan semua Paul yang menjadikan tempat-kerja itu sebuah kenyataan. Ini dengan baik sekali menjelaskan perlawanan yang gigih yang dilancarkan para pemilik pabrik Inggris terhadap Undang-undang (Kerja) Sepuluh Jam. Mereka memahami sepenuh-penuhnya bahwa suatu pengurangan 2 jam kerja bagi kaum perempuan dan anak-anak[20] akan mengakibatkan suatu pengurangan jam kerja yang sama bagi para pria dewasa. Menjadi sifat industri raksasa bahwa jam kerja haruslah sama bagi semua orang. Yang dewasa ini merupakan hasil modal dan persaingin kaum pekerja di antara mereka sendiri, –jika telah diputuskan hubungan antara kerja dan modal–, esok akan menjadi sebuah persetujuan aktual yang didasarkan pada hubungan antara jumlah kekuatan-kekuatan produktif dan jumlah kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Tetapi persetujuan seperti itu adalah sebuah pengutukan terhadap pertukarn individual, dan kita kembali lagi pada kesimpulan kita yang pertama!
Pada dasarnya tidak terjadi pertukaran produk-produk – tetapi ada pertukaran kerja yang bekerja-sama dalam produksi. Cara pertukaran produk-produk bergantung pada cara pertukaran tenaga- tenaga produktif. Pada umumnya, bentuk pertukaran produk-produk bersesuaian dengan bentuk produksi. Ubahlah yang tersebut belakangan, dan yang tersebut duluan akan berubah sebagai konsekuensi. Demikian di dalam sejarah masyarakat kita melihat bahwa cara pertukaran produk-produk diatur oleh cara memproduksinya. Pertukaran individual bersesuaian juga dengan suatu cara produksi tertentu, yang sendiri bersesuaian dengan antagonisme klas. Dengan demikian maka tidak ada pertukaran individual tanpa antagonisme klas-klas.
Tetapi hati-nurani yang terhormat menolak melihat kenyataan yang gamblang ini. Selama seseorang itu seorang burjuis, orang tidak dapat kecuali melihat dalam hubungan antagonisme ini suatu hubungan keserasian dan keadilan abadi, yang tidak memperkenankan seorangpun menarik keuntungan dengan mengorbankan orang lain. agi kaum borjuis, pertukaran individual dapat ada tanpa sesuatu antagonisme kelas-kelas apapun. Baginya, ini merupakan dua hal yang sama sekali tidak bersangkutan. Pertukaran individual, sebagaimana kaum borjuis memahaminya, jauh daripada menyerupai pertukaran individual sebagaimana itu benar-benar adanya di dalam praktek.
Tuan Bray mengubah “ilusi” burjuis yang terhormat menjadi sebuah “ideal” yang ia sendiri ingin capai. Dalam suatu pertukaran individual yang dimurnikan, yang bebas dari semua unsur antagonisme yang ditemukannya di dalamnya, ia melihat suatu hubungan “kesetaraan/ekualitarian” yang ia inginkan diterima masyarakat umumnya.
Tuan Bray tidak melihat bahwahubungan ekuilitarian ini, “ideal korektif” yang ingin ia terapkan pada dunia, sendirinya tidak lain hanyalah suatu pencerminan dari dunia aktual; dan karenanya secara total tidaklah mungkin untuk membangun kembali masyarakat atas dasar yang Cuma sekedar bayang-bayang yang menjadi embel-embel dari padanya. Dalam proporsi bayang-bayang itu bersubstansi kembali, kita memahami bahwa substansi ini, jauh daripada transfigurasi yang kita impikan, adalah ujud aktual dari masyarakat yang ada.
[11] Periode bersangkutan dimulai setelah berakhirnya peperangan-peperangan Napoleonik dan restorasi dinasti Bourbon di Perancis di tahun 1815.
[12] Referensi sepenuhnya adalah: Adam Smitch, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Edisi pertama muncul di London di tahun 1776.
[13] Dalam copy yang dipersembahkan Marx kepada N. Uitina di tahun 1876, setelah kata kerja ditambahkan kata tenaga kerja. Tambahan ini ditemui dalam edisi Perancis dari tahun 1896.
[14] Iuvenalis Satirae.
[15] Karya Boisguillebert dikutib dari simposium Economistes-financiers du XVIII siecle. Dengan kata-pengantar sebuah sketsa historikal mengenai setiap pengarang dan disertai komentar-komentar dan catatan-catatan penjelasan oleh Eugene Daire;Paris, 1843.
[16] Troya sudah tiada /lenyap.
[17] Referensi sepenuhnya adalah: Th. Hodgskin, Popular Political Economy, London, 1827. Yang orisinil secara salah mencantumkan nama Hopkins. Pada tahun 1892, dalam edisi Jerman kedua dari Kemiskinan Filsafat, Engels mengoreksi ketidak-cermatan ini, yang telah digunakan oleh juris borjuis Austria, Menger, untuk membuat asumsi-asumsi yang tidak bertanggung jawab mengenai referensi Marx ini.
[18] Buku-buku oleh Thompson dan Edmonds telah diterbitkan di London.
[19] Inisialnya adalah J.H.
[20] Undang-undang Sepuluh Jam, yang hanya diterapkan pada kaum wanita dan anak-anak, disahkan oleh Parlemen Inggris pada tanggal 8 Juni 1847. Namun, banyak pengusaha manufaktur tidak menghiraukan undang-undang tersebut di dalam prakteknya.
*Ricardo, seperti sudah sangat diketahui, menentukan nilai sebuah barang-dagangan dengan kuantitas kerja yang diperlukan bagi produksinya. Namun, karena bentuk pertukaran yang berlaku dalam setiap cara produksi yang didasarkan pada produksi barang-barang dagangan, termasuk di situ cara produksi kapitalis, maka nilai ini tidak secara langsung dinyatakan dalam kuantitas-kuantitas kerja, tetapi dalam kuantitas-kuantitas sesuatu barang-dagangan lainnya. Nilai sebuah barang-dagangan yang dinyatakan dalam suatu kuantitas sesuatu barang-dagangan lainnya (apakah itu uang atau bukan) diartikan oleh Ricardo sebagai nilai
relatifnya. (Catatan F. Engels pada Edisi Jerman, 1885)]
** Tesis bahwa harga tenaga kerja “alami,” yaitu yang normal itu bertepatan dengan upah minimum, yaitu, dengan ekuivalen nilai alat-alat kehidupan yang secara mutlak tidak bisa tidak ada bagi kehidupan dan perkembang-biakan kaum pekerja, untuk pertama kalinya telah kukemukakan dalam Sketches for a Critique of Political Economy (Deutch-Französische Jahrbücher [Franco-German Annuals], Paris 1844) dan dalam The Conditions of the Working Class in England in 1844. Seperti terlihat di sini, Marx pada waktu itu menerima tesis itu. Lassale mengambil-alihnya dari kami berdua. Namun, sekalipun dalam kenyataan upah-upah selalu cenderung mendekati minimumnya, tesis di atas ini betapapun adalah tidak-tepat. Kenyataan bahwa kerja itu secara teratur dan rata-rata dibayar di bawah nilainya tidak dapat mengubah nilainya. Dalam Capital, Marx telah meluruskan kedua tesis di atas (Seksi mengenai “Penjualan dan Pembelian Tenaga Kerja”) dan juga (Bab.25: The General Law of Capitalist Accumulation) menganalisis keadaan-keadaan yang memperkenankan produksi kapitalis menekan/menurunkan harga tenaga kerja semakin di bawah nilainya. [ Catatan oleh F. Engels pada Edisi Jerman, 1885]
*** Teori Tuan Bray, seperti semua teori (lainnya), telah mendapatkan pendukung-pendukung yang memperkenankjan diri mereka disesatkan oleh penampilan-penampilan. Bazar-bazar pertukaran-kerjasecara-adil telah didirikan di London, Sheffield, Leeds dan banyak kota lain di Inggris. Bazar-bazar ini kesemuanya terlah berakhir dalam kegagalan-kegagalan yang menghebohkan setelah menyerap sejumlah besar modal. Selera akan itu telah lenyap untuk selamanya. Anda telah diperingatkan, M. Proudhon! [catatan dari Marx] Telah diketahui bahwa Proudhon tidak mencamkan peringatan ini. Pada tahun 1849 ia sendiri berusaha dengan sebuah Bank Pertukaran yang baru di Paris. Namun bank itu, sudah gagal bahkan sebelum dimulai dengan selayaknya; suatu perkara pengadilan terhadap Proudhon terpaksa dilangsungkan untuk menanggulangi keruntuhannya.(catatan F. Engels pada edisi Jerman, 1885)