“Kritik Kritis” yang dipersonifikasi pada Szeliga-Wischnu “memberikan” suatu apotheosis dari Mystères de Paris. Eugène Sue diproklamasikan seorang “Pengritik Kritis.” Mendengar ini, ia dapat berseru seperti Bourgeois Gentilhomme-nya Molière:
“Faith, aku telah berbicara prosa selama lebih dari empat puluh tahun tanpa mengetahuinya: aku berterima-kasih tak-terhingga banyaknya padamu karena memberitahukan hal itu padaku.”
Herr Szeliga memprakatai kritiknya dengan sebuah prolog “estetik.” “Prolog Estetik itu” memberikan penjelasan berikut ini mengenai arti umum dari epos “Kritis” dan khususnya arti umum dari Mystère deParis:
“Epos melahirkan pikiran bahwa yang sekarang itu pada dirinya sendiri bukanlah apa-apa, dan tidak hanya (bukan apa-apa dan tidak hanya!) perbatasan abadi di antara yang lalu dan hari depan, tetapi [bukan apa-apa, dan tidak hanya, tetapi] tetapi jurang yang secara terus-menerus mesti diisi dan yang memisahkan keabadian ( immortality) dari mudah-musnahnya (perishableness) ... Sepert itulah arti umum dari Mystère de Paris.”
“Prolog Estetik” selanjutnya menegaskan bahwa “bila sang pengritik mau, ia juga dapat menjadi seorang penyair.”
Keseluruhan kritik Herr Szeliga akan membuktikan pernyataan itu. Ia adalah sebuah sajak dalam segala seginya.
Ia adalah juga sebuah produk dari “seni bebas” menurut definisi seni di dalam “prolog estetik” –ia “menciptakan sesuatu yang baru sekali, sesuatu yang secara mutlak tidak pernah ada sebelumnya
Akhirnya, ia bahkan sebuah “epos Kritis,” karena ia merupakan “sebuah jurang yang mesti secara terus-menerus diisi,” dan yang “memisahkan keabadian” –Kritik Kritisnya Herr Szeliga – dari “mudahmusnahnya” novel Eugène Sue.
1) Misteri mengenai Degenerasi dalam Peradaban dan Misteri mengenai Ketidak-adilan dalam Negara
Feuerbach, kita tahu, memahami ide-ide Kristiani dari Inkarnasi, Trinitas, Keabadian dsb., sebagai misteri dari Inkarnasi, misteri dari Trinitas, misteri dari Keabadian. Herr Szeliga memahami semua kondisi dunia dewasa ini sebagai misteri-misteri. Namun, manakala Feuerbach mengungkapkan “misteri-misteri yang sesungguhnya,” Herr Szeliga membuat “misteri-misteri” dari yang sesungguhnya “hal-hal remeh.” Seninya bukanlah yang mengungkapkan yang tersembunyi, tetapi menyembunyikan yang terungkap.
Demikian ia memproklamasikan degenerasi (kriminal-kriminal) dalam peradaban dan ketidak-adilan dan ketidak-samaan di dalam negara sebagai “misteri-misteri.” Sehingga literatur sosialis, yang mengungkapkan misteri-misteri ini, tetap merupakan sebuah misteri bagi Herr Szeliga, atau ia ingin menjadikan suatu misteri “Kritik Kritis” privat dari hasil-hasil yang paling terkenal dari literatur itu.
“Di depan hukum dan hakim segala-sesuatu adalah sama, yang tinggi dan yang rendah, yang kaya dan yang miskin. Kalimat ini adalah di paling atas dalam Kredo negara.”
Dari negara? Sebaliknya, kredo kebanyakan negara mulai dengan membuat yang tinggi dan yang rendah, yang kaya dan yang miskin tidak sama di depan hukum.
“Morel yang membatu dalam kejujuran naifnya secara paling jelas mengungkapkan misteri itu [Misteri mengenai kontradiksi antara miskin dan kaya] ketika ia berkata: ‘Ah, seandainya kaum kaya itu tahu!’ ‘Ah, seandainya kaum kaya itu tahu!’ Malangnya ialah, bahwa mereka tidak mengetahui apa kemiskinan itu.”
Herr Szeliga tidak mengetahui bahwa Eugène Sue melakukan suatu anakronisme karena hormatnya pada burjuasi Perancis ketika ia memasang motto dari kaum kaula zaman Louis XIV Ah! Si le roi lesavait! (“Ah, seandainya raja mengetahui hal itu”) ke mulut Morel yang seorang pekerja itu, yang hidup di zaman Charte vérité.[22]
Di Inggris dan Perancis, setidak-tidaknya, hubungan naif antara kaya dan miskin telah berakhir. Di sana, para wakil ilmiah dari kekayaan, para ahli ekonomi, telah menyebarkan pemahaman yang sangat terinci mengenai kesengsaraan fisik dan moral dari kepemilikan. Mereka telah membereskan itu dengan membuktikan bahwa kesengsaraan mesti tetap ada karena kondisi sekarang mesti tetap ada. Di dalam kecemasan mereka, mereka bahkan telah memperhitungkan “proporsi-proporsi” di mana kemiskinan mesti membinasakan sebagian besar demi untuk kebaikan kekayaan dan punyanya sendiri.
Jika Eugène Sue melukiskan kedai-kedai, tempat-tempat persembunyian dan bahasa para “penjahat,” Herr Szeliga mengungkapkan “misteri” bahwa yang diinginkan sang pengarang adalah tidak melukiskan bahasa itu atau tempat-tempat persembunyian itu, tetapi “untuk mengajarkan pada kita misteri-misteri sumber-sumber utama dari kebatilan, dsb. Karena para penjahat itu justru betah di tempat-tempat yang paling ramai.”
Apakah yang akan dikatakan seorang ilmuwan alam jika mesti dibuktikan padanya, bahwa sel lebah tidak menarik baginya sebagai sel lebah, bahwa itu tidak merupakan misteri bagi seseorang yang tidak mempelajarinya, karena sang lebah itu “justru betah” di udara terbuka dan di atas kembang? Tempat-tempat persembunyian para penjahat dan bahasa mereka mencerminkan watak-watak dari yang penjahat, mereka adalah bagian dari keberadaannya, gambaran mereka itu bagian dari gambarannya sebagaimana gambaran dari “rumah kecil (petit maison)” adalah bagian dari gambaran dari femme galante.
Bagi penduduk Paris pada umumnya dan bahkan bagi polisi Paris tempat-tempat persembunyian para penjahat begitu merupakan sebuah “misteri” sehingga pada saat ini jalan-jalan lebar yang berpenerangan terang sedang dirancang di Cite untuk memberi jalan masuk ke mereka itu bagi polisi.
Akhirnya, Eugène Sue sendiri menyatakan bahwa dalam gambarangambaran tersebut di atas ia mengandalkan dirinya pada “keingintahuan malu-malu” para pembacanya. Eugène Sue bersandar pada keingin-tahuan malu-malu para pembacanya dalam semua novelnya. Cukup diingat Atar Gull, Salamander. Plick and Plock, dsb.
2) Misteri dari Konstruksi Spekulatif
Misteri penyajian Kritis dari Mystères de Paris adalah misteri “konstruksi Hegelian yang spekulatif.” Begitu Herr Szeliga memproklamasikan “degenerasi di dalam peradaban” dan ketidak-adilan dalam negara “Misteri-misteri,” yaitu, setelah membubarkannya dalam kategori “Misteri,” ia membiarkan “Misteri” memulai “karirnya yang spekulatif.” Beberapa kata saja sudah cukup untuk mengkarakterisasi konstruksi spekulatif “pada umumnya”; perlakuan Herr Szeliga atas Mystère de Paris akan memberikan penerapannya “secara terperinci.”
Jika dari buah-buah apel, pir, arbei dan badam sesungguhnya aku membentuk ide umumku “Buah-buahan,” jika aku lebih lanjut dan “membayangkan” bahwa ide abstrakku “Buah-buahan,” yang diderivasi dari buah-buahan sesungguhnya, adalah suatu entitas keberadaan di luar diriku, memang esensi “sebenarnya” dari pir, apel, badam, dsb.; maka, dalam “bahasa filsafat spekulatif” aku menyatakan bahwa “Buah-buahan” adalah “substansi” -nya pir, apel, badam dsb. Dengan begitu aku –oleh karenanya– mengatakan bahwa untuk menjadi sebuah pir tidaklah esensial bagi pir itu, bahwa untuk menjadi sebuah apel tidak esensial bagi apel itu; bahwa yang esensial bagi benda-benda itu bukanlah keberadaannya yang sesungguhnya, yang tampak bagi panca-indera, tetapi esensi yang telah aku tarik darinya dan kemudian disisipkan ke atasnya/padanya, esensi dari ideku – “Buah-buahan.” Oleh karenanya aku menyatakan apel, pir, badam dsb. cuma bentuk-bentuk keberadaan, modi, dari “Buah-buahan.” Pengertianku yang terbatas, yang didukung oleh inderaku memang, tentu saja, “membedakan” sebuah apel dari sebuah pir dan sebuah pir dari sebuah buah badam; tetapi nalar spekulatifku menyatakan perbedaan-perbedaan inderawi ini tidak-esensial, takpenting. Yang dilihatnya dalam buah apel itu “yang sama” dalam buah pir, dan dalam buah pir itu, yang sama di dalam buah badam, yaitu “Buah-huahan.” Khususnya buah-buahan sesungguhnya adalah tidak lebih daripada kemiripan-kemiripan yang esensi sesungguhnya adalah “Substansi itu” – “Buah-buahan.”
Dengan metode ini orang tidak memperoleh kekhususan “kekayaan definisi.” Sang ahli mineral (mineralogis) yang seluruh ilmunya terdiri atas pernyataan bahwa semua mineral adalah sungguh-sungguh “Mineral” hanya akan menjadi seorang mineralog dalam “imajinasinya.”
Bagi setiap mineral sang mineralog berkata “Mineral” dan ilmunya direduksi pada pengulangan kata itu sesering terdapatnya mineral-mineral yang sesungguhnya.
Dengan mereduksi buah-buahn sungguh-sungguh yang berbeda itu menjadi “satu” buah abstraksi itu –“Buah-buahan,” spekulasi mesti, agar supaya mencapai sesuatu bentuk isi sesungguhnya, bagaimanapun mencoba menemukan jalannya balik dari “Buah-buahan,” dari Substansi pada berbagai buah-buahan duniawi sesungguhnya, buah pir, buah apel, buah badam dsb. Adalah sama sulitnya untuk memproduksi buah-buahan sesungguhnya dari ide abstrak “Buah-buahan” seperti mudahnya memproduksi ide abstrak ini dari buah-buahan sesung-guhnya. Memang tidak mungkin sampai pada “kebalikan” sebuah abstraksi tanpa melepaskan abstraksi itu.
Oleh karenanya, sang filsuf spekulatif melepaskan abstraksi “Buahbuahan,” tetapi dengan suatu gaya “mistis,” “gaya yang spekulatif” – dengan bentuk tidak melepaskannya. Dengan demikian ia di atas abstraksinya hanya dalam bentuk/penampilan. Ia berargumentasi sebagai berikut:
Jika buah-buah apel, pir, badam dan arbei sungguh-sungguh bukan apa-apa kecuali “Substansi,” “Buah-buahan,” maka pertanyaannya timbul: Mengapa “Buah-buahan” memanifestasikan dirinya padaku kadangkadang sebagai sebuah buah apel, kadang-kadang lagi sebagai sebuah buah pir, kadang-kadang sebagai sebuah buah badam? Mengapa “bentuk keberagaman” ini, yang begitu mencolok kontradiktif dengan konsepsi spekulatifku “Kesatuan; Substansi; Buah-buahan?”
Ini, demikian jawab sang filsuf spekulatif, adalah karena buah-buahan tidak mati, tidak-didiferensiasi, tidak bergerak, tetapi hidup, mendiferensiasi-diri, bergerak. Keberagaman buah-buahan duniawi tidak hanya penting bagi pengertian inderawi- ku, tetapi juga bagi “Buahbuahan” itu sendiri dan bagi penalaran spekulatif. Berbagai buah-buahan duniawi itu adalah berbagai manifestasi kehidupan “Buah-buahan yang satu” itu; mereka itu adalah penghabluran (kristalisasi) “Buah-buahan” itu sendiri. Dalam buah apel itu “Buah-buahan” memberikan suatu keberadaan seperti-apel pada dirinya sendiri, dalam buah pir suatu keberadaan seperti-pir. Oleh karenanya kita jangan lagi berkata seperti dari pendirian Substansi: buah pir adalah “Buah-buahan,” buah apel adalah “Buah-buahan,” dan buah badam adalah “Buah-buahan,” tetapi “Buah-buahan” menyajikan dirinya sebagai buah pir, “Buah-buahan” menyajikan dirinya sebagai buah apel, “Buah-buahan” menyajikan dirinya sebagai buah badam; dengan perbedaan-perbedaan yang membedakan buah apel, buah pir dan buah badam satu sama lainnya adalah diferensiasi-diferensiasi diri “Buah-buahan” yang menjadikan buah-buah tertentu itu anggota-anggota tundukan dari proses-kehidupan Buah-buahan. Dengan demikian “Buah-buahan” tidak lagi suatu kesatuan yang tanpa-isi, kesatuan yang tidak-didiferensiasi; ia adalah kesatuan (ketunggalan) sebagai “kesemuaan ( allness),” sebagai “ totalitas buahbuahan, yang merupakan suatu rangkaian organik yang bercabangcabang.” Dalam setiap anggota dari rangkaian itu, Buah-buahan memberikan pada dirinya suatu keberadaan yang lebih berkembang, keberadaan yang lebih eksplisit, hinggga akhirnya ia merupakan ikhtisar dari semua buah-buahan dan sekaligus “kesatuan” hidup yang mengandung semua buah-buahan itu yang buyar dalam dirinya, seperti, misalnya, semua anggota badan terus-menerus buyar dalam darah dan terus-menerus diproduksi dari darah.
Kita melihat bahwa pabila religi Kristiani hanya mengetahui “satu Inkarnasi Tuhan,” filsafat spekulatif mempunyai sebanyak inkarnasi seperti banyak benda-benda, tepat sebagaimana adanya di sini, di dalam setiap buah-buahan, suatu inkarnasi dari “Substansi” itu, dari “Buahbuahan” Mutlak. Perhatian utama bagi filsuf spekulatif oleh karenanya adalah memproduksi “keberadaan” buah-buah duniawi yang sesungguhnya dan mengatakan dengan sesuatu cara misterius bahwa terdapat buah-buah apel, pir, badam dan kismis. Tetapi buah-buah apel, pir, badam dan kismis yang kita dapatkan di dalam dunia spekulatif tidak lain dan tidak bukan hanyalah “kemiripan” dari buah apel, “kemiripan” dari buah pir, “kemiripan” dari buah badam dan “kemiripan” dari buah kismis; kesemuanya itu adalah momen-momen dalam kehidupan “Buah-buahan,” “keberadaan nalar” yang abstrak itu, dan karenanya mereka sendiri “keberadaan-keberadaan nalar.” Karenanya, yang anda nikmati dalam spekulasi yalah mendapatkan semua buah-buahan sungguh-sungguh di sana, tetapi sebagai buah-buahan yang memiliki suatu makna mistik lebih tinggi, yang tumbuh dari ether otak dan tidak dari bumi material, yang adalah inkarnasi-inkarnasi dari “Buah-buahan,” “Subyek Mutlak itu.” Manakala anda kembali dari abstraksi itu, keberadaan nalar di luar batas kewajaran, Buah-buahan, pada buah-buahan alamiah yang sesungguhnya, anda memberikan, secara terbalik, buah-buahan alamiah suatu makna di luar batas kewajaran dan mentransformnya menjadi sekian banyak abstraksi. Kemudian perhatian utama anda adalah menunjuk kesatuan buah-buahan dalam semua manifestasi kehidupannya –buah apel, buah pir, buah badam– yaitu, interkoneksi mistis antara buah-buah ini, bagaimana dalam setiap dari mereka Buah-buahan berkembang secara berangsur-angsur dan tidak bisa- tidak maju, misalnya, dari keberadaannya sebagai buah kismis pada keberadaannya sebagai buah badam. Nilai buah-buah duniawi itu tidak lagi terdiri atas kualitas-kualitas alamiah-nya, tetapi dalam proses-hidup dari Buah-buahan Mutlak.
Manusia biasa tidak beranggapan dirinya mengatakan sesuatu yang luar-biasa ketika ia menyatakan bahwa terdapat buah-buah apel dan buah-buah pir. Tetapi, bila sang filsuf menyatakan keberadaan-keberadaan itu dalam cara spekulatif, maka ia mengatakan sesuatu yang luar-biasa. Ia mengerjakan sesuatu keajaiban dengan memproduksi keberadaan alamiah yang sesungguhnya, buah apel itu, buah pir itu, dsb., dari keberadaan nalar yang tidak-nyata Buah-buahan, yaitu, dengan menciptakan buah-buah itu dari nalar abstraknya sendiri, yang dipandangnya sebagai suatu Subyek Mutlak di luar dirinya sendiri, diwakili di sini sebagai Buah-buahan. Dan dalam setiap keberadaan yang ia nyatakan, ia menuntaskan suatu tindak penciptaan.
Dengan sendirinya sang filsuf spekulatif melaksanakan penciptaan terus-menerus ini hanya dengan menyajikan kualitas-kualitas yang dikenal secara universal dari buah apel, buah pir, dsb., yang memang ada dalam realitas, sebagai definisi-definisi yang ditemukan olehnya; dengan memberikan nama-nama dari benda-benda sesunggguhnya pada yang hanya dapat diciptakan oleh nalar abstrak, pada formula abstrak dari nalar; akhirnya, dengan menyatakan aktivitasnya sendiri, yang dengannya ia beralih dari ide sebuah buah apel pada ide sebuah buah pir, menjadi swa-aktivitas Subyek Mutlak, Buah-buahan.
Dalam cara bicara spekulatif, operasi ini disebut memahami substansi sebagai subyek, sebagai suatu proses internal, sebagai suatu Person Mutlak dan pemahaman itu merupakan watak esensial dari metode Hegel.
Pernyataan-pernyataan pendahuluan ini perlu untuk membuat Herr Szeliga dapat dimengerti orang. Setelah sejauh ini membuyarkan hubungan-hubungan sesungguhnya, misalnya, kebenaran dan peradaban, di dalam kategori misteri-misteri dan dengan begitu menjadikan Misteri itu suatu substansi, ia kini naik ke ketinggian Hegelian yang sungguh-sungguh spekulatif dan mengubah Misteri menjadi swa-beradanya subyek yang berinkarnasi sendiri dalam situasi-situasi dan person-person sesungguhnya sehingga manifestasi-manifestasi dari kehidupannya adalah para puteri, para bangsawan, para gadis pekerja, para buruhangkut barang/penjaga pintu, para notaris dan para tukang-obat, intrikintrik cinta, pesta-pesta dansa, pintu-pintu kayu, dsb. Setelah memproduksi kategori Misteri dari dunia nyata, ia memproduksi dunia nyata dari kategori itu.
Misteri-misteri mengenai konstruksi spekulatif dalam sajian Herrr Szeliga akan semakin diungkapkan secara lebih tampak karena ia mempunyai suatu kelebihan dua kali lipat atas Hegel yang tak dapat disangkal . Pertama, Hegel mempunyai keahlian canggih karena mampu menyajikan proses yang dengannya sang filsuf beralih lewat pemahaman dan imajinasi inderawi dari satu obyek ke lain obyek, sebagai proses dari keberadaan nalar yang dibayangkan itu sendiri, dari Subyek Mutlak. Di samping itu, Hegel sangat sering memberikan suatu presentasi sungguh-sungguh, yang meliputi hal ikhwal itu sendiri, di dalam presentasi spekulatif itu. Penalaran sesungguhnya di dalam penalaran spekulatif itu menyesatkan para pembaca untuk memandang penalaran spekulatif itu sebagai yang sesungguhnya dan yang sesungguhnya itu sebagai spekulatif.
Dengan Herr Szeliga, kedua kesulitan itu lenyap. Dialektikanya tidak munafik atau berdalih. Ia melakukan tipu-tipunya dengan kejujuran yang paling terpuji dan keterus-terangan yang paling tulus. Namun, ia sama sekali tidak mengembangkan sesuatu isi sesungguhnya, sehingga konstruksi spekulatifnya bebas dari semua komplikasi yang mengganggu, bebas dari semua samaran-samaran kabur, dan menarik bagi mata dalam keindahannya yang telanjang. Dalam Herr Szeliga kita juga melihat sebuah lukisan cemerlang mengenai bagaimana spekulasi itu, di satu pihak tampak dengan bebas menciptakan obyeknya secara apriori dari dirinya sendiri, dan di pihak lain, justru dengan alasan bahwa ia ingin bebas dengan sofistika ketergantungannya yang masuk-akal dan alamiah mengenai obyek itu, jatuh ke dalam keterbelengguan yang paling tidak masuk akal dan tidak-wajar pada obyek yang atribut-atributnya yang paling kebetulan dan individual yang secara mutlak dan umum mesti ia bangun/bentuk.
3) Misteri Masyarakat Terpelajar
Setelah memandu kita melalui lapisan-lapisan masyarakat yang paling rendah, misalnya melalui kedai-kedai para penjahat, Eugène Sue membawa kita ke masyarakat elit, ke suatu pesta dansa di Quarter Saint Germain.
“Transisi” ini dibentuk Herr Szeliga sebagai berikut: “Misteri berusaha menghindari pengamatan dengan suatu pelintiran baru: sejauh ini ia tampak sebagai yang secara mutlak membingungkan, sukar dipahami dan negatif, berlawanan dengan yang benar, yang sesungguhnya dan positif; sekarang ia menarik diri ke dalam yang tersebut terakhir sebagai isinya yang tidak tampak. Tetapi dengan berbuat begitu ia melepaskan kemustahilan mutlak untuk diketahui.”
Misteri yang sejauh ini muncul secara berlawanan dengan yang benar, yang sesungguhnya, yang positif, yaitu , dengan hukum dan pendidikan, kini menarik diri ke dalam yang tersebut terakhir, yaitu ke dalam dunia pendidikan. Jelas sebuah misteri bagi Paris, jika tidak dari Paris, bahwa masyarakat elit adalah dunia pendidikan eksklusif . Herr Szeliga tidak beralih dari misteri-misteri dunia kejahatan ke pada misteri-misteri masyarakat bangsawan; Misteri menjadi isi tidak tampak masyarakat terpelajar, hakekatnya yang sesungguhnya. Bukanlah suatu pelintiran baru dari Herr Szeliga yang berlanjut pada pengamatan-pengamatan baru; Misteri sendiri melakukan pelintiran baru ini untuk menghindari pengamatan.
Sebelum sungguh-sungguh mengikuti Eugène Sue ke mana hatinya membawanya – ke sebuah pesta dansa bangsawan, Herr Szeliga menggunakan salah-satu dari pelintiran spekulasi munafik yang membentuk secara a priori.
“Orang dengan sendirinya dapat meramalkan suatu kulit kokoh yang akan dipilih oleh Misteri sebagai tempat dirinya bersembunyi; tampaknya, dari kekokohan kompak ... bahwa ... oleh karena-nya dapat diharapkan bahwa pada umumnya ... betapapun suatu usaha baru untuk menerobos hingga ke inti tidak-bisa-tidak diharuskan di sini.”
Cukup. Herr Szeliga telah sedemikian jauhnya hingga subyek metafisik itu, Misteri, kini melangkah maju, ringan, sabar dan genit.
Agar sekarang mengubah masyarakat bangsawan menjadi sebuah misteri, Herr Szeliga memberikan pada kita beberapa pertimbangan mengenai pendidikan. Ia menduga bahwa masyarakat bangsawan memiliki segala jenis kualitas yang tiada akan dicari orang di dalamnya, agar kelak menemukan misteri bahwa ia tidak memiliki kualitas-kualitas itu. Lalu ia menyajikan penemuan itu sebagai misteri masyarakat terpelajar. Herr Szeliga bertanya-tanya sendiri, misalnya, apakah “nalar umum” (apakah yang dimaksudkannya logika spekulatif?) merupakan isi dari percakapan ruangan-tamu-nya, apakah “ritme dan ukuran cinta saja menjadikannya” suatu “keutuhan serasi,” apakah “yang kita namakan pendidikan umum adalah bentuk dari yang umum, yang abadi, yang ideal,” yaitu, apakah yang kita namakan pendidikan adalah imajinasi metafisik. Tidaklah sulit bagi Herr Szeliga untuk meramalkan a priori dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya: “Namun, dapat diduga ... bahwa jawabannya akan sebuah jawaban negatif.”
Dalam novel Eugène Sue, transisi dari dunia biasa pada dunia beradab merupakan suatu transisi yang normal bagi sebuah novel. PenyamaranRudolph, Pangeran Geroldstein, memberikan jalan masuk ke padanya ke dalam bagian-bagian masyarakat lebih bawah sebagaimana gelarnya memberikan padanya jalan masuk ke bagian-bagian masyarakat lebih atas. Dalam perjalanannya ke pesta dansa bangsawan ia sama sekali tidak terpikat oleh kontras-kontras kehidupan masa-kini: adalah kontras-kontras penyamaran dirinya sendiri yang dianggapnya menarik. Ia menerangkan pada pengiringnya yang penurut betapa luar-biasa menarik ia anggap dirinya sendiri di dalam berbagai situasi itu.
Aku menganggap kontras-kontras ini cukup menarik, ia berkata, pada suatu hari seorang pelukis penggemar, tinggal di sebuah tempat di rue aux Fèves; pagi ini seorang penjual menawarkan segelas anggur kismis hitam pada Madame Pipelet, dan petang ini…..salah seorang yang berhak istimewa berkat kemurahan Tuhan yang memerintah dunia.
Ketika Kritik Kritis diantar ke pesta dansa itu, ia bernyanyi:
Kesadaran dan nalar nyaris meninggalkan diriku, Di tengah-tengah para raja di sini![23]
Ia tertuang dalam himne liar sebagai berikut:
“Di sini daya-gaib membawa cahaya surya di malam hari, sedang menghijaunya musim semi dan cemerlangnya musim panas di musim dingin. Kita seketika merasa berada dalam suasana untuk percaya akan mukjijat kehadiran suci dalam dada manusia, teristimewa tatkala keindahan dan keagungan menegakkan keyakinan bahwa kita berada di kedekatan lansung cita-cita.” (!!!)
Pendeta desa Kritis yang mudah percaya, yang tidak berpenga-laman! Hanya kepintaranmu yang Kritis, yang dapat diangkat oleh ruang-dansa Paris yang elegan pada suatu suasana di mana anda percaya pada daya gaib dari kehadiran suci di dalam dada manusia, dan melihat dalam singa-singa betina Paris ideal-ideal seketika dan malaikat-malaikat korporeal!
Dalam kesederhanaannya yang bermanis-manis sang pendeta Kritis mendengarkan kedua yang terindah di antara yang indah, Clèmence d’Harville dan Countess Sarah MacGregor. Dapatlah ditebak apa yang ia ingin dengar dari mereka:
“Dengan cara apa kita dapat menjadi berkat anak-anak tercinta dan kegenapan kebahagiaan seorang suami ... Kami tidak mendengar ... kami bertanya-tanya ... kami tidak mempercayai pendengaran kami.”
Diam-diam kita merasa suatu kesenangan berdengki tatkala si pendengar dikecewakan. Para nyonya terhormat itu tiada berbicara tentang berkat, kegenapan ataupun nalar umum, tetapi, mengenai ketidak-setiaan Madame d’Harville terhadap suaminya.
Kita mendapatkan ungkapan naif berikut ini tentang salah seorang dari nyonya-nyonya terhormat itu, Countess MacGregor: Ia “cukup giat untuk menjadi ibu seorang anak sebagai hasil dari sebuah pernikahan rahasia.”
Terkena secara tidak menyenangkan oleh usaha Countess MacGregor itu, Herr Szeliga melontarkan kata-kata tajam ke alamatnya:
Kita anggap bahwa semua hasrat Countess adalah untuk keuntungan individual yang egoistik.
Memang, ia tidak melihat tanda baik dalam pencapaian maksudnya –pernikahannya dengan Pangeran Geroldstein:
“Yang darinya kita sama-sekali tidak berharap bahwa ia akan menyediakan dirinya bagi kebahagiaan para kaula Pangeran Geroldstein.”
Sang puritan mengakhiri khotbahnya dengan “kekhidmatan mendalam: Sarah (nyonya yang giat itu), secara kebetulan, nyaris suatu pengecualian dalam lingkaran cemerlang ini, sekalipun ia salah seorang dari yang teratas.”
Kebetulan, nyaris! “Sekalipun!” Dan tidakkah “puncak” dari sebuah lingkaran itu suatu pengecualian?
Inilah yang kita ketahui tentang watak dua ideal lainnya, Marquise d’Harville dan Duchess Lucenay:
Mereka “tidak mendapatkan kepuasan hati.” Mereka tidak menemukan obyek kasih mereka dalam pernikahan, maka mereka mencarinya di luar pernikahan. Dalam pernikahan kasih telah tetap merupakan sebuah “misteri” bagi mereka dan dera-paksa hati mendorong mereka untuk menembus misteri itu. “Maka” mereka memasrahkan diri mereka pada “kasih rahasia. Para korban pernikahan tanpa-cinta ini didorong secara bertentangan dengan kehendak mereka untuk merendahkan kasih pada sesuatu yang eksterior, pada suatu yang dinamakan hubungan dan menerima yang romantikal, misteri, bagi yang interior, yang menghidupi, yang esensial dari kasih.”
Jasa penalaran dialektis ini dapat dinilai semakin tinggi karena ia adalah penerapan yang lebih umum.
Ia, misalnya, yang tidak diperkenankan minum di rumah namun merasakan kebutuhan untuk minum itu mencari obyek minum di luar rumah dan dengan begitu sampai pada minum secara rahasia. Ia bahkan didorong untuk memandang misteri sebagai suatu bagian esensial dari minum, sekalipun ia tidak akan merendahkan minum menjadi sekedar suatu hal eksterior yang tidak penting, tidak lebih daripada yang dilakukan para nyonya terhormat dengan kasih. Karena, menurut Herr Szeliga, bukanlah kasih, tetapi pernikahan tanpa cinta, yang mereka rendahkan menjadi seperti yang sesungguhnya adanya, menjadi sesuatu yang eksterior, menjadi sesuatu yang dinamakan hubungan.
Herr Szeliga selanjutnya bertanya: “Apakah misteri kasih itu?”
Kita baru saja membentuknya sedemikian rupa bahwa misteri itu adalah esensi dari jenis cinta ini. Mengapa kita sekarang mencari misterinya misteri, esensinya esensi?
“Jangan jalan-jalan gelap/curang di semak-semak,” kecam sang pendeta, “jangan setengah-gelap alamiah dari malam terang-bulan atau setengah-gelap buatan dari tirai dan gordin; jangan nada-nada lembut yang mempesona dari harpa dan organ, jangan atraksi dari yang terlarang ...”
Tirai-tirai dan gordin-gordin! Nada-nada lembut mempesona! Bahkan organ! Biar pendeta mulia itu berhenti memikirkan gereja! Siapakah yang akan membawa sebuah organ ke suatu janji-temu percintaan?
“Semua ini” (tirai, gordin dan organ itu) “adalah hanya yang misterius.”
Dan tidakkah “yang misterius itu” misteri dari cinta misterius? Sama sekali tidak:
“Yang misterius padanya adalah yang menggairahkan, yang memabokkan, yang mempesona, kekuasaan sensualitas.”
Dalam nada-nada “yang lembut dan mempesonakan” sang pendeta sudah mendapatkan yang mempesona. Seandainya ia membawa sop penyu dan sampanye pada rendezvous-nya gantinya tirai dan gordin dan organ, “yang menggairahkan dan memabukkan” itu akan hadir juga.
“Kita tidak akan mengakui,” demikian tuan terhormat itu berargumentasi, “kekuasaan sensualitas; ia mempunyai kekuasaan luar-biasa seperti itu atas diri kita hanya karena kita menghempaskannya dari diri kita dan tidak akan mengakuinya sebagai sifat kita sendiri, di mana kita akan berada dalam posisi untuk mengendalikannya apabila ia mencoba barulah dengan mengorbankan nalar, mengorbankan kasih sesungguhnya dan daya-kehendak.”
Sang pendeta menasehati kita dengan gaya teologi spekulatif agar mengakui sensualitas sebagai sifat kita sendiri, agar kelak dapat menguasai/mengendalikannya, yaitu, menarik kembali pengakuan atasnya. Benar, ia hendak menguasainya hanya apabila itu mencoba berkuasa dengan mengorbankan nalar –daya-kehendak dan kasih jika dihadap-hadapkan dengan sensualitas adalah hanya daya-kehendak dan kasih Nalar. Orang Kristiani yang tidak-spekulatif juga mengakui sensualitas sejauh itu tidak menyatakan kekuasaannya dengan mengorbankan nalar sesungguhnya, yaitu, mengorbankan kepercayaan, kasih sesungguhnya, yaitu, kasih Tuhan, daya-kehendak sesungguhnya, yaitu, kehendak dalam Kristus.
Sang pendeta seketika mengungkapkan maksudnya yang sesungguhnya ketika ia melanjutkan:
“Lalu, jika kasih berhenti menjadi yang esensial dalam pernikahan dan dalam moralitas, sensualitas menjadi misterinya kasih, misterinya moralitas, misterinya masyarakat terpelajar –sensualitas dalam arti sempitnya, di mana ia bergetar dalam syaraf-syaraf dan suatu arusmenyala di dalam pembuluh-pembuluh darah, dan juga dalam arti lebih luas, di mana ia diangkat pada kemiripan daya spiritual, pada nafsu akan kekuasaan, ambisi, nafsu akan kejayaan ... Countess MacGregor mewakili” yang tersebut terakhir yang berarti “dari sensualitas sebagai misteri masyarakat terpelajar.”
Pendeta itu mengena dengan tepat. Untuk menguasai sensualitas, ia terlebih dulu mesti mengatasi arus persyarafan dan cepatnya peredaran darah. –Herr Szeliga percaya pada arti sempit bahwa lebih tingginya kehangatan dalam tubuh datang dari panasnya darah di dalam pembuluh-pembuluh darah; ia tidak mengetahui bahwa hewan -hewan berdarah–hangat disebut demikian karena suhu darah mereka tunduk pada modifikasi kecil, tetap pada suatu tingkat konstan. – Sesegera tiada lagi arus persyarafan dan darah di dalam pembuluh-pembuluh tidak panas lagi, tubuh yang penuh dosa itu, tempatnya nafsu birahi, menjadi bangkai dan roh-roh dapat berganti-gantian secara tak-terhalang di antara nalar umum, cinta sejati, dan moral semurninya Sang pendeta menistakan sensualitas sedemikian rupa hingga ia melenyapkan justru unsur-unsur yang mengilhami cinta sensual –desakan darah, yang membuktikan bahwa manusia tidak hanya menyintai dengan lendir ketidak-pekaan; arus persyarafan yang menghubungkan organ yang merupakan tempat utama dari sensualitas dengan otak. Ia memerosotkan cinta sensual sejati menjadi mecha-nical secretio seminis dan berbicara pèlat dengan seorang ahli teologi Jerman yang terkenal-buruk:
“Tidak demi cinta sensual, tidak demi nafsu birahi, tetapi karena Tuhan telah berfirman: bertambah dan berbiaklah.”
Mari kita sekarang membandingkan konstruksi spekulatif itu dengan novel Eugène Sue. Bukan sensualitas yang disajikan sebagai misteri kasih, tetapi misteri-misteri, pertualangan-petualangan, rintanganrintangan, ketakutan-ketakutan, bahaya-bahaya, dan khususnya dayatarik (atraksi) dari yang dilarang.
“Mengapa,” demikian kita membaca, “begitu banyak wanita mengambil sebagai kekasihnya, laki-laki yang tidak selayak/sepatut suami mereka? Karena pesona terbesar dari cinta adalah daya tarik yang nikmat dari buah terlarang ... Andaikan bahwa apabila ketakutan-ketakutan, kecemasan-kecemasan, kesulitan-kesulitan, misteri-misteri dan bahaya-bahaya itu dienyahkan dari cinta itu, maka hanya sedikitlah yang tersisa, untuk tepatnya, sang kekasih ... dalam kesederhanaan aslinya; singkatnya, itu selalu –kurang-lebih– akan merupakan petualangan dari laki-laki yang ditanya, –“Mengapa tidak anda nikahi janda itu, kekasih anda itu?” –“Ya, telah kupikirkan hal itu,” laki-laki itu menjawab, “tetapi aku akan tidak mengetahui di mana aku mesti melewatkan malam-malam hariku.”
Jika Herr Szeliga dengan jelas mengatakan bahwa misteri cinta tidaklah terletak dalam daya tarik dari yang terlarang, Eugène Sue mengatakan secara sama-tegasnya bahwa daya-tarik dari yang terlarang itu justru merupakan pesona terbesar dalam cinta dan sebab dari semua petualangan cinta extra muros.
“Larangan dan penyelundupan sama tak-terpisahkannya dalam cinta seperti dalam perdagangan.”[24]
Eugène Sue secara sama menegaskan, secara berlawanan dengan komentarnya yang spekulatif:
“... kecenderungan pada dalih dan keprigelan, kesukaan pada misteri-misteri dan intrig-intrig adalah suatu kualitas esensial, suatu kecenderungan alamiah dan suatu naluri penting dari sifat wanita.”
Satu-satunya hal yang membikin canggung Eugène Sue adalah ketika kecenderungan dan kesukaan itu diarahkan terhadap pernikahan. Ia ingin memberikan pada naluri sifat wanita itu suatu terapan yang lebih aman dan berguna.
Herr Szeliga menjadikan Countess MacGregor seorang wakil dari jenis sensualitas yang terangkat menjadi suatu kemiripan kekuasaanspiritual, tetapi pada Eugène Sue ia adalah seorang tokoh dari nalar abstrak. Ambisi-nya dan kebanggaan-nya, jauh daripada bentuk-bentuk sensualitas, lahir dari suatu nalar abstrak yang sepenuhnya bebas dari sensualitas. Itulah sebabnya mengapa Eugène Sue secara tegas menyatakan bahwa “aspirasi-aspirasi cinta yang menyala tidak pernah dapat membuat dadanya yang sedingin es mengombak; tiada kejutan hati atau kejutan inderawi yang dapat mengacaukan perhitungan-perhitungan yang tak-mengenal ampun dari wanita yang lihai, egois, ambisius itu.”
Ciri esensial wanita ini adalah egoisme nalar abstrak yang tidak pernah menderita karena perasaan-perasaan simpati dan yang tidak dapat dipengaruhi oleh darah. Oleh karenanya, rohnya dilukiskan sebagai kering dan keras, pikirannya jahat penuh kelicikan, wataknya sama “curangnya” dan –yang tipikal sekali dari seseorang bernalar abstrak–sama “mutlaknya,” penipuannya sama “dalamnya.” Secara kebetulan baiklah dicatat, bahwa Eugène Sue memotivasi karier sang Countess itu presis setolol kebanyakan tokoh dalam novelnya. Seorang juru-rawat tua memberi gagasan padanya bahwa ia mesti menjadi “kepala yang dimahkotai.” Yakin akan hal ini, ia melakukan perjalanan-perjalanan untuk menangkap sebuah mahkota lewat pernikahan. Akhirnya ia melakukan ketidak-konsekuensian dengan memandang seorang Serenissimus Jerman yang kecil sebagai kepala yang dimahkotai.
Setelah ludahan-ludahannya terhadap sensualitas, santo Kritis kita menganggapnya perlu untuk menunjukkan mengapa Eugène Sue membawa diri kita ke sebuah pesta-dansa masyarakat elit, suatu metode yang populer pada hampir semua pengarang novel Perancis, sedangkan para novelis Inggris lebih sering menunjukkan dunia (kalangan) atas yang sedang berburu atau berada dalam sebuah rumah besar pedesaan.
“Bagi konsepsinya [yaitu konsepsi Herr Szeliga] ia tidak bisa tak-acuh, dan oleh karenanya kebetulan semata-mata [dalam konstruksi Herr Szeliga] bahwa Eugène Sue mengintroduksikan kita pada masyarakat elit di sebuah pesta-dansa.”
Kini kudanya telah diberi kebebasan dan kuda itu berderap cepat menuju tujuannya yang penting melalui serangkaian kesimpulan yang mengingatkan pada Wolf almarhum.
“ Berdansa adalah manifestasi sensualitas yang paling umum sebagai sebuah misteri. Kontak seketika, berpeluk-pelukan kedua jenis kelamin(?) yang diperlukan untuk membentuk suatu pasangan, diperkenankandalam berdansa karena, sekalipun penampilannya, dan sensasi menyenangkan yang dirasakan sungguh-sungguh” (sungguh-sungguh,Tuan Terhormat?) “tidak dipandang sebagai kontak dan berpelukan yang sensual” (tetapi barangkali sebagai kontak dan berpelukan dari nalaruniversal?).
Dan kemudian datang sebuah kalimat penutup yang lebih bersempoyongan daripada berdansa:
“Karena, apabila ia dalam kenyataan aktual dipandang sebagai sensual, akan tidak-mungkin dimengerti mengapa masyarakat begitu longgarnya hanya dalam hal berdansa, sedangkan ia sebaliknya begitu keras menyensor kebebasan serupa yang dipamerkan dalam situasi-situasi lain sebagai suatu pelanggaran moral dan kesopanan yang tidak bisa diampuni, yang patut dikutuk dan tanpa ampun dihalau ke luar.”
Pendeta terhormnat itu di sini tidak berbicara tentang tarian cancan ataupun tentang tarian polka, tetapi tentang berdansa pada umumnya, tentang kategori Berdansa, yang tidak dilakukan di mana pun kecuali di dalam benaknya yang Kritis. Seandainya ia melihat satu saja tarian di Chaumière di Paris, maka roh Kristiani-Jermannya akan murka sekali dengan keberanian, keterbukaan, sifat-marah yang anggun dan musik dari gerakan yang paling sensual itu. Sensasi menyenangkan-nya sendiri yang sungguh-sungguh terasa akan membuatnya terasa bagi dirinya bahwa dalam kenyataan aktual akan tidak mungkin dimengerti mengapa para pedansa itu sendiri, selagi di pihak lain mereka memberikan kepada penonton kesan yang mengilhami mengenai sensualitas manusia yang terbuka –“yang, dipamerkan secara sama pada situasi-situasi lain –yaitu, tepatnya di Jerman” –“akan dengan ganas disensor sebagai suatu pelanggaran yang tidak terampunkan,” dsb. –mengapa para pedansa itu, sekurang-kurangnya, boleh dikata, dalam penglihatan mereka sendiri, tanya hanya harus dan boleh, tetapi dapat dan mesti–mau-tak-mau–menjadi makhluk-makhluk manusia yang secara terang-terangan sensual!
Sang Pengritik memperkenalkan kita pada pesta dansa itu demi untuk esensi berdansa itu. Ia menghadapi suatu kesulitan besar. Ada dansa pada pesta dansa itu, tetapi hanya di dalam imajinasi. Kenyataannya adalah bahwa Eugène Sue tidak berkata sepatah-katapun yang menggambarkan dansa itu. Ia tidak berbaur diantara bondong pedansa itu. Ia memanfaatkan pesta dansa itu hanya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh bangsawan utamanya. Dalam keputus-asaan, Kritik datang untuk membantu dan menambah/membekali sang pengarang, dan khayal-nya sendiri dengan mudah memberikan suatu gambaran mengenai peristiwa-peristiwa pesta dansa, dsb. Jika menurut peraturan-peraturan Kritik, Eugène Sue tidak secara langsung tertarik pada tempat-tempat persembunyian para penjahat dan bahasanya ketika ia melukiskan mereka, maka dansa itu, sebaliknya, yang tidak digambarkan oleh dirinya tetapi oleh pengritiknya yang penuh khayalan, mau-tak-mau membuat minatnya tak-terhingga.
Mari kita lanjutkan.
“Sesungguhnya, rahasia nada dan kebijakan ramah yang rahasia itu –rahasia hal luar-biasa yang tidak alamiah itu–adalah kerinduan untuk kembali pada alam.Itulah sebabnya mengapa munculnya seseorang seperti Cecily dalam masyarakat terpelajar mempunyai suatu efek yang begitu menggemparkan dan dimahkotai dengan keberhasilan yang begitu luar-biasa.Ia menjadi besar sebagai seorang budak di antara para budak, tanpa pendidikan apapun, dan satu-satunya sumber kehidupan yang mesti menjadi sandarannya adalah sifat dirinya. Tiba-tiba dipindah ke dalam sebuah istana dengan semua kekangan dan adat-kebiasaannya, ia segera belajar menembus rahasia yang tersebut terakhir itu ... Di bidang ini, yang tak-pelak lagi dapat ia kuasai karena dayanya, daya sifatnya, mempunyai suatu daya-gaib yang penuh teka-teki, Cecily mau-tak-mau mesti nyasar menjadi kehilangan segenap kesadaran akan ukuran, sedangkan sebelumnya, ketika dirinya masih seorang budak, sifat yang sama itu mengajarkan padanya untuk melawan segala omong-kosong dari pihak tuan yang berkuasa dan tetap setia pada cintanya. Cecily adalah misteri dari masyarakat terpelajar yang terungkap. Kesadaran-kesadaran yang dicemooh itu akhirnya membanjiri semua perlawanan dan membeludak sepenuhnya tanpa dapat dikendalikan, dsb.”
Para pembaca Herr Szeliga yang tidak membaca novel Sue pasti akan berpikir bahwa Cecily adalah singa-betina dari pesta-dansa bersangkutan. Di dalam novel itu ia berada dalam sebuah penjara Jerman, sedangkan pesta dansa itu berlangsung di Paris.
Cecily, sebagai seorang budak, tetap setia pada dokter Negro David karena ia mencintai dokter itu dengan penuh nafsu dan karena pemilik dirinya, Mr. Willis, brutal dalam merayu dirinya. Sebab perubahannya pada suatu kehidupan risau adalah suatu sebab yang sederhana sekali. Dipindahkan ke dunia Eropa, ia merah-muka (malu) karena menikahdengan seorang Negro. Setibanya di Jerman ia seketika dirusak oleh seorang laki-laki jahat dan darah Indian-nya menyatakan dirinya. Inilah Sue yang munafik, demi untuk moral-moral manis dan perdaganganlunak, merasa menjadi tugasnya untuk melukiskannya sebagai ketidakwajaranalamiah.
Misteri Cecily adalah karena ia adalah seorang keturunan campuran. Misteri sensualitasnya adalah panasnya daerah tropik. Parny menyanyikan keturunan-campuran dalam bait-baitnya yang indah pada Elèonore.Lebih dari seratus kisah perlayaran menceritakan betapa berbahaya Elèonore itu bagi para pelaut.
“Cecily,” demikian Eugène Sue memberitahukan pada kita, “adalah penjelmaan/inkarnasi sensualitas yang menyala-nyala yang hanya dapat dikobarkan oleh panasnya daerah tropik……Semua orang telah mendengar mengenai gadis-gadis (kulit) berwarna, yang boleh dikata, adalah fatal/mematikan, bagi orang-orang Eropa; tentang vampir-vampir penuh pesona yang memabokkan korban mereka dengan rayuan-rayuan mengerikan….. dan yang tidak menyisakan apapun padanya, sebagaimana diungkapkan oleh ungkapan-ungkapan kuat negeri itu, kecuali air-matanya sebagai minuman dan jantungnya untuk digrogoti.”
Cecily sama sekali tidak memproduksi efek yang sedemikian ajaibnya justru pada orang-orang dari masyarakat menjemukan yang dididik secaraaristokrat itu……..
“Wanita-wanita dari tipe Cecily mempunyai suatu efek yang tiba-tiba, suatu kemahakuasaan ajaib atas kaum laki-laki dengan sensualitasbrutal seperti Jacques Ferrand.” Sue memberitahukan pada kita.
Sejak kapan para laki-laki seperti Jacques Ferrand mewakili masyarakat elit? Namun, Kritik yang Kritis mesti menguraikan Cecily sebagai suatu momen dalam proses-kehidupan Misteri Mutlak.
4) Misteri Kejujuran dan Kesalehan
“Andaikan benar, Misteri, seperti dari masyarakat terpelajar itu, menarik diri dari lawannya ke dalam interior. Namun begitu, masyarakat elit masih mempunyai lingkaran-lingkaran eksklusifnya sendiri, di mana ia melestarikan yang suci. Ia adalah, sepertinya, kapel untuk yang suci dari yang suci-suci ... Tetapi, bagi orang-orang di halaman, kapel itu sendiri adalah misteri itu. Oleh karenanya, pendidikan dalam kedudukannya yang eksklusif adalah sama bagi orang-orang itu ... seperti kedangkalan bagi yang terpelajar.”
“Andaikan benar, walaupun begitu, masih, sepertinya, tetapi, oleh karenanya” – itu cantelan-cantelan ajaib yang menyatukan kaitan-kaitan rangkaian penalaran spekulatif. Herr Szeliga telah membuat “Misteri” menarik-diri dari dunia para penjahat dan masuk masyarakat elit. Kini ia harus menguraikan misteri bahwa masyarakat elit mempunyai lingkaran-lingkaran “eksklusifnya” dan bahwa misteri-misteri lingkaran-lingkaran itu adalah misteri-misteri bagi rakyat. Di samping cantelan-cantelan yang sudah disebut itu, konstruksi ini memerlukan transformasi dari suatu “lingkaran” menjadi suatu “kapel” dan transformasi masyarakat non-bangsawan menjadi “halaman” di depan kapel itu. Kembali merupakan suatu misteri “bagi Paris bahwa semua bidang masyarakat borjuis” hanya suatu “halaman” di depan kapelnya masyarakat elit.
Herr Szeliga mempunyai suatu tujuan rangkap. Pertama-tama, Misteri yang telah menjadi penjelmaan dalam lingkaran eksklusif dari masyarakat elit mesti dinyatakan hak-milik umum dunia. Kedua, notaries Jacques Ferrand mesti diuraikan sebagai sebuah kaitan dalam kehidupan Misteri. Di sinilah cara Herr Szeliga bernalar:
“Pendidikan tidak dapat dan tidak akan mendatangkan semua bagian dan keragaman ke dalam lingkarannya. Hanya kekristianian dan moral mampu mendirikan sebuah kerajaan universal di atas bumi.”
Herr Szeliga, mengidentifikasikan pendidikan, peradaban, dengan pendidikan aristokratik. Itulah sebabnya mengapa ia tidak dapat memahami bahwa industri dan perdagangan mendirikan kerajaan-kerajaan universal yang berbeda sekali dari Kekristianian dan moral, kebahagiaan domestik dan kesejahteraan madani. Tetapi, bagaimana kita sampai pada notaris Jacques Ferrand? Sederhana sekali!
Herr Szeliga mentransformasi “Kekristianian” menjadi suatu kualitas “individual, kesalehan,” dan moral menjadi “suatu” kualitas “individual lainnya, kejujuran.” Ia memadukan kedua kualitas ini menjadi satu kualitas yang dikristianikannya (ditahbiskannya) Jacques Ferrand, karena Jacques Ferrand tidak memiliki kedua kualitas itu, tetapi hanya berpura-pura punya. Dan dengan demikian Jacques Ferrand menjadi “misteri kejujuran dan kesalehan.” Di satu pihak, “surat-wasiat”-nya adalah “misteri dari yang tampak sebagai kejujuran dan kesalehan,” dan tidak lagi dari kejujuran dan kesalehan itu sendiri. Jika Kritik yang Kritis ingin menguraikan surat-wasiat ini sebagai sebuah misteri, maka mesti dinyatakan yang tampak sebagai kejujuran dan kesalehan sebagai misteri dari surat-wasiat ini, dan bukannya sebaliknya, bahwa surat wasiat itu adalah misteri dari yang tampak sebagai kejujuran dan kesalehan.
Kolese para notaris Paris memandang Jacques Ferrand sebagai sebuah cercaan terhadap dirinya sendiri dan berhasil membuatnya digusur dari pementasan-pementasan Mystères de Paris; tetapi Kritik Kritis, sekalipun berpolemik terhadap kerajaan konsepsi udara, tidak melihat seorang notaris dalam diri seorang notaris Paris, tetapi religi dan moral, kejujuran dan kesalehan. Pengadilan atas diri notaris Léhon mestinya mengajarkan sesuatu yang lebih baik. Posisi yang dipegang oleh sang notaris dalam novel Eugène Sue erat berhubungan dengan kedudukan resminya.
“Para notaris di alam duniawi adalah seperti para pendeta di alam spiritual: mereka adalah tempat-tempat penyimpanan rahasia-rahasia kita” (Monteil, Histoire des Français des divers ètats, dsb. Vol.IX, hal. 37).
Sang notaris adalah penerima pengakuan dosa duniawi. Ia adalah seorang puritan karena pekerjaannya, dan kejujuran, demikian Shakespeare berkata, bukanlah Puritan. Ia sekaligus adalah jomblang dari segala macam tujuan, pengelola dari semua intrig dan tipu-daya.
Dengan notaris Ferrand, yang seluruh misterinya terdiri atas kemunafikannya dan pekerjaannya belum kita lihat membuat suatu pun langkah kemajuan. Tetapi dengarkanlah:
“Apabila bagi notaris itu kemunafikan telah sepenuhnya menjadi sesuatu urusan kesadaran dan bagi Madame Roland urusan naluri, sebagaimana adanya, di antara mereka terdapat massa besar dari mereka yang tidak dapat sampai pada dasar misteri itu dan sekalipun begitu merasakan suatu hasrat di luar kemauan untuk melakukan hal itu. Oleh karenanya, bukan ketahyulan yang membawa yang besar maupun yang kecil ke tempat hunian yang muram dari si dukun Bradamanti (Abbé Polidori); Tidak, adalah pencarian akan Misteri, untuk membenarkan diri mereka sendiri pada dunia.”
Yang besar dan yang kecil berkerumun pada Polidori bukannya untuk mengungkap sebuah rahasia tertentu yang akan membenarkan mereka pada seluruh dunia, tetapi untuk mencari Misteri pada umumnya, Misteri sebagai Subyek Mutlak, agar supaya membenarkan diri mereka pada dunia; seakan-akan untuk membabat kayu orang mencari, bukan seorang pembabat, tetapi Perkakas in abstracto.
Semua rahasia yang dimiliki Polidori terbatas pada suatu cara untuk aborsi dan racun untuk membunuh. Dengan suatu kegilaan spekulatif Herr Szeliga membuat sang pembunuh mengambil jalan racun Polidori karena ia tidak ingin menjadi seorang pembunuh, tetapi dihormati,dicintai dan dimuliakan.Seakan-akan dalam suatu kasus pembunuhan soalnya adalah soal hormat, cinta atau kemuliaan dan bukannya leher seseorang! Tetapi pembunuh yang Kritis tidak memikirkan lehernya, tetapi hanya memikirkan Misteri. Karena tidak semua orang melakukan pembunuhan atau menjadi hamil secara tidak sah, bagaimana Polidori mesti menempatkan semua orang sebagai pemilik Misteri yang dihasratkan itu? Herr Szeliga boleh jadi telah mengacaukan si dukun Polidori dengan sarjana Polydorus Vigilius yang hidup pada abad XVI dan, yang, sekalipun ia tidak mengungkapkan sesuatu misteri, berusaha menyusun sejarah dari orang-orang yang melakukannya, para penemu,milik umum dunia (lihat Polidori Virgilii, liber de rerum inventoribus, Lugduni MDCCVI).
Misteri, Misteri Mutlak, sebagaimana yang pada akhirnya menjadikan dirinya milik umum dunia secara lebih ahli daripada mengubah dirinya sendiri menjadi misteri-misteri yang tidak menjadi misteri-misteri bagi siapapun.
5.) Misteri, sebuah Ejekan
“Misteri kini telah menjadi milik umum, misteri dari seluruh dunia dan dari setiap individu. Ia adalah seniku ataupun naluriku, atau aku dapat membelinya sebagai barang yang dapat dibeli.”
Misteri apakah yang kini menjadi milik umum dunia? Misteri mengenai ketidak-adilan dalam negara, misteri masyarakat terpelajar, misteri perselingkuan-perselingkuan, misteri pembuatan eau-de-cologne atau misteri dari Kritik yang Kritis? Tiada dari semua itu, tetapi Misteri in abstracto, kategori Misteri itu!
Herr Szeliga bermaksud menyajikan para pelayan dan tukang-jaga pintu Pipelet dan isterinya sebagai inkarnasi dari Misteri Mutlak. Ia hendak menguraikan pelayan dan tukang-jaga pintu Misteri. Bagaimana ia berusaha untuk keluar dari kategori murni dan sampai pada pelayan yang memata-matai di sebuah pintu terkunci, untuk keluar dari Misteri sebagai Subyek Mutlak yang bertakhta di atas atap di langit abstraksi, dan terjun ke lantai-dasar, tempat beradanya pon-dok tukang jaga pintu itu?
Terlebih dulu ia mengenakan kategori Misteri pada suatu proses spekulatif. Manakala dengan perantaraan cara/alat aborsi dan peracunan Misteri telah menjadi milik umum dunia, maka itu
“Karenanya sama-sekali bukan lagi penyembunyian dan tidak-termasuki itu sendiri, tetapi ia menyembunyikan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya (selalu lebih baik!) Aku menyembunyikannya, aku membuatnya tidak-termasuki.”
Dengan transformasi Misteri Mutlak dari substansi pada konsep ini, dari tahap obyektif di mana penyembunyian itu sendiri menjadi tahap subyektif di mana ia menyembunyikan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, yang ke dalamnya aku menyembunyikannya, kita tidak melakukan satupun langkah kemajuan. Sebaliknya, kesulitannya tampak bertambah, karena sebuah misteri di dalam kepala atau dada manusia adalah lebih tidak-termasuki dan tersembunyi daripada di dasar laut. Itulah sebabnya mengapa Herr Szeliga seketika membantu kemajuan spekulatifnya bersama-sama bantuan langsung dari kemajuan empirikal.
“Adalah di balik pintu-pintu terkunci” –dengarlah! dengarlah! “bahwa untuk selanjutnya” –untuk selanjutnya! – “Misteri itu ditetaskan, dimasak dan diselesaikan.”
Herr Szeliga telah untuk selanjutnya mengubah ego spekulatif dari Misteri itu menjadi suatu realitas yang sangat empirikal, yang sangatserba-kayu –sebuah pintu.
“Dengan itu” – yaitu, dengan sebuah pintu tertutup, tidak dengan transisi dari substansi tertutup itu pada konsep – “juga terdapat kemungkinan untuk mendengar-dengar, mencuri-dengar, dan mematamatainya.”
Bukan Herr Szeliga yang telah mengungkap misteri bahwa orang dapat mencuri-dengar di dekat pintu-pintu terkunci. Pepatah yang padat bahkan mengatakan bahwa dinding-dinding itu bertelinga. Sebaliknya adalah suatu misteri spekulatif yang Kritis sekali bahwa hanya untuk selanjutnya, setelah turun ke dalam nerakanya tempat-tempat persembunyian para penjahat dan naiknya ke masyarakat terpelajar, dan setelah keajaiban-keajaiban Polidori, misteri-misteri dapat dimatangkan di balik pintu-pintu terkunci dan didengar-dengar melalui pintu-pintu tertutup. Adalah tepat sama besarnya sebuah misteri Kritis bahwa pintu-pintu terkunci merupakan suatu keharusan kategorikal bagi penetasan, pematangan dan penyelesaian misteri-misteri –berapa banyak misteri yang ditetaskan, dimatangkan dan diselesaikan di balik semak-semak! – maupun untuk memata-matai mereka.
Setelah perbuatan hebat dari dialektika kekuasaan yang hebat ini Herr Szeliga dengan sendirinya melanjutkan dari “memata-matai itu sendiri” pada “dasar-dasar untuk memata-matai.” Di sini ia mengungkapkan misteri bahwa “kegirangan-kegirangan jahat yang meluap-luap” adalah dasar-dasar untuknya. Dari kegirangan jahat yang meluap-luap ia berlanjut pada “dasar-dasar bagi kegirangan jahat yang meluap-luap itu.”
“Setiap orang ingin lebih baik daripada yang lainnya,” katanya, “karena ia menjaga rahasia dari tidak hanya sumber-sumber utama dari perbuatan-perbuatannya yang baik, tetapi juga dari yang buruk, yang ia coba sembunyikan didalam kegelapan yang tak-bisa ditembus.”
Kalimat itu semestinya dibalikkan: Setiap orang tidak hanya menjaga rahasia sumber-sumber utama dari perbuatan-perbuatannya yang baik, tetapi ia berusaha menyembunyikan perbuatan-perbuatannya yang buruk di dalam kegelapan yang sangat pekat karena ia ingin dirinya lebih baik daripada yang lain-lainnya.
Demikianlah, tampaknya kita telah beralih dari “Misteri yang menyembunyikan dirinya sendiri” pada “ego” yang menyembunyikan: dari “ego” pada “kunci terkunci,” dari “pintu terkunci” pada “mematamatai,” dari “memata-matai” pada “dasar-dasar untuk memata-matai,” kegirangan jahat yang meluap-luap: dari “kegirangan jahat yang meluap-luap” pada “dasar-dasar bagi kegirangan jahat yang meluap-luap, hasrat untuk lebih baik daripada yang lain-lainnya.” Kita akan segera senang melihat “pelayan itu” berdiri di pintu terkunci itu. Karena hasrat umum untuk lebih baik daripada yang lainnya membawa diri kita langsung pada: bahwa “semua orang cenderung untuk mengetahui misteri-misteri orang lain.” Tidak ada kesulitan untuk menindak-lanjuti ini dengan pernyataan jenaka:
“Dalam hal ini para pelayan mempunyai peluang terbaik.”
Seandainya Herr Szeliga membaca memoar-memoar dari arsip-arsip Kepolisian Paris, memoar-memoar Vidocq, livre noir (buku hitam) dan sejenisnya, ia akan mengetahui bahwa dalam hal ini kepolisian mempunyai peluang lebih besar lagi daripada peluang terbaik yang dipunyai para pelayan; bahwa ia memakai para pelayan untuk tugas vulgar, bahwa ia tidak berdiri di dekat pintu-pintu atau manakala para majikan dalam pakaian négligé (pakaian rumah untuk wanita), tetapi merangkak ke bawah selimut mereka di samping tubuh telanjang mereka dalam bentuk seorang femme galante atau bahkan dari seorang isteri yang sah. Di dalam novel Sue, mata-mata polisi Bras Rouge (Tangan Merah) adalah salah seorang dari agen-agen utama dalam jalan cerita itu.
“Untuk selanjutnnya” yang paling mengganggu Herr Szeliga pada para pelayan adalah bahwa mereka tidak cukup “tidak berkepentingan. Keresahan Kritis” ini membawa dirinya pada sang “tukang jaga pintu Pipelet dan isterinya.”
“Kedudukan tukang jaga pintu, sebaliknya, memberikan kebebasan relatif pada dirinya sehingga ia dapat menumpahkan ejekan-ejekan bebas, tidak-berkepentingan, kalaupun vulgar dan menyakitkan mengenai misteri-misteri rumah/ keluarga itu.”
Pada awalnya konstruksi spekulatif mengenai tukang jaga pintu itu sangat memalukan karena di banyak rumah Paris, pelayan dan tukang jaga pintu adalah orang yang satu dan yang sama bagi beberapa dari penghuni rumah itu.
Kenyataan-kenyataan berikut ini akan memungkinkan para pembaca membentuk suatu pendapat mengenai fantasi Kritik berkenaan dengan kedudukan tak-berkepentingan yang secara relatif bebas dari tukang jaga pintu itu. Tukang jaga pintu di Paris adalah wakil dan mata-mata pemilik rumah. Ia lazimnya tidak dibayar oleh pemilik rumah tetapi oleh para penyewa rumah itu. Karena kedudukan yang genting itu ia seringkali memadukan fungsi-fungsi sebagai mata-mata dengan tugas-tugas resminya.Selama (masa) Teror, Kerajaan dan Restorasi, tukang jaga pintu menjadi salah-seorang agen utama dari polisi rahasia. Jendral Foy, misalnya, diawas-awasi oleh tukang jaga pintunya, yang mengambil semua surat yang dialamatkan pada sang jendral itu untuk dibaca oleh seorang agen polisi tidak jauh dari tempat itu (lihat Froment, La Police Dévoilée).Sebagai akibatnya, tukang jaga pintu dan penjual bahan makanan ( épicier25 ) dianggap sebagai nama-nama (sebutan) penghinaan dan tukang jaga pintu berkeras disebut sebagai concierge.[26]
Sebaliknya daripada “tidak-berkepentingan” dan tidak-berbahaya, Madame Pipelet-nya Eugène Sue langsung menipu Rudolph ketika memberikan uang kembalian padanya; ia merekomendasikan tukang meminjamkan uang yang tidak jujur yang tinggal di dalam rumah itu dan melukiskan Rigolette padanya sebagai seorang kenalan yang mungkin “cocok”; ia menggoda sang mayor karena ia membayarnya buruk sekali dan tawar-menawar dengan dirinya –dalam kejengkelannya ia menamakannya “seorang mayor dua-penny,” –“akan kuhajar dirimu karena hanya memberi duabelas franc sebulan untuk mengurus rumahmu” – dan karena ia begitu “kerdil” dengan mengawasi kayu bakarnya, dsb. Ia sendiri memberikan dasar-dasar bagi prilaku “bebas”; sang mayor itu hanya membayarnya duabelas franc sebulan.
Anastasia Pipelet-nya Herr Szeliga “mesti, secara tertentu, menyatakan perang benaran terhadap Misteri.”
Eugène Sue menjadikan Anastasia Pipelet seorang penjaga pintu (portière) Paris yang tipikal. Ia bermaksud mendramatisasi sang “penjaga pintu yang dilukis sedemikian ahlinya oleh Henry Monier.” Tetapi Herr Szeliga merasa dirinya wajib mentransform salah satu kualitasnya – “memfitnah”– menjadi suatu makhluk terpisah dan kemudian menjadikan Madame Pipelet seorang wakil dari makhluk itu.
“Suaminya,” Herr Szeliga melanjutkan, “penjaga pintu Alfred Pipelet, membantunya tetapi dengan kurang berhasil.”
Untuk menghiburnya karena kemalangannya itu, Herr Szeliga menjadikannya sebuah alegori. Ia mewakili sisi obyektif dari Misteri , Misteri sebagai Ejekan.
“Misteri yang mengalahkannya adalah sebuah ejekan, sebuah lelucon, yang dimainkan atas dirinya.”
Memang, dalam welas-asihnya yang tak-terhingga, dialektika keramat menjadikan orang yang tidak-bahagia, yang tua, yang kekanak-kanakan itu seorang yang perkasa dalam pengertian metafisik, dengan menyajikannya sebagai suatu momen yang sangat patut, sangat bahagia dan sangat menentukan di dalam proses-kehidupan Misteri Mutlak. Kemenangan atas Pipelet adalah kekalahan Misteri yang paling menentukan.
“Seorang yang lebih pintar, yang lebih berani, tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban sebuah lelucon.”
6) Burung Perkutut ( Regolette)
“Masih tertinggal satu langkah. Karena akibatnya sendiri Misteri, sebagaimana telah kita lihat pada Pipelet dan Cabrion, didorong untuk menistakan dirinya menjadi dagelan semata-mata. Satu-satunya hal yang sekarang diharuskan adalah bahwa sang individu tidak lagi mesti setuju untuk memainkan komedi yang tolol itu. Burung Perkutut melakukan langkah itu dengan cara yang paling tidak berprasangka di dunia.”
Dalam dua menit setiap orang dapat menembus misteri dagelan spekulatif ini dan belajar mempraktekkannya sendiri. Kita akan memberikan pengarahan-pengarahan singkat dalam hal ini.
“Problem.” Anda mesti menguraikan untukku bagaimana manusia menjadi penguasa atas hewan -hewan.
“Pemecahan spekulatif.” Dengan setengah lusin hewan , seperti singa, hiu, ular, banteng, kuda dan anjing kecil. Dari keenam hewan ini abstraksikan kategori “Hewan.” Bayangkan “Hewan” sebagai seekor makhluk yang mandiri. Anggaplah singa, hiu, ular dsb. itu sebagai penyamaran-penyamaran, inkarnasi-inkarnasi, dari “Hewan.” Tepat sebagaimana anda menjadikan imajinasi anda, Hewan dari abstraksi anda, suatu makhluk sungguh-sungguh, kini jadikanlah hewan –hewan sesungguhnya makhluk-makhluk dari imanjinasi anda. Anda melihat bahwa Hewan yang dalam/sebagai singa merobek-robek manusia hingga sepotong-potong, dalam/sebagai ikan hiu menelannya, dalam/sebagai ular menyengatnya dengan bisa, dalam/sebagai banteng melemparnya dengan tanduknya dan dalam/sebagai kuda menendangnya, hanya menggonggong jika ia menampilkan dirinya sebagai seekor anjing kecil, dan mengubah peperangan terhadap manusia menjadi kemiripan semata-mata dari suatu perkelahian. Karena akibatnya sendiri Hewan didorong, sebagaimana telah kita lihat dalam anjing kecil itu, untuk merendahkan dirinya sendiri menjadi sebuah lelucon semata-mata. Manakala seorang anak atau seorang laki-laki kekanak-kanakan lari dari seekor anjing kecil, satu-satunya bagi seseorang itu adalah jangan setuju untuk memainkan komedi tolol itu. Sang individu X melakukan langkah ini dengan cara yang paling tak-berprasangka di dunia, dengan menggunakan sebatang bambu terhadap anjing kecil itu. Anda lihatlah bagaimana Manusia, melalui pelaku individual X dan anjing kecil itu, telah menjadi penguasa atas Hewan , dan sebagai konsekuensinya atas hewan -hewan , dan di dalam “Hewan sebagai seekor anjing kecil” telah mengalahkan “sang singa sebagai Hewan.”
Secara sama pula “Burung Perkutut”-nya Herr Szeliga mengalahkan misteri dari sistem dunia sekarang melalui perantaraan Pipelet dan Cabrion. Lebih dari itu! Ia sendiri adalah suatu manifestasi dari kategori “Misteri.”
Eugène Sue membuat Murph mengungkapkan misteri Rigolette yang non-spekulatif: Ia seorang “ Grisette yang sangat cantik.” Eugène Sue mengambarkan dalam diri Grisette watak manusia yang indah dari gadis rakyat Paris. Hanya pengabdiannya pada borjuasi dan cinta privasinya sendiri untuk melebih-lebihkan (segala sesuatu) membuatnya mengidealisasi Grisette secara moral. Ia tidak dapat menahan diri dari memeratakan kekasaran situasi dalam kehidupan dan wataknya, tepatnya, peremehannya terhadap bentuk pernikahan, keterikatannya yang naif pada mudah atau pekerja. Justru dalam keterikatannya itu ia merupakan sebuah kontras manusia yang sungguh-sungguh dengan isteri borjuis yang munafik, berhati-ciut, mementingkan diri sendiri, dengan seluruh lingkaran borjuasi, yaitu, lingkaran resmi itu.
7) Sistem dunia dari Misteri-misteri Paris
“Dunia misteri ini sekarang merupakan sistem umum dunia ke dalam mana perbuatan individual dari Misteri-misteri Paris dipindahkan.”
“Namun ...,” sebelum Herr Szeliga “berlanjut pada reproduksi filosofi peristiwa epik itu,” ia mesti “mengumpulkan menjadi sebuah gambaran umum, sketsa-sketsa yang sebelumnya telah dibuat secara terpisah-pisah.”
Ia mesti dipandang sebagai sebuah pengakuan sungguh-sungguh, suatu pengungkapan dari Misteri Kritis Herr Szeliga, ketika ia mengatakan bahwa ia ingin berlanjut pada reproduksi filosofi dari peristiwa epik itu. Sejauh ini ia mereproduksi secara filosofi sistem dunia.
Herr Szeliga melanjutkan pengakuannya:
“Dari penyajian kita akan tampak bahwa misteri-misteri yang dibahas individual, masing-masingnya tidak mengandung kepatutan dalam dirinya, masing-masing terpisah dari yang lainnya, dan sama sekali bukan kisah-kisah yang hebat bagi gosip; nilai mereka adalah bahwa mereka merupakan suatu rangkaian bercabang-cabang secara organik, yang totalitas-nya adalah Misteri.”
Dalam luapan ketulusannya Herr Szeliga masih melanjutkan. Ia mengakui bahwa urutan spekulatif itu bukanlah urutan yang sesungguhnya dari Mystèries de Paris.
“Andaikan benar, misteri-misteri itu tidak muncul dalam epik kita dalam hubungan urutan yang mengetahui-sendiri (sesuai harga ongkosnya?) Tetapi kita tidak berurusan dengan organisme kritik yang logis, yang jelas, yang bebas, melainkan dengan suatu keberadaan sayur-mayur yang misterius.”
Kita akan melewatkan ikhtisar Herr Szeliga dan langsung berlanjut pada titik yang merupakan transisi itu. Dalam Pipelet kita telah melihat pendagelan-diri Misteri itu.
“Dengan menyenda-gurau-diri Misteri menilai dirinya sendiri. Dengan begitu misteri-misteri itu, dengan memusnahkan diri mereka sendiri dalam konsekuensi mereka yang terakhir, menantang setiap sosok kuat agar melakukan pemeriksaan mandiri.”
Rudolph,” Pangeran Geroldstein, “manusia Kritik murni ditakdirkan untuk menjalankan pemeriksaan danpengungkapan misteri-misteri itu.”
Jika kita nanti saja berurusan dengan Rudolph dan kiat-kiatnya, setelah kita tidak melihat Herr Szeliga untuk beberapa waktu lamanya, maka sudah dapat diramalkan, dan hingga suatu derajat tertentu para pembaca dapat menggagas dan bahkan menebak dengan kearifan sendiri, bahwa ganti menjadikannya suatu “keberadaan sayur-mayur yang misterius” sebagaimana ia adanya dalam Literatur-Zeitung yang Kritis, kita akan menjadikannya suatu “kaitan bebas yang logis, yang gamblang” di dalam “organisme Kritik Kritis.”